Sabtu, 09 Mei 2020

Bab III. MENJALANKAN PERTANIAN: Bertani Yang Islami

(Draf Buku “BERTANI DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam.  Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)


Subbab .3.1. PADA AWALNYA: TANAH DAN AIR

Bagian berikut ini berawal dari urusan dengan sumber daya utama pertanian: tanah dan air. Tanah yang menjadi penentu seseorang disebut petani pemilik, petani penyakap, atau buruh tani.  Soal tanah dan kondisi air lah yang lalu berkembang menjadi urusan tentang sewa, bagi hasil, jual-beli, dan zakat; membentuk kultur agraria. Karena begitu pentingnya urusan ini, maka Islam pun mengaturnya sedemikian ketat. Jangan main-main dengan tanah. Maju mundur, kaya sengsara, aman atau kacaunya dunia ini sedikit banyak bersumber dari bagaimana politik pertanahan yang kita jalankan. Mari kita cermati, apakah praktek kita saat ini tentang tanah dan air sudah sejalan dengan Islam atau belum?

Hukum pertanahan dalam Islam berkaitan dengan hak kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi') tanah.  Dalam studi hukum Islam, hukum pertanahan dikenal dengan istilah Ahkam Al-Aradhi. Pada umumnya para fuqaha (ahli hukum Islam) membahas hukum pertanahan ini dalam studi mereka mengenai pengelolaan harta benda (al-amwal) oleh negara. Ada yang mengaitkan dengan hukum tata negara menurut Islam. Ya, untuk bisa memahami dinamika agraria pada level mikro perlu memahami politik makronya dulu.

Filosofi Kepemilikan Tanah dan Urgensi penataan Sumber-Sumber Agraria berbasiskan Hukum Allah SWT

Dalam pandangan Islam, segala apapun yang ada di langit dan bumi, termasuk tanah,  hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. "Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)" (An-Nuur : 42). "Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al-Hadid: 2).

Lalu apa posisi manusia? Allah SWT memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelolanya. Artinya manusia hanya “meminjam”. Maka, kelola lah barang-barang tersebut, termasuk tanah, menurut hukum-hukum pemiliknya yaitu Allah. Salah satu asmaul husna Allah adalah Al Baasith artinya yang maha melapangkan. Betul, hukum-hukum Allah tentang tanah sejatinya demi memberi kelapangan kepada manusia, tidak untuk merepotkan manusia.

Firman Allah SWT: "Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya" (Al-Hadid : 7). Menurut Imam Al-Qurthubi, ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.

Maka, mulai saat ini mari kita terapkan hukum Allah dalam menata tanah. Kita perlu formulasi ulang segala ide dan pemikiran tentang agraria. Soal hukum ini Allah telah gariskan dengan tegas: “Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum" (Al-Kahfi: 26).

 

Kepemilikan Tanah dan Implikasinya

Kepemilikan (milkiyah) dalam Syariah Islam didefinisikan sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda (idznu asy-Syari' bi al-intifa' bil-'ain). Hak kepemilikan pada seseorang ada karena ketentuan hukum Allah pada benda itu. Untuk tanah, ada dua aspek yang perlu dibedakan, yakni kepemilikan  zat tanahnya (raqabah al-ardh) dan kepemilikan manfaat tanahnya (manfaah al-ardh).

Lalu, dalam Syariah Islam ada dua macam tanah yaitu: (1) tanah usyriah (al-ardhu al-'usyriyah), dan (2) tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah). Dalam sejarahnya, kita mengenal Tanah Usyriah yakni tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, contohnya Madinah serta tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang. Maka, tanah usyriah ini milik individu, baik zatnya maupun pemanfaatannya. Si pemilik boleh memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya. Jika berbentuk tanah pertanian, maka atasnya dikenai kewajiban usyr (zakat pertanian) sebesar 10 persen jika berupa tadah hujan, dan 5 persen jika berupa irigasi. "Pada tanah yang diairi sungai dan hujan zakatnya sepersepuluh, pada tanah yang diairi dengan unta zakatnya setengah dari sepersepuluh." (hadits riwayat Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud). Jika tanah ini diperdagangkan, maka terkena zakat perdagangan.

Jenis kedua adalah Tanah Kharajiyah, yakni tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan, misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian(al-shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. Untuk tanah ini zatnya (raqabah) adalah milik seluruh kaum muslimin. Pengelolaannya negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum muslimin. Ya, tanah kharajiyah ini zatnya adalah milik negara, namun pemanfaatannya adalah individu. Tanah ini juga bisa diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan; namun tidak boleh diwakafkan sebab zatnya milik negara.

Untuk tanah kharajiyah, jika berbentuk tanah pertanian akan terkena kewajiban kharaj (pajak tanah), yang diambil negara setahun sekali sesuai kondisi tanahnya. Baik ditanami atau tidak, pajak tetap harus dibayar. Jika tanah kharajiyah bukan berbentuk tanah pertanian, tidak terkena kewajiban kharaj, juga tidak terkena kewajiban zakat; namun terkena kewajiban zakat perdagangan jika diperjualbelikan.

Cara-Cara Memperoleh Kepemilikan Tanah

Menurut Abdurrahman Al-Maliki dalam bukunya “As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla”, tanah dapat dimiliki dengan enam cara yaitu melalui  jual beli, waris, hibah, ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan iqtha` (pemberian negara kepada rakyat). 

Seseorang yang menghidupkan tanah terlantar, ihya`ul mawat, berhak menguasainya dengan dasar hadits: "Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Bukhari). Demikian pula dengan tahjir: "Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Ahmad). Nah, di masyarakat kita, entah bagaimana awalnya, setiap keluarga yang membuka tanah yang biasanya yang paling awal datang ke suatu wilayah, sangat-sangat ditinggikan kedudukannya dan  dihargai sebagai tetua kampung sampai ke keturunannya. Ada kesejajaran nilai disini, antara local wisdom dengan nilai-nilai Islam.

Hilangnya Hak Kepemilikan Tanah Pertanian

Syariat Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya. Umar bin Khathab berkata: "Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan." Umar melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat menyetujuinya sehingga menjadi Ijma' Sahabat.

Pencabutan hak milik ini tidak terbatas pada tanah mati (mawat) yang dimiliki dengan cara tahjir (pembuatan batas) saja, namun juga meliputi tanah pertanian yang dimiliki dengan cara jual beli, waris, hibah, dan lain-lain. Sebab yang menjadi alasan hukum (illat, ratio legis) dari pencabutan hak milik bukanlah cara-cara memilikinya, melainkan penelantaran selama tiga tahun (ta'thil al-ardh).

(Sedikit intermezo, di Indonesia pemerintah

keder ga bisa mengurusi tanah-tanah terlantar, meskipun sudah Peraturan Pemerintah

No 11 tahun 2010. Padahal tu tanah ga pernah digarap berpuluh tahun, hanya diambil kayunya oleh

pemilik HGU, lalu dikangkangin ga jelas.

Ga Islami banget ya).

Niat regulasi Islami ini adalah pemanfaatan tanah (at-tasharruf fi al-ardh) semaksimalnya, karena sumber daya tanah begitu beharga. Harus produktif. Untuk itu negara dapat membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti dilakukan di era Khalifah Umar bin Khathab kepada para petani. Namun, jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Selaras dengan ini, maka lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan [memberikan] maka tahanlah tanahnya itu." (HR Bukhari). Ini sejalan dengan rumusan kalangan akademis global, bahwa menjadikan tanah sebagai komoditas (komodifikasi) adalah sumber krisis berulang pada ekonomi dunia selama ini.

Namun, penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil (muzara'ah) dibolehkan. Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar. Muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara'ah).

Hima (tanah negara) sebagai common land

Islam juga mengenal kepemilikan tanah oleh negara (hima), demi kemaslahatan bersama. Hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk kepentingan tertentu, misalnya area tambang. Tanah yang di dalamnya mengandung bahan tambang (minyak, emas, perak, tembaga, dll), jika hasilnya sedikit tetap menjadi milik pribadi, namun menjadi milik negara (umum) jika hasil tambangnya banyak.

Selain itu, Rasulullah pernah menetapkan hima pada tempat-tempat tertentu misal untuk Naqi` (padang rumput di kota Madinah) khusus untuk menggembalakan kuda-kuda milik kaum muslimin, dan Rabdzah (padang rumput juga khusus untuk menggembalakan unta-unta zakat).

Selain pada daratan, juga ada yang disebut dengan “hariem”, yaitu tempat yang harus dijaga dan dilindungi dalam konteks yang berupa daerah air. Hariem-nya air bisa berupa daerah aliran sungai, danau, rawa-rawa, dan sumur yang digali (mata air). Hadits: “Hariem sebuah sumur adalah sejauh panjang tali timbanya.” Hadits itu mengajarkan kita supaya tidak mencemari air dan juga tidak mendekatkan sumber air dengan sumber-sumber limbah. Wallahu a'lam.

Zalim Merampas dan Menggeser Batas Tanah

Muslim dilarang merampas tanah dan mengubah tanda batas tanah. Merampas tanah jelas-jelaslah sebuah perbuatan zalim. Tidak beradab, melawan hukum, dan tergolong sebagai dosa besar.  Pelakunya diancam di akherat dengan azab yang keras dan pedih. Mengambil tanah orang, meskipun sejengkal adalah dosa. Diriwayatkan dari Aisyah RA dan juga dari Sa’id bin Zaid RA, bahwasanya telah bersabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang berbuat zhalim (dengan mengambil) sejengkal tanah maka dia akan dikalungi (dengan tanah) dari tujuh lapis bumi.”

Demikian pula hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, dimana sabda Rosululloh:“Barang siapa yang mengambil tanah (meskipun) sedikit tanpa haknya maka dia akan ditenggelamkan dengan tanahnya pada hari kiamat sampai ke dasar tujuh lapis bumi.”

Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Tsabit RA, ia berkata Aku mendengar Rosululloh bersabda: “Barangsiapa yang mengambil tanah tanpa ada haknya, maka dia akan dibebani dengan membawa tanahnya (yang dia rampas) sampai ke padang mahsyar”. Itulah beberapa hadits yang menerangkan tentang masalah merampas atau mengambil tanah orang lain. Mengerikan !

Rampas merampas ini rupanya terjadi sejak dulu sampai sekarang. Merampas zaman sekarang beda dengan dulu. Sekarang disebut dengan “land grabbing”. Ini menjadi masalah serius di dunia. Perampasan terjadai secara kasar dan halus, dengan menggunakan mekanisme ekonomi dan kekuatan politik, dari yang kuat kepada yang lemah.

Laporan internasional memaparkan perampasan lahan-lahan petani di dunia ketiga oleh pengusaha-pengusaha besar, melalui kerjasama dengan para politikus lokal. Baca misalnya laporan dari www.globalwitness.com berjudul “The Land Grabbing Crisis”. Juga tulisan berjudul “The global land-grab phenomenon” pada situs www.downtoearth-indonesia.org. Perampasan berlangsung melalui korupsi dan penyalahgunaan kekuasaaan, sehingga tanah-tanah masyarakat, yang umumnya belum bersertifikat, diambil alih para pengusaha-pengusaha pertanian internasional. Ini lah yang terjadi juga pada kita. Jutaan lahan hutan menjadi kebun-kebun sawit milik pengusaha asing dengan cara-cara maksa.

Maksud dari dikalungi dari tujuh lapis bumi adalah Allah membebaninya dengan apa yang dia ambil (secara zalim) dari tanah tersebut, pada hari kiamat sampai ke padang mahsyar dan menjadikannya sebagaimana membebani di lehernya atau dia disiksa dengan menenggelamkan ke tujuh lapis bumi, dan mengambil seluruh tanah tersebut dan dikalungkan di lehernya. Ada ulama yang mengatakan dimana lehernya menjadi keras dan panjang kemudian dikalungkan tanah yang dirampasnya sebagai balasan kezalimannya tersebut. Begitu hinanya mereka nanti di hari kiamat. Termasuk dosa besar, kezaliman besar.

Maka janganlah meremehkan kezaliman tentang tanah meski sekecil apapun, misalnya dengan menggeser batas tanah sejengkal demi sejengkal, menggeser pematang, mengikis tebing orang, merubah aliran air sehingga menggerus tanah orang lain. Dalil tentang larangan merubah tanda batas adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA: ”Rasululloh memberitahukan kepadaku empat kalimat, salah satunya adalah “Alloh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah.” (HR. Imam Muslim). Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (Manarul Ardhi) yaitu tanda atau simbol yang membedakan antara tanah yang menjadi hakmu dan menjadi hak tetanggamu, termasuk merubah dengan memajukan atau memundurkan tanda tersebut.

Untuk kezaliman ini, maka wajib mengembalikan tanah yang diambil itu kepada pemiliknya. Berkata Syaikh Abdul Azhim Al Badawi: “Barangsiapa yang merampas tanah kemudian menanaminya atau membangun di dalam tanah tersebut, maka diharuskan untuk mencabut tanamannya dan menghancurkan bangunannya. Karena sabda Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:“Barangsiapa menanam di tanah suatu kaum dengan tanpa izin mereka maka tidak ada baginya (hak) dari tanamanitu sedikitpun, dan baginya biaya penanamannya.”

Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: “Jika barang yang dirampas berupa tanah, kemudian perampas membangun rumah di atasnya ataupun menanam tanaman di atasnya maka rumah tersebut harus dirobohkan/dihancurkan dan tanaman itu harus dicabut, dan tanah tersebut harus diperbaiki kerena kerusakan yang disebabkan pembangunan rumah dan penanaman tanaman tersebut. Atau rumah itu tidak dirobohkan dan tanaman tersebut tidak dicabut, sebagai gantinya perampas meminta ganti atas biaya pembangunan rumah tersebut atau biaya penanaman tanaman tersebut namun itupun jika pemilik tanah menyetujuinya”.

Intinya, sesuai sabda Rosulullah SAW: “Tidak ada hak pada tanaman atau bangunan di tanah orang lain tanpa izinnya.” Ketika timbul pertengkaran, dimana salah seorang di antara mereka telah menanam pohon kurma di atas tanah milik yang lain. Maka Rasulullah memutuskan tanah tetap menjadi milik si empunya dan menyuruh pemilik pohon kurma untuk mencabut pohon kurmanya dan beliau bersabda:“Akar yang zhalim tidak mempunyai hak. Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian di antara kalian dengan jalan yang bathil.” (Al-Baqarah: 188).

Mengapa hukuman bagi orang yang mengambil tanah orang lain seberat tujuh lapis tanah. Tanah memang unik. Dengan memiliki sepetak lahan, seseorang menguasai ke bawah dan ke atas nya sekaligus. Ke bawah sampai tujuh lapis ke perut bumi, dan ke atas ada ruang udara tak terbatas pula. “Allah yang menciptakan tujuh lapis langit dan bumi seperti itu pula.” (Ath Thalaq: 12).

Begitu diakuinya sebidang tanah, maka seandainya tetanggamu memiliki pohon, kemudian dahannya memanjang ke tanahmu dan ranting-rantingnya menjadi menutupi tanahmu, maka sesungguhnya tetanggamu harus membengkokkan dahan tersebut dari tanahmu. Jika tidak bisa dibengkokkan, maka dahan tersebut harus dipotong. Kecuali kamu mengizinkannya. Berkata Imam Al-Qurthubi, maka …. merampas tanah termasuk dosa besar.”

Bagi para perampas tanah orang lain maka wajib bagi dia mengembalikan tanah yang dia ambil itu kepada pemiliknya. Syaikh Abdul Azhim Al Badawi menyampaikan bahwa barangsiapa yang merampas tanah kemudian menanaminya atau membangun di dalam tanah tersebut, maka diharuskan untuk mencabut tanamannya dan menghancurkan bangunannya. Dan apabila dia menanam tanamannya dengan biaya tertentu, maka dia mengambil biayanya dan tanaman bagi pemilik tanah. Al hadits:“Barangsiapa menanam di tanah suatu kaum dengan tanpa izin mereka maka tidak ada baginya (hak) dari tanamanitu sedikitpun, dan baginya biaya penanamannya.”

Jika terlanjur menanam, maka harus dicabut. Bahkan jika perampas membangun rumah di atasnya, maka rumah tersebut harus dirobohkan/dihancurkan, dan tanah tersebut harus diperbaiki kerena kerusakan yang disebabkan pembangunan rumah tadi. Atau, jika  tidak dirobohkan dan dicabut, sebagai gantinya perampas meminta ganti atas biaya pembangunan rumah tersebut atau biaya penanaman tanaman tersebut namun itupun jika pemilik tanah menyetujuinya. Karena Rosulullah bersabda:“Tidak ada hak pada tanaman atau bangunan di tanah orang lain tanpa izinnya.” Intinya adalah “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian di antara kalian dengan jalan yang bathil” (Al-Baqarah: 188).

“Penghormatan” pada Air

Cukup banyak hadits-hadits tentang air. Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah S.A.W pernah bersabda: ”Kelebihan air tidak boleh dihalang (ditahan-genangkan) karena ia akan mencegah tumbuhnya rumput ternakan (gulma)”. Lalu hadits yang diriwayatkan Abu Musa RA yang menyampaikan betapa menyampaikan petunjuk dan ilmu adalah seperti titisan hujan yang telah membasahi bumi. Adakalanya tetesan tadi jatuh di tempat gersang, adakalanya di tempat subur. Tempat yang subur perumpamaan orang yang bijak pandai tentang agama Allah dan memanfaatkan seluas-luasnya. Kedudukan dan Pentingnya Air Dalam Kehidupan disampaikan pada banyak ayat dan hadits.“…Dan Kami jadikan dari air itu segala sesuatu yang hidup….” (Al -Anbiya: 30).

Sebagai mana tanah, jumlah air di dunia ini tetap, Cuma wujudnya saja yang berbeda.  Karena itu, air harus dikelola dengan bijak dan adil. ”Dan kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran dan kami jadikan air itu menetap di bumi” (Al Mu’minuun:18).

Penggunaan air yang paling boros dibanding komoditas lain adalah padi di sawah. Maka, untuk menghindari pemborosan, karena boros adalah rekannya setan; para ahli menemukan teknologi pengairan berselang (intermitten irigation), dengan prinsip gunakan air secukupnya.  Teknologi ini banyak manfaatnya. Selain menghemat air sehingga area sawah terariri menjadi lebih luas, manfaat lain adalah memberi kesempatan kepada akar untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam, mencegah keracunan besi, mencegah penimbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat perkembangan akar, mengurangi kerebahan tanaman, mengaktifkan jasad renik mikroba yang bermanfaat, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif, menyeragamkan pemasakan gabah, mempercepat waktu panen, memudahkan aplikasi pupuk, dan juga memudahkan pengendalian hama keong mas serta menekan penyebaran wereng coklat, penggerek batang, dan tikus.

Karena air, maka tumbuh collective action, kebersamaan. Hadits Ahmad dan Abu Dawud: “Manusia berserikat dalam tiga hal: dalam padang rumput, air, dan api”. Sebagaimana tanah, pada air ada kepemilikan sosial juga. Maka, mata air dan sumur wajib dimanfaatkan bagi orang umum. Seseorang yang mempunyai sumber air wajib mengizinkan orang lain mengambil airnya, tidak dibenarkan memonopoli untuk diri dan keluarganya saja.

Karena air begitu berharga, air harus sangat dijaga. Islam melarang membuang kotoran di tempat-tempat yang mengakibatkan tercemarnya air sehingga tidak dapat dimanfaatkan kembali. “Sesungguhnya Nabi melarang kencing di air yang tidak mengalir” (HR. Muslim). Air tidak boleh disia-siakan bahkan ketika air melimpah sekalipun.

Air merupakan nikmat utama yang diberikan Allah kepada makhluk Nya. Melalui air lah Allah menciptakan, memelihara, menumbuhkan dan mengembangkan seluruh makhluq yang ada di muka bumi ini. “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nur: 45).

Penghormatan terhadap air merupakan kultur yang mengakar pula pada berbagai masyarakat kita. Mereka melakukan ritual sebagai simbolnya, misalnya upacara irung-irung, ritual grebeg tirto aji, mapag toya,  dan mapag cai. Lalu ada upacara nglampet di mata air Sumber Pakel di Lumajang, dawuhan menjaga air di Karang anyar, dan Hajat Huluwotan memelihara bagian hulu sumber air.

Sedekah air

Islam mengajarkan kita untuk mensedekahkan air. Yang paling terkenal adalah kisah “Sumur Raumah”, yakni sumur yang dibeli Usman bin Affan RA milik orang Yahudi di Madinah untuk umat Islam. Pada saat itu di Madinah ada sumur milik seorang Yahudi, namun  Yahudi kikir ini menjual airnya kepada umat Islam dengan harga tinggi. Tentu saja umat menjadi resah. Kabar ini akhirnya sampai kepada Rasulullah. Rasulullah lantas menyeru kepada para sahabatnya untuk menyelesaikan persoalan air dan sumur tersebut. Beliau menjanjikan siapapun yang  membeli sumur milik Yahudi itu dan mewakafkannya untuk umat Islam, maka kelak ia akan mendapatkan minuman di surga, sebanyak air dalam sumur tersebut.

Utsman bin Affan RA langsung mendatangi si Yahudi. Setelah tawar menawar, si pemilik bersedia menjual sumurnya dengan harga 12.000 dirham, namun hanya untuk separuh saja, yakni sehari milik Usman sehingga umat Islam bebas mengambil air pada hari itu, sementara hari berikutnya untuk Yahudi. Pada hari sumur milik Usman, Muslim memanfaatkan semaksimalnya, sehingga besoknya tidak perlu membeli dari Yahudi. Merasa kalah strategi, akhirnya sumur dijual seluruhnya, dan langsung diwakafkan Usman bi Affan RA sehingga umat Islam bebas mengambil air kapan pun mereka butuh.  Ini menjadi satu-satunya sumur pada zaman Rasulullah yang masih mengeluarkan air hingga hari ini, selain sumur zamzam tentunya.

Berikut kisah sedekah air pada hewan. Suatu ketika seorang laki-laki sedang berjalan dan dia merasa sangat kehausan, lalu ia turun di satu sumur dan minum darinya. Kemudian dia keluar dan ternyata dia mendapati seekor anjing menjulurkan lidahnya (sambil) menjilat pasir karena kehausan. Laki-laki tersebut berkata, “Sungguh anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.” Kemudian dia turun dan memenuhi kedua sepatunya (dengan air) dan membawa dengan mulutnya seraya naik keatas dan memberi minum anjing itu. Allah bersyukur kepadanya dan memberi ampunan baginya.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar