Minggu, 10 Mei 2020

Subbab 6.4. BOLEH DAN TIDAK BOLEH DALAM BERDAGANG HASIL PERTANIAN

(Draf Buku “BERTANI DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam.  Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)


Barang-barang produk hasil pertanian bersifat khas,  sehingga membentuk etika perdagangan nya sendiri. Berbeda dengan barang manufaktur, komoditas pertanian tidak seragam dan mudah rusak. Karena itu,   menjadi tantangan sendiri bagaimana mengoperasikan tataniaganya dari produsen sampai ke konsumen akhir, dari ladang yang berlumpur ke meja-meja makan yang bersih kinclong. Ada dua aspek disini. Dari aspek fisik, meliputi mulai dari panen, pembersihan, penyortiran, packing, penyimpanan, dan pengangkutan. Sementara dari sisi finansial - ekonomi, berlangsung proses penawaran barang, tawar menawar harga, penyepakatan, pembayaran, hutang piutang, dan seterusnya.

Semua ini melibatkan orang-orang. Dari hulu sampai ke hilir, akan ada sekian transaski, sekian relasi.  Dalam rantai ini setidaknya melibatkan petani, buruh, jasa transportasi, pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan konsumen. Ini semua tentu muamalah yang harus ditata. Misalnya jangan ada gharar, ingkar janji, penipuan, informasi salah, pembayaran ditangguhnya, utang tidak dibayar-bayar, dan lain-lain.

Sistem tataniaga produk pertanian cenderung kompleks dan mahal tersebab pada sifat konsentrasi-distributif produk pertanian, tidak seperti produk industri yang proses pemasarannya berlangsung secara distributif. Hal yang  membuat mahal adalah karena produk pertanian utamanya pangan yang voluminous atau bulky sehingga biaya transportasi mahal, penawaran produknya berskala kecil  dan tersebar, barang mudah rusak (perishable), dan karakter barang variatif karena tergantung pada kespesifikan geografisnya.

Berdagang mencari penghidupan mestilah dilakukan dengan hati-hati karena selain melibatkan banyak orang, juga melibatkan adanya penawaran, kepandaian membaca situasi, peluang untung atau rugi, dan lain-lain.  Etika dalam berdagang berikut disusun dari berbagai ajaran baik yang bersifat tidak langsung dari ayat suci dan hadits, serta yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW.

Satu, Dilandasi motivasi sebagai ibadah

Pada hakekatnya semua pekerjaan mesti diniatkan karena Allah, lillahi ta’ala.“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka ia akan mendapat pahala hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diperolehnya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka ia mendapatkan hal sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Setiap pekerjaan, dan setiap sumbangan pekerjaan tersebut pada sistem ekonomi masyarakat, tidak berhenti sekedar pada  perolehan ekonomi. Dalam setiap aktivitas ekonomi selalu ada unsur sosialnya. Nilai dari setiap benda yang kita beli sering lebih tinggi dari harga yang kita bayarkan. Misalnya, untuk seorang yang kelaparan di siang hari dan sedang menjalankan amanah penting dari kanornya, apakah sepiring nasi dan lauknya seharga Rp 15.000 sebanding dengan lancarnya urusannya di hari itu? Dengan makan siang tadi yang hanya seharga lima belas ribu, mungkin hari itu Ia berhasil mendapatkan bonus dari kantor senilai sejuta rupiah.

Rasul sudah mencontohkan. Awal beliau memulai berdagang, saat itu usianya masih 12 tahun. Rasul berdagang dengan mengikuti pamannya, Abdul Munthalib hingga ke negeri Syam (Suriah). Ketika usianya menginjak 15-17 tahun, Rasul telah berdagang secara mandiri, sampai-sampai beliau menjadi pemimpin rombongan pedagang.  Hingga akhirnya, kecakapannya dalam berdagang mengundang perhatian janda kaya raya Siti Khadijah. Beliau pun menikahi Khadijah dan usaha dagangannya menjadi semakin sukses. Ya, itulah buah dari sebuah niat yang tulus. Segala sesuatu yang diniatkan untuk mencari ridho Allah, pasti akan memudahkannya.

Karena berdagang adalah ibadah, maka jangan meninggalkan ibadah yang utama. Surat Al Jumu’ah ayat 9 dan 10 selalu mengingatkan ini: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

Dua, Bersikap jujur dan terbuka

Godaan untuk tidak jujur sangat besar dalam berdagang.  Maka Rasulullah mengingatkan: “Sesungguhnya para pedagang (pengusaha) akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai para penjahat kecuali pedagang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik dan jujur.” (HR Tirmidzi). Hadits yang lain misalnya: “Para pedagang adalah tukang maksiat”. Diantara para sahabat ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual-beli?”. Rasulullah menjawab: “Ya, namun mereka sering berdusta dalam berkata, juga sering bersumpah namun sumpahnya palsu” (HR Ahmad).

Namun, ketika pedagang bisa jujur, disitulah kunci suksesnya. Rasul telah membuktikannya. Rasul justeru semakin dikenal kejujurannya ketika berdagang. Beliau tidak pernah mengurangi takaran timbangan, selalu mengatakan apa adanya tentang kondisi barang, baik kelebihan ataupun kekurangan barang tersebut. Bahkan tak jarang Rasul melebihkan timbangan untuk menyenangkan konsumennya. Atas kejujurannya itu, beliau pun dianugerahi julukan Al-Amin (yakni seseorang yang dapat dipercaya).

Alquran menekankan  pentingnya jujur dalam berdagang. “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi ini dengan membuat kerusakan.” (AsySyu’araa: 181-183). Ayat lain yang senada dengan ini misalnyanya adalah Ar-Rahmaan ayat 9, Al- an’aam ayat 152, serta Al-israa ayat  35.

Senada dengan ini, maka jangan melontarkan janji dan sumpah berlebihan. Semisal memuji mutunya, keawetannya, kelebihannya, dan lain-lain. Sumpah itu tidak baik, apalagi sampai bersumpah palsu. Bersumpah pada sesuatu yang belum yakin benar, jelas termasuk dusta yang dibenci Allah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Sumpah itu melariskan barang dagangan, akan tetapi menghapus keberkahan”.

Dalam berdagang Rasulullah SAW tidak pernah melakukan penipuan. Diriwayatkan dari Abu Huraira RA: Rasulullah pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim). Dalam hadist lain, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban)

Dalam konteks ini, maka sebelum akad jual beli ditunaikan, telitilah barang yang akan dibeli. Teliti sebelum membeli. Sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah RA, Rasulullah S.A.W telah melarang dua cara jual beli yaitu mulamasah (pembeli hanya menyentuh barang jualan tanpa diteliti) dan munabazah (yaitu pembeli melontar sesuatu kepada barang jualan tanpa diteliti).

Muzabanah tergolong sebagai jual beli yang tidak jelas. Artinya, barang dagangan tidak boleh hanya ditaksir-taksir, harus  ditimbang. Ini masih sering kita jumpai pada “Pengijon” yakni pedagang gabah yang membeli padi di sawah yang masih berdiri, biasanya sekitar 1-2 minggu sebelum panen. Mesti nya segera dihentikan.

Muzabanah dilarang misalnya menukar kurma basah dengan kurma kering. Karena sulitnya menilai suatu barang, maka barter kurang dianjurkan. Sebuah hadits meriwayatkan barter kurma bagus dengan kurma yang jelek. Namun Rasul menasehati jangan melakukan itu. Jika ingin membeli kurma yang baik, jual lah dulu kurma jelek tersebut dan belilah kurma yang baik dengan hasil penjualan tadi.

Namun, pada satu riwayat, hukum barter diperbolehkan. Selagi jenis komoditasnya berbeda maka perbedaan jumlah berat maupun takaran tidaklah menjadi masalah. Namun apabila barter yang dilakukan dengan komoditas yang sejenis maka harus dilakukan secara tunai dan jumlahnya sama. Jika tidak, maka akan menjadi riba. Misalkan seorang membarter antara beras “pandan wangi” dengan beras Raskin dengan jumlah lebih banyak. Barter boleh jika antar jenis barang berbeda. Namun jika membarter barang yang sejenis harus dibayar dulu secara tunai.  Wallahu a’lam.

Tiga, Jual lah barang yang berkualitas

Prinsip berikutnya yang dianut oleh Rasulullah SAW dalam berdagang yakni menjaga kualitas barang jualannya. Beliau tidak pernah menjual barang-barang cacat. Sebab itu akan merugikan pembeli dan bisa menjadi dosa bagi si penjual. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir RA, beliau mendengar Rasul bersabda: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual barang yang ada cacatnya kepada temannya, kecuali jika dia jelaskan” (HR. Ibn Majah).

Namun dilarang pula menjelek-jelekan dagangan orang lain. Jika kita hendak berdagang, sebaiknya lakukan secara benar sesuai syariat agama. Tidak perlu kita menjelek-jelekan dagangan orang lain dengan tujuan agar semua konsumen lari menuju kita. Ini tergolong dosa. Rasulullah bersabda:  “Janganlah seseorang diantara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual orang lain” (HR Muttafaq Alaih). 

Empat, Ambil lah keuntungan sewajarnya

Seringkali kita jumpai pedagang yang menjual barangnya dengan harga jauh lebih mahal dari harga aslinya. Mereka berusaha mengambil laba setinggi mungkin tanpa memikirkan kondisi konsumen. Cara-cara tidak terpuji ini tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW.

Sebaliknya, Nabi SAW selalu mengambil keuntungan sewajarnya. Bahkan ketika ditanyai oleh pembeli tentang modalnya, beliau akan memberitahukan sejujur-jujurnya. Intinya, tujuan Nabi berdagang bukan semata-mata mengejar keuntungan duniawi saja, tapi lebih pada mencari keberkahan dari Allah SWT. “Barangsiapa yang menghendaki keuntungan akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu kebahagiaan pun di akhirat .” (Asy-Syuraa: 20).

Pada hakekatnya, transaksi perdagangan terwujud karena ada dua pihak saling membutuhkan. Maka, transkasi ini mestinya juga akan saling menguntungkan kedua belah pihak. Maka, sesuai tuntunan Rasulullah, berdagang harus dilandasi prinsip butuh sama butuh dan suka sama suka. Agar tercapai tujuan mulia ini, info kan kondisi barang sejujurnya, serta capai kesepakatan bersama baik dalam harga, jenis barang, dan cara memberikan barang tersebut kepada pembeli. Rasulullah bersabda: “Janganlah dua orang yang berjual-beli berpisah ketika mengadakan perniagaan kecuali atas dasar suka-sama suka” (HR. Ahmad). “Sesungguhnya perniagaan itu hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa suka sama suka” (HR Ibnu Majah). 

Larangan-Larangan dalam Perniagaan

Satu, Tidak menjual barang haram.

Menjual barang-barang haram jelas tidak diperbolehkan dalam Islam, dan Nabi juga tidak pernah melakukan hal tersebut. Maka itu, jauhilah berdagang barang-barang yang tidak jelas kehalalannya, semisal minuman keras, rokok, patung dan sebagainya. Rasulullah bersabda: “Perdagangan khamr telah diharamkan” (HR. Bukhari). ”Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (HR Ahmad)

Dua, Jangan memaksa.

Fenomena yang cukup banyak terjadi di masyarakat kita, dimana petani terpaksa menjual hasil panenya kepada pedagang gabah hanya karena telah berhutang pupuk sebelumnya darinya. Hadits Rasulullah menyebut bahwa penjual dan pembeli mempunyai hak khiar yaitu kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah.  Ini demi menekan ketidakjujuran.

Tiga, Jangan pura-pura membeli

Hadits diriwayatkan dari Ibnu Umar R.A katanya, sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang dari menjual-beli cara najshi, yaitu pura-pura membayar dengan harga yang lebih mahal supaya pembeli lain tertipu.

Empat, Dilarang bertransaksi di luar pasar

Diriwayatkan dari Ibnu Umar R.A katanya:  Sesungguhnya Rasulullah S.A.W melarang menahan barang dagangan sebelum tiba di pasaran. Ini adalah lafaz dari Ibnu Numair. Sedangkan menurut perawi yang lain, sesungguhnya Nabi S.A.W melarang pembelian barang dagangan sebelum dipasarkan”.

Lima, Dilarang menimbun barang

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud R.A katanya: Dari Nabi SAW bahwa Rasul melarang menahan pembelian (menimbun) barang-barang dagangan. Persoalan menimbun ini sedikit pelik, sehingga berbagai tuduhan akhirnya sulit dibuktikan. Saat daging sapi mencapai Rp 120 ribu sekilo pemerintah panik. Pengusaha penggemukan (feedlot) digerebek, diduga telah sengaja tidak memotong ternaknya, padahal memang sapinya belum cukup gemuk. Polisi kecele. 

Menimbun barang merupakan keadaan dimana seseorang membeli barang dengan sangat banyak, lalu menyimpannya sekian waktu, dan melepasnya saat harga melesat tinggi. Ini perbuatan zalim. Dampaknya banyak, yakni terganggunya mekanisme jual-beli di pasar, egois dan membunuh pedagang lain. Diriwayatkan dari Ma’mar bin Abdullah bahwa Rasulullah bersabda:Tidaklah seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR Muslim)

Enam, Dilarang menjadi calo

Beda yang pokok antara pedagang beneran dengan “calo” adalah, “calo” tidak membayar tunai barang dagangan dan juga tidak menyebutkan harga saat mengambil tu barang.  Ini sering terjadi pada ternak. Belantik sering membawa sapi atau kambing peternak ke pasar tanpa meninggalkan uang sepersepun. Harga baru diputuskan nanti setelah barang terjual.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA katanya: Rasulullah S.A.W melarang orang tengah (jadi calo?) mengambil kesempatan dengan membeli barang dagangan untuk dijualkan kepada orang kampung.  Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA katanya: Kami dilarang menjual barang dagangan kepada orang tengah  (jadi calo) untuk dijualkan kepada orang kampung, sekalipun orang itu saudara atau ayahnya. Dalam ilmu tataniaga mereka disebut dengan pedagang perantara (middlemant), namun tidak berperilaku dalam makna sebagai pedagang sesungguhnya.

Atau, terakhir ini kita mendengar sistem penjualan barang dengan metode dropshipping. Disini, seseorang menjual suatu produk kepada buyer (konsumen) tanpa membeli produk tersebut terlebih dahulu. Pembelinya dicari terlebih dahulu, dan jika sudah ada buyer yang memesan dan membayar, baru menghubungi agen resminya. Lalu grosir akan mengirim barang tersebut secara langsung ke alamat buyer dengan atas nama toko kita. Rasulullah mengingatkan agar kita tidak menjual barang yang bukan milik kita, sebab itu bisa merugikan pihak lain.

Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku seraya meminta kepadaku agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan cara terlebih dahulu aku membelinya untuknya dari pasar?” Rasulullah menjawab : “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Nasai).

Tujuh, Bayar secara tunai, jangan dihutang

Pembayaran yang ditunda sangat biasa pada perdagangan tradisional, mereka menyebutnya “hutang”. Namun, kadang kala kondisinya sudah kelewatan. Dari hasil studi Saya  dengan para pedagang, betapa banyak pedagang yang rugi bahkan bangkrut gara-gara piutangnya tidak dibayar berbulan dan bertahun-tahun.  Istilahnya “dikemplang” atau “melarikan uang” pedagang lain. Bagi pedagang pengumpul mangga dan kelapa misalnya yang modalnya terbatas, piutang puluhan sampai ratusan juta yang dikemplang dapat mematikan usahanya.  Ini sering terjadi.

Ini sebenarnya bukan hutang dalam makna normal. Kalau hutang akadnya jelas, yaitu meminjamkan uang kepada seseorang untuk dibayarkan nanti. Namun dalam perdangan, yang terjadi adalah pembayaran yang tertunda, yang seringkali agak memaksa dikaitkan dengan otoritas nya yang kuat dalam sistem dan jalur perdagangan tersebut.

Hukum tentang hutang-piutang sangat tegas. Puluhan mungkin ratusan hadits telah mengingatkannya. Berhutang dalam perdagangan sebenarnya tidak perlu terjadi jika setiap transaksi dilakukan cash. Ada uang ada barang. Hadits diriwayatkan dari Usamah bin Zaid RA bahwa  ”Sesungguhnya riba itu terdapat dalam penangguhan bayarannya”. Haits Rasulullah “Perak ditukar dengan emas adalah riba kecuali diserah dan diterima pada waktu yang sama. Gandum ditukar dengan gandum adalah riba kecuali diserah dan diterima pada waktu tersebut. Kurma ditukar dengan kurma juga adalah riba kecuali diserah dan diterima pada waktu yang sama”.

Pointnya adalah ada perubahan nilai karena faktor waktu. Satu hadits perlu digarisbawahi: ”.... sesungguhnya orang yang paling baik di antara kamu atau orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik ketika membayar hutang”.

Perdagangan yang Berkeadilan

Sebagaimana dibahas di bagian lain buku ini, ada kecenderungan bahwa berbagai trend berfikir dan bersikap yang lahir dari kalangan akademis dan penggiat begitu banyak yang sejalan dengan ghiroh Islam. Di antaranya adalah penerapan pertanian ramah lingkungan. Demikian pula dengan perjuangan kepada perdagangan adil.

Para ahli, pemerhati, dan kaum akademis yang bekerja dengan hati yang suci telah dituntun ke arah ghiroh Islam, meskipun mereka bukan Muslim; sehingga lahirlah konsep “pertanian ramah lingkungan”, “perjuangan hak azasi petani”, “Animal Welfare”, “GAP”, “perdagangan adil, dan lain-lain…….

Perdagangan berkeadilan (fair trade) adalah sistem perdagangan alternatif yang menjalankan prinsip-prinsip tertentu untuk mencapai kesetaraan dalam perdagangan internasional. Idenya mungkin diawali dari tata perdagangan di level dunia, namun prinsip ini juga relevan untuk diterapkan pada level lokal. Sistem perdagangan adil timbul sebagai reaksi terhadap sistem perdagangan bebas yang meminggirkan petani dan perajin di negara berkembang.

Perdagangan berkeadilan bisa disebut sebagai kritik terhadap mudhoratnya “perdagangan bebas”. Secara ideologis keduanya berbeda. Perbedaan utamanya adalah karena fair trade lebih luas perhatiannya dari hanya sekedar aspek ekonomi, namun juga kemanusiaan dan lingkungan.  

Usaha awal fair trade diinisiasi tahun 1940-an dan 1950-an oleh NGO. Setiap barang yang diperdagangkan harus memperoleh label yang diterbitkan beberapa organisasi sertifikat perdagangan berkeadilan (Fairtrade certifiers) yaitu Fairtrade International, IMO dan Eco-Social. Intinya, melalui pengaturan perdagangan ini ingin diperbaiki nasib petaninya dan pra pelaku perdagangan di dalamnya. Fokus fair trade adalah produsen lemah di negara berkembang yang tidak dapat berkompetisi langsung di pasar terbuka. Mereka membutuhkan dukungan khusus.

Inilah bedanya dengan konsep free trade. Fair trade memperhatikan aspek ekonomi, kemanusiaan, dan juga lingkungan.  Mengawasi kesejahteraan produsen, lingkungan kerja yang sehat, keadilan gender, HAM, dan juga kelestarian lingkungan. Bukan melulu mengurusi harga, tapi pada pembangunan masyarakat dan bagaimana agar petani dan produsen kecil sustain dan untung. Menjamin hak-hak produsen dan pekerja yang terpinggirkan dengan harga yang menguntungkan di tingkat produsen. Strategi utama membeli langsung dari petani atau koperasi tani dan produsen lokal, sehingga mereka memperoleh manfaat yang paling besar dari apa yang telah mereka produksi. Bagian untuk broker dikurangi bahkan kalau perlu dihilangkan. Keuntungan terbesar diupayakan untuk produsen. Produsen kecil dibela, sehingga tetap dapat hidup dan menguntungkan dari sistem perdagangan yang berjalan.

Ada sepuluh prinsip perdagangan berkeadilan (fair trade) yang sungguh “Islami banget”, yaitu: 

1.       Menciptakan peluang bagi produsen kecil,

2.       Bersifat trasnparan dan bertanggung jawab, dimana produsen menyampaikan karakter dan kualitas barangnya secara jujur, sehingga tidak perlu broker dan iklan yang menyedot biaya besar,

3.       Tidak semata-mata mengejar keuntungan, namun perduli pada kesejahteraan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi produsen kecil,

4.       Adil dalam pembayaran,

5.       Tidak memperkerjakan anak-anak dan buruh paksa,

6.       Mengutamakan kesetaraan gender dan kebebasan berserikat bagi produsen,

7.       Memiliki tempat kerja yang sehat,

8.       Meningkatkan kapasitas produsen,

9.       Aktif mensosialisasikan perdagangan yang berkeadilan, dan

10.    Menghormati keseimbangan ekologis.

Organisasi yang perduli dengan ini di Indonesia adalah Forum Fair Trade Indonesia (WFTO). Mereka rutin bersama-sama dengan organisasi konsumen untuk meninjau dan menilai praktek kerja produsen, untuk melihat bagaimana kesehatan dan kelayakan lingkungan tempat kerja, apakah misalnya menggunakan buruh anak, dan lain-lain.

Berapa batas mengambil keuntungan dalam berdagang berdagang?

Satu fatwa menyatakan tidak ada batasan tertentu, karena itu termasuk rizki Allah. Namun, jika ada orang yang memonopoli barang, hanya dia yang menjualnya, lalu dia mengambil keuntungan besar-besaran dari masyarakat, maka ini tidak halal baginya. Ini sama dengan bai’ al-Mudhthor, artinya menjual barang kepada orang yang sangat membutuhkan. Karena ketika masyarakat sangat membutuhkan benda tertentu, sementara barang itu hanya dia yang punya, tentu orang akan membeli juga berapapun harganya. Dalam kasus ini, pemerintah bisa melakukan pemaksaan harga, pemerintah berhak untuk turut campur dan membatasi keuntungan yang wajar baginya.

Lalu, sesuai pendapat Prof. Dr. Sulaiman Alu Isa (Guru besar di Universitas King Saud),  tidak ada masalah dengan tambahan harga untuk suatu barang dagangan, selama bukan makanan, sehingga termasuk ihtikar (menimbun barang) yang hukumnya terlarang. Hanya saja, selayaknya tidak keluar dari harga normal, sehingga termasuk penipuan, yang menyebabkan pembeli memiliki hak pilih setelah jual beli. Sebagian ulama menetapkan batasannya adalah sepertiga. Berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim: “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.”

Diriwayatkan tentang Urwah RA yang menjual salah satu kambingnya dengan 1 dinar, padahal dia membeli dengan 1 dinar untuk 2 ekor kambing. Sehingga dia mendapat satu kambing. Dan Nabi merestui perbuatan Urwah, bahkan mendoakannya dengan kebaikan.

Namun, untuk barang kebutuhan pokok masyarakat, mengambil untung berlebihan termasuk penipuan. Konsumen yang membeli barang terlalu mahal punya hak ‘khiyar ghabn’ (khiyar karena harga yang sangat tidak layak). Kita catat pendapat Prof. Dr. Sulaiman Alu Isa di atas, bahwa tidak ada masalah dengan menentukan margin suatu barang dagangan, selama bukan makanan. Bro and Sis, sekali lagi lihat, makanan beda. Berdagang bahan makanan harus beda hukum dan perlakuannya.

Wallahu a’lam bish shawwab.

 

******


Tidak ada komentar:

Posting Komentar