(Draf Buku “BERTANI
DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri
Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam. Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)
Barang-barang produk hasil
pertanian bersifat khas, sehingga
membentuk etika perdagangan nya sendiri. Berbeda dengan barang manufaktur,
komoditas pertanian tidak seragam dan mudah rusak. Karena itu, menjadi tantangan sendiri bagaimana
mengoperasikan tataniaganya dari produsen sampai ke konsumen akhir, dari ladang
yang berlumpur ke meja-meja makan yang bersih kinclong. Ada dua aspek disini.
Dari aspek fisik, meliputi mulai dari panen, pembersihan, penyortiran, packing, penyimpanan, dan pengangkutan.
Sementara dari sisi finansial - ekonomi, berlangsung proses penawaran barang,
tawar menawar harga, penyepakatan, pembayaran, hutang piutang, dan seterusnya.
Semua ini melibatkan
orang-orang. Dari hulu sampai ke hilir, akan ada sekian transaski, sekian
relasi. Dalam rantai ini setidaknya
melibatkan petani, buruh, jasa transportasi, pedagang pengumpul, pedagang
grosir, dan konsumen. Ini semua tentu muamalah yang harus ditata. Misalnya jangan
ada gharar, ingkar janji, penipuan,
informasi salah, pembayaran ditangguhnya, utang tidak dibayar-bayar, dan
lain-lain.
Sistem tataniaga produk
pertanian cenderung kompleks dan mahal tersebab pada sifat
konsentrasi-distributif produk pertanian, tidak seperti produk industri yang
proses pemasarannya berlangsung secara distributif. Hal yang membuat mahal adalah karena produk pertanian
utamanya pangan yang voluminous atau bulky sehingga biaya transportasi mahal,
penawaran produknya berskala kecil dan
tersebar, barang mudah rusak (perishable),
dan karakter barang variatif karena tergantung pada kespesifikan geografisnya.
Berdagang mencari penghidupan
mestilah dilakukan dengan hati-hati karena selain melibatkan banyak orang, juga
melibatkan adanya penawaran, kepandaian membaca situasi, peluang untung atau
rugi, dan lain-lain. Etika dalam
berdagang berikut disusun dari berbagai ajaran baik yang bersifat tidak
langsung dari ayat suci dan hadits, serta yang dicontohkan langsung oleh
Rasulullah SAW.
Satu, Dilandasi motivasi sebagai ibadah
Pada hakekatnya semua
pekerjaan mesti diniatkan karena Allah, lillahi ta’ala.“Sesungguhnya amal perbuatan
tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai
dengan yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka
ia akan mendapat pahala hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang
hijrahnya karena dunia yang ingin diperolehnya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya, maka ia mendapatkan hal sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR.
Al Bukhari dan Muslim).
Setiap
pekerjaan, dan setiap sumbangan pekerjaan tersebut pada sistem ekonomi
masyarakat, tidak berhenti sekedar pada
perolehan ekonomi. Dalam setiap aktivitas ekonomi selalu ada unsur
sosialnya. Nilai dari setiap benda yang kita beli sering lebih tinggi dari
harga yang kita bayarkan. Misalnya, untuk seorang yang kelaparan di siang hari
dan sedang menjalankan amanah penting dari kanornya, apakah sepiring nasi dan
lauknya seharga Rp 15.000 sebanding dengan lancarnya urusannya di hari itu?
Dengan makan siang tadi yang hanya seharga lima belas ribu, mungkin hari itu Ia
berhasil mendapatkan bonus dari kantor senilai sejuta rupiah.
Rasul
sudah mencontohkan. Awal beliau memulai berdagang, saat itu usianya masih 12
tahun. Rasul berdagang dengan mengikuti pamannya, Abdul Munthalib hingga ke
negeri Syam (Suriah). Ketika usianya menginjak 15-17 tahun, Rasul telah
berdagang secara mandiri, sampai-sampai beliau menjadi pemimpin rombongan
pedagang. Hingga akhirnya, kecakapannya
dalam berdagang mengundang perhatian janda kaya raya Siti Khadijah. Beliau pun
menikahi Khadijah dan usaha dagangannya menjadi semakin sukses. Ya, itulah buah
dari sebuah niat yang tulus. Segala sesuatu yang diniatkan untuk mencari ridho
Allah, pasti akan memudahkannya.
Karena berdagang adalah ibadah,
maka jangan meninggalkan ibadah yang utama. Surat Al Jumu’ah ayat 9 dan 10 selalu mengingatkan ini: “Hai orang-orang
yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
Dua, Bersikap jujur dan terbuka
Godaan
untuk tidak jujur sangat besar dalam berdagang.
Maka Rasulullah mengingatkan: “Sesungguhnya
para pedagang (pengusaha) akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai para
penjahat kecuali pedagang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik dan jujur.”
(HR Tirmidzi). Hadits yang lain misalnya: “Para pedagang adalah tukang
maksiat”. Diantara
para sahabat ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah
menghalalkan jual-beli?”. Rasulullah menjawab: “Ya, namun mereka sering
berdusta dalam berkata, juga sering bersumpah namun sumpahnya palsu”
(HR Ahmad).
Namun,
ketika pedagang bisa jujur, disitulah kunci suksesnya. Rasul telah
membuktikannya. Rasul justeru semakin dikenal kejujurannya ketika berdagang.
Beliau tidak pernah mengurangi takaran timbangan, selalu mengatakan apa adanya
tentang kondisi barang, baik kelebihan ataupun kekurangan barang tersebut.
Bahkan tak jarang Rasul melebihkan timbangan untuk menyenangkan konsumennya.
Atas kejujurannya itu, beliau pun dianugerahi julukan Al-Amin (yakni seseorang yang dapat dipercaya).
Alquran
menekankan pentingnya jujur dalam
berdagang. “Sempurnakanlah
takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah
dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi ini dengan membuat
kerusakan.” (AsySyu’araa: 181-183). Ayat lain yang senada dengan ini
misalnyanya adalah Ar-Rahmaan ayat 9, Al- an’aam ayat 152, serta Al-israa
ayat 35.
Senada dengan ini, maka jangan
melontarkan janji dan sumpah berlebihan. Semisal memuji
mutunya, keawetannya, kelebihannya, dan lain-lain. Sumpah itu tidak baik,
apalagi sampai bersumpah palsu. Bersumpah pada sesuatu yang belum yakin benar,
jelas termasuk dusta yang dibenci Allah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah,
Rasulullah SAW bersabda: “Sumpah
itu melariskan barang dagangan, akan tetapi menghapus keberkahan”.
Dalam berdagang Rasulullah SAW
tidak pernah melakukan penipuan. Diriwayatkan dari Abu Huraira RA: Rasulullah pernah melewati setumpuk makanan,
lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh
sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?”
Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Mengapa
kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya?
Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim). Dalam hadist lain, Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa yang menipu, maka
ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan,
tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban)
Dalam konteks ini, maka sebelum
akad jual beli ditunaikan, telitilah barang yang akan dibeli. Teliti sebelum
membeli. Sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah RA, Rasulullah S.A.W telah
melarang dua cara jual beli yaitu mulamasah
(pembeli hanya menyentuh barang jualan tanpa diteliti) dan munabazah (yaitu pembeli melontar sesuatu kepada barang jualan
tanpa diteliti).
Muzabanah tergolong sebagai jual beli yang tidak jelas. Artinya, barang dagangan
tidak boleh hanya ditaksir-taksir, harus
ditimbang. Ini masih sering kita jumpai pada “Pengijon” yakni pedagang
gabah yang membeli padi di sawah yang masih berdiri, biasanya sekitar 1-2
minggu sebelum panen. Mesti nya segera dihentikan.
Muzabanah dilarang misalnya menukar kurma basah dengan kurma
kering. Karena
sulitnya menilai suatu barang, maka barter kurang dianjurkan. Sebuah hadits
meriwayatkan barter kurma bagus dengan kurma yang jelek. Namun Rasul menasehati
jangan melakukan itu. Jika ingin membeli kurma yang baik,
jual lah dulu kurma jelek tersebut dan belilah kurma yang baik dengan hasil
penjualan tadi.
Namun,
pada satu riwayat, hukum barter diperbolehkan.
Selagi jenis komoditasnya berbeda maka perbedaan jumlah berat maupun takaran
tidaklah menjadi masalah. Namun apabila barter yang dilakukan dengan komoditas
yang sejenis maka harus dilakukan secara tunai dan jumlahnya sama. Jika tidak,
maka akan menjadi riba. Misalkan seorang
membarter antara beras “pandan wangi” dengan beras Raskin dengan jumlah lebih banyak. Barter boleh jika
antar jenis barang berbeda. Namun jika membarter barang yang sejenis harus
dibayar dulu secara tunai. Wallahu a’lam.
Tiga, Jual lah barang yang berkualitas
Prinsip
berikutnya yang dianut oleh Rasulullah SAW dalam berdagang yakni menjaga
kualitas barang jualannya. Beliau tidak pernah menjual barang-barang cacat.
Sebab itu akan merugikan pembeli dan bisa menjadi dosa bagi si penjual.
Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir RA, beliau mendengar Rasul bersabda: “Seorang muslim adalah saudara
bagi muslim yang lain, tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual barang
yang ada cacatnya kepada temannya, kecuali jika dia jelaskan” (HR.
Ibn Majah).
Namun dilarang pula menjelek-jelekan
dagangan orang lain. Jika kita hendak berdagang, sebaiknya lakukan
secara benar sesuai syariat agama. Tidak perlu kita menjelek-jelekan dagangan
orang lain dengan tujuan agar semua konsumen lari menuju kita. Ini tergolong
dosa. Rasulullah bersabda: “Janganlah seseorang diantara kalian menjual
dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual orang lain” (HR
Muttafaq Alaih).
Empat, Ambil lah keuntungan sewajarnya
Seringkali
kita jumpai pedagang yang menjual barangnya dengan harga jauh lebih mahal dari
harga aslinya. Mereka berusaha mengambil laba setinggi mungkin tanpa memikirkan
kondisi konsumen. Cara-cara tidak terpuji ini tidak pernah dipraktekkan
Rasulullah SAW.
Sebaliknya,
Nabi SAW selalu mengambil keuntungan sewajarnya. Bahkan ketika ditanyai oleh
pembeli tentang modalnya, beliau akan memberitahukan sejujur-jujurnya. Intinya,
tujuan Nabi berdagang bukan semata-mata mengejar keuntungan duniawi saja, tapi
lebih pada mencari keberkahan dari Allah SWT. “Barangsiapa yang menghendaki keuntungan akhirat,
akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki
keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan
tidak ada baginya suatu kebahagiaan pun di akhirat .” (Asy-Syuraa: 20).
Pada
hakekatnya, transaksi perdagangan terwujud karena ada dua pihak saling
membutuhkan. Maka, transkasi ini mestinya juga akan saling menguntungkan kedua
belah pihak. Maka, sesuai tuntunan Rasulullah, berdagang harus dilandasi
prinsip butuh sama butuh dan suka sama suka. Agar tercapai tujuan mulia ini,
info kan kondisi barang sejujurnya, serta capai kesepakatan bersama baik dalam
harga, jenis barang, dan cara memberikan barang tersebut kepada pembeli.
Rasulullah bersabda:
“Janganlah dua orang yang berjual-beli berpisah ketika mengadakan perniagaan
kecuali atas dasar suka-sama suka” (HR. Ahmad). “Sesungguhnya perniagaan itu
hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa suka sama suka” (HR Ibnu Majah).
Larangan-Larangan
dalam Perniagaan
Satu, Tidak menjual barang haram.
Menjual barang-barang haram
jelas tidak diperbolehkan dalam Islam, dan Nabi juga tidak pernah melakukan hal
tersebut. Maka itu, jauhilah berdagang barang-barang yang tidak jelas
kehalalannya, semisal minuman keras, rokok, patung dan sebagainya. Rasulullah
bersabda: “Perdagangan khamr telah
diharamkan” (HR. Bukhari). ”Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas
suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil
penjualannya.” (HR Ahmad)
Dua, Jangan memaksa.
Fenomena yang cukup banyak
terjadi di masyarakat kita, dimana petani terpaksa menjual hasil panenya kepada
pedagang gabah hanya karena telah berhutang pupuk sebelumnya darinya. Hadits Rasulullah menyebut bahwa penjual dan pembeli mempunyai
hak khiar yaitu kesempatan berfikir
selagi mereka belum berpisah. Ini demi
menekan ketidakjujuran.
Tiga, Jangan pura-pura membeli
Hadits diriwayatkan dari Ibnu Umar R.A katanya, sesungguhnya Rasulullah SAW
telah melarang dari menjual-beli cara najshi,
yaitu pura-pura membayar dengan harga yang lebih mahal supaya pembeli lain
tertipu.
Empat, Dilarang bertransaksi di luar
pasar
Diriwayatkan dari Ibnu Umar R.A katanya: “Sesungguhnya Rasulullah S.A.W melarang menahan barang
dagangan sebelum tiba di pasaran. Ini adalah lafaz dari Ibnu Numair. Sedangkan menurut
perawi yang lain, sesungguhnya Nabi S.A.W melarang pembelian barang dagangan
sebelum dipasarkan”.
Lima, Dilarang menimbun barang
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud R.A katanya: Dari Nabi SAW bahwa Rasul
melarang menahan pembelian (menimbun) barang-barang dagangan. Persoalan
menimbun ini sedikit pelik, sehingga berbagai tuduhan akhirnya sulit
dibuktikan. Saat daging sapi mencapai Rp 120 ribu sekilo pemerintah panik.
Pengusaha penggemukan (feedlot)
digerebek, diduga telah sengaja tidak memotong ternaknya, padahal memang
sapinya belum cukup gemuk. Polisi kecele.
Menimbun
barang merupakan keadaan dimana seseorang membeli barang dengan sangat banyak,
lalu menyimpannya sekian waktu, dan melepasnya saat harga melesat
tinggi. Ini perbuatan
zalim. Dampaknya banyak, yakni terganggunya
mekanisme jual-beli di pasar, egois dan membunuh pedagang
lain. Diriwayatkan dari Ma’mar bin Abdullah
bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah
seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR Muslim)
Enam, Dilarang menjadi calo
Beda yang pokok antara pedagang
beneran dengan “calo” adalah, “calo” tidak membayar tunai barang dagangan dan
juga tidak menyebutkan harga saat mengambil tu barang. Ini sering terjadi pada ternak. Belantik sering membawa sapi atau kambing
peternak ke pasar tanpa meninggalkan uang sepersepun. Harga baru diputuskan
nanti setelah barang terjual.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA katanya: Rasulullah S.A.W melarang orang
tengah (jadi calo?) mengambil kesempatan dengan membeli barang dagangan untuk
dijualkan kepada orang kampung. Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA katanya: Kami
dilarang menjual barang dagangan kepada orang tengah (jadi calo) untuk dijualkan kepada orang
kampung, sekalipun orang itu saudara atau ayahnya. Dalam ilmu tataniaga mereka
disebut dengan pedagang perantara (middlemant),
namun tidak berperilaku dalam makna sebagai pedagang sesungguhnya.
Atau,
terakhir ini kita mendengar sistem penjualan barang dengan metode dropshipping. Disini, seseorang menjual
suatu produk kepada buyer (konsumen)
tanpa membeli produk tersebut terlebih dahulu. Pembelinya dicari terlebih
dahulu, dan jika sudah ada buyer yang
memesan dan membayar, baru menghubungi agen resminya. Lalu grosir akan mengirim
barang tersebut secara langsung ke alamat buyer
dengan atas nama toko kita. Rasulullah mengingatkan agar kita tidak menjual
barang yang bukan milik kita, sebab itu bisa merugikan pihak lain.
Hakim
bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, ada seseorang
yang mendatangiku seraya meminta kepadaku agar aku menjual kepadanya barang
yang belum aku miliki, dengan cara terlebih dahulu aku membelinya untuknya dari
pasar?” Rasulullah menjawab : “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada
padamu” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Nasai).
Tujuh, Bayar
secara tunai, jangan dihutang
Pembayaran
yang ditunda sangat biasa pada perdagangan tradisional, mereka menyebutnya
“hutang”. Namun, kadang kala kondisinya sudah kelewatan. Dari hasil studi Saya dengan para pedagang, betapa banyak pedagang
yang rugi bahkan bangkrut gara-gara piutangnya tidak dibayar berbulan dan
bertahun-tahun. Istilahnya “dikemplang”
atau “melarikan uang” pedagang lain. Bagi pedagang pengumpul mangga dan kelapa
misalnya yang modalnya terbatas, piutang puluhan sampai ratusan juta yang
dikemplang dapat mematikan usahanya. Ini
sering terjadi.
Ini sebenarnya bukan hutang
dalam makna normal. Kalau hutang akadnya jelas, yaitu meminjamkan uang kepada
seseorang untuk dibayarkan nanti. Namun dalam perdangan, yang terjadi adalah
pembayaran yang tertunda, yang seringkali agak memaksa dikaitkan dengan
otoritas nya yang kuat dalam sistem dan jalur perdagangan tersebut.
Hukum tentang hutang-piutang
sangat tegas. Puluhan mungkin ratusan hadits telah mengingatkannya. Berhutang dalam perdagangan sebenarnya tidak perlu
terjadi jika setiap transaksi dilakukan cash.
Ada uang ada barang. Hadits diriwayatkan dari Usamah bin Zaid RA bahwa ”Sesungguhnya
riba itu terdapat dalam penangguhan bayarannya”. Haits
Rasulullah “Perak ditukar dengan emas
adalah riba kecuali diserah dan diterima pada waktu yang sama. Gandum ditukar
dengan gandum adalah riba kecuali diserah dan diterima pada waktu tersebut.
Kurma ditukar dengan kurma juga adalah riba kecuali diserah dan diterima pada
waktu yang sama”.
Pointnya adalah ada perubahan
nilai karena faktor waktu. Satu hadits perlu digarisbawahi: ”....
sesungguhnya orang yang paling baik di antara kamu atau orang yang terbaik di
antara kamu adalah orang yang paling baik ketika membayar hutang”.
Perdagangan yang
Berkeadilan
Sebagaimana dibahas di bagian lain buku ini, ada kecenderungan bahwa
berbagai trend berfikir dan bersikap
yang lahir dari kalangan akademis dan penggiat begitu banyak yang sejalan
dengan ghiroh Islam. Di antaranya adalah penerapan pertanian ramah lingkungan.
Demikian pula dengan perjuangan kepada perdagangan adil.
Para ahli, pemerhati, dan kaum akademis yang
bekerja dengan hati yang suci telah dituntun ke arah ghiroh Islam, meskipun
mereka bukan Muslim; sehingga lahirlah konsep “pertanian ramah lingkungan”,
“perjuangan hak azasi petani”, “Animal Welfare”, “GAP”, “perdagangan adil, dan
lain-lain…….
Perdagangan berkeadilan (fair trade) adalah sistem perdagangan
alternatif yang menjalankan prinsip-prinsip tertentu untuk mencapai kesetaraan
dalam perdagangan internasional. Idenya mungkin diawali dari tata perdagangan
di level dunia, namun prinsip ini juga relevan untuk diterapkan pada
level lokal. Sistem perdagangan adil timbul sebagai reaksi
terhadap sistem perdagangan bebas yang meminggirkan petani dan perajin di
negara berkembang.
Perdagangan berkeadilan bisa disebut sebagai kritik terhadap mudhoratnya
“perdagangan bebas”. Secara ideologis keduanya berbeda. Perbedaan utamanya
adalah karena fair trade lebih luas perhatiannya dari hanya
sekedar aspek ekonomi, namun juga kemanusiaan dan lingkungan.
Usaha awal fair trade diinisiasi tahun 1940-an dan
1950-an oleh NGO. Setiap barang yang diperdagangkan harus memperoleh label
yang diterbitkan beberapa organisasi sertifikat perdagangan berkeadilan (Fairtrade
certifiers) yaitu Fairtrade International, IMO dan Eco-Social. Intinya,
melalui pengaturan perdagangan ini ingin diperbaiki nasib petaninya dan pra
pelaku perdagangan di dalamnya. Fokus fair
trade adalah produsen
lemah di negara berkembang yang tidak dapat berkompetisi langsung di pasar
terbuka. Mereka membutuhkan dukungan khusus.
Inilah bedanya dengan konsep free trade. Fair trade memperhatikan aspek ekonomi, kemanusiaan, dan juga
lingkungan. Mengawasi kesejahteraan produsen, lingkungan kerja yang
sehat, keadilan gender, HAM, dan juga kelestarian lingkungan. Bukan melulu
mengurusi harga, tapi pada pembangunan masyarakat dan bagaimana agar
petani dan produsen kecil sustain dan untung. Menjamin hak-hak
produsen dan pekerja yang terpinggirkan dengan harga yang menguntungkan di
tingkat produsen. Strategi utama membeli langsung dari petani atau koperasi
tani dan produsen lokal, sehingga mereka memperoleh manfaat yang paling besar
dari apa yang telah mereka produksi. Bagian untuk broker dikurangi
bahkan kalau perlu dihilangkan. Keuntungan terbesar diupayakan untuk produsen.
Produsen kecil dibela, sehingga tetap dapat hidup dan menguntungkan dari sistem
perdagangan yang berjalan.
Ada sepuluh prinsip perdagangan berkeadilan (fair trade)
yang sungguh “Islami banget”,
yaitu:
1.
Menciptakan
peluang bagi produsen kecil,
2.
Bersifat trasnparan
dan bertanggung jawab, dimana produsen menyampaikan karakter dan kualitas
barangnya secara jujur, sehingga tidak perlu broker dan
iklan yang menyedot biaya besar,
3.
Tidak
semata-mata mengejar keuntungan, namun perduli pada kesejahteraan
sosial, ekonomi dan lingkungan bagi produsen kecil,
4.
Adil dalam
pembayaran,
5.
Tidak
memperkerjakan anak-anak dan buruh paksa,
6.
Mengutamakan
kesetaraan gender dan kebebasan berserikat bagi produsen,
7.
Memiliki
tempat kerja yang sehat,
8.
Meningkatkan
kapasitas produsen,
9.
Aktif
mensosialisasikan perdagangan yang berkeadilan, dan
10.
Menghormati
keseimbangan ekologis.
Organisasi yang perduli dengan ini di Indonesia adalah Forum Fair Trade
Indonesia (WFTO). Mereka rutin bersama-sama dengan organisasi konsumen untuk
meninjau dan menilai praktek kerja produsen, untuk melihat bagaimana kesehatan
dan kelayakan lingkungan tempat kerja, apakah misalnya menggunakan buruh anak,
dan lain-lain.
Berapa
batas mengambil keuntungan dalam berdagang berdagang?
Satu fatwa
menyatakan tidak ada batasan tertentu, karena itu termasuk rizki
Allah. Namun, jika ada orang yang memonopoli barang, hanya dia yang menjualnya,
lalu dia mengambil keuntungan besar-besaran dari masyarakat, maka ini
tidak halal baginya. Ini sama dengan bai’ al-Mudhthor, artinya
menjual barang kepada orang yang sangat membutuhkan. Karena ketika
masyarakat sangat membutuhkan benda tertentu, sementara barang itu hanya dia
yang punya, tentu orang akan membeli juga berapapun harganya. Dalam kasus ini,
pemerintah bisa melakukan pemaksaan harga, pemerintah berhak untuk turut campur
dan membatasi keuntungan yang wajar baginya.
Lalu,
sesuai pendapat Prof. Dr. Sulaiman Alu Isa (Guru besar di Universitas King
Saud), tidak ada masalah dengan tambahan
harga untuk suatu barang dagangan, selama bukan makanan, sehingga termasuk
ihtikar (menimbun barang) yang hukumnya terlarang. Hanya saja, selayaknya tidak
keluar dari harga normal, sehingga termasuk penipuan, yang menyebabkan pembeli
memiliki hak pilih setelah jual beli. Sebagian ulama
menetapkan batasannya adalah sepertiga. Berdasarkan sabda Nabi yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim: “Sepertiga,
dan sepertiga itu sudah banyak.”
Diriwayatkan
tentang Urwah RA yang menjual salah satu kambingnya dengan 1 dinar, padahal dia
membeli dengan 1 dinar untuk 2 ekor kambing. Sehingga dia mendapat satu
kambing. Dan Nabi merestui perbuatan Urwah, bahkan mendoakannya dengan
kebaikan.
Namun,
untuk barang kebutuhan pokok masyarakat, mengambil untung berlebihan termasuk
penipuan. Konsumen yang membeli barang terlalu mahal punya hak ‘khiyar ghabn’ (khiyar karena harga yang
sangat tidak layak). Kita catat pendapat Prof. Dr. Sulaiman Alu Isa di atas,
bahwa tidak ada masalah dengan menentukan margin suatu barang dagangan, selama
bukan makanan. Bro and Sis, sekali lagi lihat, makanan beda. Berdagang bahan
makanan harus beda hukum dan perlakuannya.
Wallahu a’lam
bish shawwab.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar