(Draf Buku “BERTANI
DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri
Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam. Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)
Bagian berikut ini berawal dari
urusan dengan sumber daya utama pertanian: tanah dan air. Tanah yang menjadi
penentu seseorang disebut petani pemilik, petani penyakap, atau buruh
tani. Soal tanah dan kondisi air lah
yang lalu berkembang menjadi urusan tentang sewa, bagi hasil, jual-beli, dan
zakat; membentuk kultur agraria. Karena begitu pentingnya urusan ini, maka
Islam pun mengaturnya sedemikian ketat. Jangan main-main dengan tanah. Maju
mundur, kaya sengsara, aman atau kacaunya dunia ini sedikit banyak bersumber
dari bagaimana politik pertanahan yang kita jalankan. Mari kita cermati, apakah
praktek kita saat ini tentang tanah dan air sudah sejalan dengan Islam atau
belum?
Hukum
pertanahan dalam Islam berkaitan dengan hak kepemilikan (milkiyah),
pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi') tanah. Dalam studi hukum Islam, hukum pertanahan
dikenal dengan istilah Ahkam Al-Aradhi. Pada umumnya para fuqaha
(ahli hukum Islam) membahas hukum pertanahan ini dalam studi mereka mengenai
pengelolaan harta benda (al-amwal) oleh negara. Ada yang mengaitkan
dengan hukum tata negara menurut Islam. Ya, untuk bisa memahami dinamika
agraria pada level mikro perlu memahami politik makronya dulu.
Filosofi
Kepemilikan Tanah dan Urgensi penataan Sumber-Sumber Agraria berbasiskan Hukum
Allah SWT
Dalam pandangan Islam, segala
apapun yang ada di langit dan bumi, termasuk tanah, hakikatnya adalah milik Allah SWT semata.
"Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah
kembali (semua makhluk)" (An-Nuur : 42). "Kepunyaan-Nyalah
kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu." (Al-Hadid: 2).
Lalu
apa posisi manusia? Allah SWT memberikan kuasa kepada manusia untuk
mengelolanya. Artinya manusia hanya “meminjam”. Maka, kelola lah barang-barang
tersebut, termasuk tanah, menurut hukum-hukum pemiliknya yaitu Allah. Salah
satu asmaul husna Allah adalah Al
Baasith artinya yang maha melapangkan. Betul, hukum-hukum Allah tentang tanah
sejatinya demi memberi kelapangan kepada manusia, tidak untuk merepotkan manusia.
Firman
Allah SWT: "Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya" (Al-Hadid : 7). Menurut Imam Al-Qurthubi, ayat
ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik
Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf)
dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.
Maka,
mulai saat ini mari kita terapkan hukum Allah dalam menata tanah. Kita perlu
formulasi ulang segala ide dan pemikiran tentang agraria. Soal hukum ini Allah
telah gariskan dengan tegas: “Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi
sekutu-Nya dalam menetapkan hukum" (Al-Kahfi: 26).
Kepemilikan
Tanah dan Implikasinya
Kepemilikan
(milkiyah) dalam Syariah Islam didefinisikan sebagai hak yang ditetapkan
oleh Allah SWT bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda (idznu asy-Syari'
bi al-intifa' bil-'ain). Hak kepemilikan pada seseorang ada karena
ketentuan hukum Allah pada benda itu. Untuk tanah, ada dua aspek yang perlu
dibedakan, yakni kepemilikan zat
tanahnya (raqabah al-ardh) dan kepemilikan manfaat tanahnya (manfaah
al-ardh).
Lalu, dalam Syariah Islam ada dua macam tanah yaitu: (1)
tanah usyriah (al-ardhu al-'usyriyah), dan (2) tanah kharajiyah (al-ardhu
al-kharajiyah). Dalam sejarahnya,
kita mengenal Tanah Usyriah yakni tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai
tanpa peperangan, contohnya Madinah serta tanah mati yang telah dihidupkan oleh
seseorang. Maka, tanah usyriah ini
milik individu, baik zatnya maupun pemanfaatannya. Si pemilik boleh
memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya. Jika
berbentuk tanah pertanian, maka atasnya dikenai kewajiban usyr (zakat pertanian) sebesar 10 persen
jika berupa tadah hujan, dan 5 persen jika berupa irigasi. "Pada tanah
yang diairi sungai dan hujan zakatnya sepersepuluh, pada tanah yang diairi
dengan unta zakatnya setengah dari sepersepuluh." (hadits riwayat
Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud). Jika tanah ini diperdagangkan, maka terkena
zakat perdagangan.
Jenis kedua adalah Tanah Kharajiyah, yakni tanah yang
dikuasai kaum muslimin melalui peperangan, misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir
kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian(al-shulhu),
misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. Untuk tanah ini zatnya (raqabah)
adalah milik seluruh kaum muslimin. Pengelolaannya negara melalui Baitul Mal
bertindak mewakili kaum muslimin. Ya, tanah kharajiyah
ini zatnya adalah milik negara, namun pemanfaatannya adalah individu. Tanah ini
juga bisa diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan; namun tidak boleh
diwakafkan sebab zatnya milik negara.
Untuk
tanah kharajiyah, jika berbentuk
tanah pertanian akan terkena kewajiban kharaj (pajak tanah),
yang diambil negara setahun sekali sesuai kondisi tanahnya. Baik ditanami
atau tidak, pajak tetap harus dibayar. Jika tanah kharajiyah bukan berbentuk tanah pertanian, tidak terkena kewajiban
kharaj, juga tidak terkena kewajiban
zakat; namun terkena kewajiban zakat perdagangan jika diperjualbelikan.
Cara-Cara
Memperoleh Kepemilikan Tanah
Menurut
Abdurrahman Al-Maliki dalam bukunya
“As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla”, tanah dapat dimiliki dengan
enam cara yaitu melalui jual beli,
waris, hibah, ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir
(membuat batas pada tanah mati), dan iqtha` (pemberian negara kepada
rakyat).
Seseorang
yang menghidupkan tanah terlantar, ihya`ul mawat, berhak menguasainya
dengan dasar hadits: "Barangsiapa
yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR
Bukhari). Demikian pula dengan tahjir: "Barangsiapa
membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya."
(HR Ahmad). Nah, di masyarakat kita, entah bagaimana awalnya, setiap
keluarga yang membuka tanah yang biasanya yang paling awal datang ke suatu
wilayah, sangat-sangat ditinggikan kedudukannya dan dihargai sebagai tetua kampung sampai ke
keturunannya. Ada kesejajaran nilai disini, antara local wisdom dengan nilai-nilai Islam.
Hilangnya
Hak Kepemilikan Tanah Pertanian
Syariat
Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah
itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan
memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya. Umar bin Khathab berkata: "Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah
itu setelah tiga tahun ditelantarkan." Umar melaksanakan ketentuan ini
dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang
ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat menyetujuinya sehingga menjadi Ijma'
Sahabat.
Pencabutan
hak milik ini tidak terbatas pada tanah mati (mawat) yang dimiliki
dengan cara tahjir (pembuatan batas) saja, namun juga meliputi tanah
pertanian yang dimiliki dengan cara jual beli, waris, hibah, dan lain-lain.
Sebab yang menjadi alasan hukum (illat, ratio legis) dari pencabutan hak
milik bukanlah cara-cara memilikinya, melainkan penelantaran selama tiga tahun
(ta'thil al-ardh).
(Sedikit
intermezo, di Indonesia pemerintah
keder ga bisa
mengurusi tanah-tanah terlantar, meskipun sudah Peraturan Pemerintah
No 11 tahun 2010.
Padahal tu tanah ga pernah digarap berpuluh tahun, hanya diambil kayunya oleh
pemilik HGU, lalu
dikangkangin ga jelas.
Ga Islami banget
ya).
Niat regulasi Islami ini adalah pemanfaatan tanah (at-tasharruf fi
al-ardh) semaksimalnya, karena sumber daya tanah begitu beharga. Harus
produktif. Untuk itu negara
dapat membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti dilakukan
di era Khalifah Umar bin Khathab kepada para petani. Namun, jika pemilik
tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain
tanpa kompensasi.
Selaras dengan ini, maka lahan
pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah kharajiyah
maupun tanah usyriyah. Rasulullah SAW
bersabda: "Barangsiapa
mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada
saudaranya, jika ia enggan [memberikan] maka tahanlah tanahnya itu."
(HR Bukhari). Ini sejalan dengan rumusan kalangan akademis global, bahwa
menjadikan tanah sebagai komoditas (komodifikasi) adalah sumber
krisis berulang pada ekonomi dunia selama ini.
Namun,
penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil (muzara'ah) dibolehkan. Rasulullah SAW telah bermuamalah
dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk
Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar. Muamalah
yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang
disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru
ditanami (muzara'ah).
Hima
(tanah negara) sebagai common land
Islam
juga mengenal kepemilikan tanah oleh negara (hima), demi kemaslahatan bersama. Hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh
negara untuk kepentingan tertentu, misalnya area tambang. Tanah yang di
dalamnya mengandung bahan tambang (minyak, emas, perak, tembaga, dll), jika
hasilnya sedikit tetap menjadi milik pribadi, namun menjadi milik negara (umum)
jika hasil tambangnya banyak.
Selain
itu, Rasulullah pernah menetapkan hima
pada tempat-tempat tertentu misal untuk Naqi`
(padang rumput di kota Madinah) khusus untuk menggembalakan kuda-kuda milik
kaum muslimin, dan Rabdzah (padang
rumput juga khusus untuk menggembalakan unta-unta zakat).
Selain pada daratan, juga ada yang disebut dengan “hariem”, yaitu tempat yang harus dijaga dan dilindungi dalam
konteks yang berupa daerah air. Hariem-nya air bisa berupa daerah aliran sungai, danau, rawa-rawa, dan sumur
yang digali (mata air). Hadits: “Hariem
sebuah sumur adalah sejauh panjang tali timbanya.” Hadits itu mengajarkan
kita supaya tidak mencemari air dan juga tidak mendekatkan sumber air dengan
sumber-sumber limbah. Wallahu
a'lam.
Zalim Merampas dan
Menggeser Batas Tanah
Muslim
dilarang merampas tanah dan
mengubah tanda batas tanah.
Merampas tanah jelas-jelaslah sebuah perbuatan zalim. Tidak beradab, melawan
hukum, dan tergolong sebagai dosa besar.
Pelakunya diancam di akherat dengan azab yang keras dan pedih. Mengambil
tanah orang, meskipun sejengkal adalah dosa. Diriwayatkan dari Aisyah RA dan
juga dari Sa’id bin Zaid RA, bahwasanya telah bersabda Rasulullah
SAW: “Barang siapa yang berbuat zhalim
(dengan mengambil) sejengkal tanah maka dia akan dikalungi (dengan tanah) dari
tujuh lapis bumi.”
Demikian pula hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, dimana
sabda Rosululloh:“Barang
siapa yang mengambil tanah (meskipun) sedikit tanpa haknya maka dia akan
ditenggelamkan dengan tanahnya pada hari kiamat sampai ke dasar tujuh lapis
bumi.”
Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Tsabit RA, ia berkata Aku mendengar
Rosululloh bersabda:
“Barangsiapa yang mengambil tanah tanpa ada haknya, maka dia akan dibebani
dengan membawa tanahnya (yang dia rampas) sampai ke padang mahsyar”. Itulah beberapa hadits yang menerangkan tentang masalah merampas atau
mengambil tanah orang
lain. Mengerikan !
Rampas
merampas ini rupanya terjadi sejak dulu sampai sekarang. Merampas zaman
sekarang beda dengan dulu. Sekarang disebut dengan “land grabbing”. Ini menjadi masalah serius di dunia. Perampasan
terjadai secara kasar dan halus, dengan menggunakan mekanisme ekonomi dan
kekuatan politik, dari
yang kuat kepada yang lemah.
Laporan internasional
memaparkan perampasan lahan-lahan petani di dunia
ketiga oleh pengusaha-pengusaha besar, melalui kerjasama dengan para politikus
lokal. Baca misalnya laporan dari www.globalwitness.com berjudul “The Land Grabbing Crisis”. Juga tulisan berjudul “The global land-grab phenomenon” pada situs
www.downtoearth-indonesia.org. Perampasan berlangsung melalui korupsi
dan penyalahgunaan kekuasaaan, sehingga tanah-tanah masyarakat, yang umumnya
belum bersertifikat,
diambil alih para pengusaha-pengusaha pertanian internasional. Ini lah yang
terjadi juga pada kita. Jutaan lahan hutan menjadi kebun-kebun sawit milik
pengusaha asing dengan cara-cara maksa.
Maksud dari dikalungi dari tujuh lapis bumi adalah Allah membebaninya
dengan apa yang dia ambil (secara zalim) dari tanah tersebut, pada hari kiamat
sampai ke padang mahsyar dan menjadikannya sebagaimana membebani di lehernya
atau dia disiksa dengan menenggelamkan ke tujuh lapis bumi, dan mengambil
seluruh tanah tersebut dan dikalungkan di lehernya. Ada ulama
yang mengatakan dimana lehernya menjadi keras dan panjang kemudian
dikalungkan tanah yang dirampasnya sebagai balasan kezalimannya
tersebut. Begitu hinanya mereka nanti di hari
kiamat. Termasuk
dosa besar, kezaliman besar.
Maka janganlah meremehkan kezaliman tentang tanah meski
sekecil apapun, misalnya
dengan menggeser batas tanah sejengkal demi sejengkal,
menggeser
pematang, mengikis tebing orang, merubah aliran air sehingga menggerus tanah
orang lain. Dalil tentang larangan merubah tanda batas adalah
hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA: ”Rasululloh memberitahukan
kepadaku empat kalimat, salah satunya adalah “Alloh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah.” (HR. Imam Muslim). Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (Manarul Ardhi) yaitu tanda atau simbol yang membedakan
antara tanah yang menjadi hakmu dan menjadi hak tetanggamu, termasuk merubah dengan memajukan atau memundurkan tanda
tersebut.
Untuk
kezaliman ini, maka wajib mengembalikan tanah yang diambil itu kepada pemiliknya. Berkata Syaikh Abdul Azhim
Al Badawi: “Barangsiapa yang merampas
tanah kemudian menanaminya atau membangun di dalam tanah tersebut, maka
diharuskan untuk mencabut tanamannya dan menghancurkan bangunannya”. Karena sabda Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:“Barangsiapa menanam di tanah suatu kaum dengan
tanpa izin mereka maka tidak ada baginya (hak) dari tanamanitu sedikitpun, dan
baginya biaya penanamannya.”
Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: “Jika barang yang dirampas berupa tanah, kemudian perampas membangun rumah
di atasnya ataupun menanam tanaman di atasnya maka rumah tersebut harus
dirobohkan/dihancurkan dan tanaman itu harus dicabut, dan tanah tersebut harus
diperbaiki kerena kerusakan yang disebabkan pembangunan rumah dan penanaman
tanaman tersebut. Atau rumah itu tidak dirobohkan dan tanaman tersebut tidak
dicabut, sebagai gantinya perampas meminta ganti atas biaya pembangunan rumah
tersebut atau biaya penanaman tanaman tersebut namun itupun jika pemilik tanah
menyetujuinya”.
Intinya,
sesuai sabda Rosulullah SAW: “Tidak ada hak pada tanaman atau bangunan di tanah orang
lain tanpa izinnya.” Ketika timbul pertengkaran, dimana salah seorang di antara mereka telah menanam pohon kurma di atas tanah milik
yang lain. Maka Rasulullah memutuskan
tanah tetap menjadi milik si empunya dan menyuruh pemilik pohon kurma untuk
mencabut pohon kurmanya dan beliau bersabda:“Akar yang
zhalim tidak mempunyai hak. Dan janganlah sebagian kalian memakan harta
sebagian di antara kalian dengan jalan yang bathil.” (Al-Baqarah:
188).
Mengapa hukuman
bagi orang yang mengambil tanah orang lain seberat tujuh lapis tanah. Tanah
memang unik. Dengan memiliki sepetak lahan, seseorang menguasai ke bawah dan ke
atas nya sekaligus. Ke bawah sampai tujuh lapis ke perut bumi, dan ke atas ada
ruang udara tak terbatas pula. “Allah yang menciptakan tujuh lapis langit dan bumi seperti
itu pula.” (Ath Thalaq: 12).
Begitu diakuinya sebidang
tanah, maka seandainya tetanggamu memiliki pohon, kemudian dahannya
memanjang ke tanahmu dan ranting-rantingnya menjadi menutupi tanahmu, maka
sesungguhnya tetanggamu harus membengkokkan dahan tersebut dari tanahmu. Jika tidak bisa dibengkokkan, maka dahan tersebut harus dipotong. Kecuali kamu mengizinkannya. Berkata Imam
Al-Qurthubi, maka “…. merampas tanah
termasuk dosa besar.”
Bagi para perampas tanah orang lain maka wajib bagi dia mengembalikan tanah
yang dia ambil itu kepada pemiliknya. Syaikh Abdul Azhim Al Badawi menyampaikan
bahwa barangsiapa yang merampas tanah kemudian menanaminya atau
membangun di dalam tanah tersebut, maka diharuskan untuk mencabut tanamannya
dan menghancurkan bangunannya. Dan apabila dia menanam tanamannya dengan biaya tertentu, maka dia mengambil biayanya dan tanaman bagi pemilik
tanah. Al
hadits:“Barangsiapa
menanam di tanah suatu kaum dengan tanpa izin mereka maka tidak ada baginya
(hak) dari tanamanitu sedikitpun, dan baginya biaya penanamannya.”
Jika terlanjur
menanam, maka harus dicabut. Bahkan jika
perampas membangun rumah di atasnya, maka rumah tersebut harus dirobohkan/dihancurkan, dan tanah tersebut harus
diperbaiki kerena kerusakan yang disebabkan pembangunan rumah tadi. Atau, jika tidak dirobohkan dan dicabut, sebagai gantinya
perampas meminta ganti atas biaya pembangunan rumah tersebut atau biaya
penanaman tanaman tersebut namun itupun jika pemilik tanah menyetujuinya.
Karena Rosulullah bersabda:“Tidak
ada hak pada tanaman atau bangunan di tanah orang lain tanpa izinnya.” Intinya adalah “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian di
antara kalian dengan jalan yang bathil” (Al-Baqarah: 188).
“Penghormatan”
pada Air
Cukup banyak hadits-hadits tentang air. Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah S.A.W pernah bersabda: ”Kelebihan air tidak boleh dihalang (ditahan-genangkan) karena ia akan
mencegah tumbuhnya rumput ternakan (gulma)”. Lalu hadits yang diriwayatkan Abu Musa RA yang menyampaikan betapa menyampaikan petunjuk dan ilmu adalah seperti titisan hujan yang telah
membasahi bumi. Adakalanya tetesan tadi jatuh di tempat gersang, adakalanya di tempat subur.
Tempat yang subur perumpamaan orang yang bijak pandai tentang agama Allah dan
memanfaatkan seluas-luasnya. Kedudukan dan Pentingnya Air Dalam Kehidupan disampaikan pada banyak
ayat dan hadits.“…Dan Kami jadikan dari air itu segala sesuatu yang
hidup….” (Al -Anbiya: 30).
Sebagai
mana tanah, jumlah air di dunia ini tetap, Cuma wujudnya saja yang
berbeda. Karena itu, air harus dikelola
dengan bijak dan adil. ”Dan kami turunkan air dari langit menurut suatu
ukuran dan kami jadikan air itu menetap di bumi” (Al Mu’minuun:18).
Penggunaan
air yang paling boros dibanding komoditas lain adalah padi di sawah. Maka,
untuk menghindari pemborosan, karena boros adalah rekannya setan; para ahli
menemukan teknologi pengairan berselang (intermitten
irigation), dengan prinsip gunakan air secukupnya. Teknologi ini banyak manfaatnya. Selain
menghemat air sehingga area sawah terariri menjadi lebih luas, manfaat lain
adalah memberi kesempatan kepada akar untuk mendapatkan udara sehingga dapat
berkembang lebih dalam, mencegah keracunan besi, mencegah penimbunan asam
organik dan gas H2S yang menghambat perkembangan akar, mengurangi kerebahan
tanaman, mengaktifkan jasad renik mikroba yang bermanfaat, mengurangi jumlah
anakan yang tidak produktif, menyeragamkan pemasakan gabah, mempercepat waktu
panen, memudahkan aplikasi pupuk, dan juga memudahkan pengendalian hama keong
mas serta menekan penyebaran wereng coklat, penggerek batang, dan tikus.
Karena air,
maka tumbuh collective action, kebersamaan.
Hadits Ahmad dan Abu Dawud: “Manusia berserikat
dalam tiga hal: dalam padang rumput, air, dan api”. Sebagaimana
tanah, pada air ada kepemilikan sosial juga. Maka, mata air dan sumur wajib
dimanfaatkan bagi orang umum. Seseorang yang mempunyai sumber air wajib
mengizinkan orang lain mengambil airnya, tidak dibenarkan memonopoli untuk diri
dan keluarganya saja.
Karena air
begitu berharga, air harus sangat dijaga. Islam melarang membuang kotoran di
tempat-tempat yang mengakibatkan tercemarnya air sehingga tidak dapat
dimanfaatkan kembali. “Sesungguhnya Nabi melarang kencing di air yang tidak
mengalir” (HR. Muslim). Air tidak boleh disia-siakan bahkan ketika
air melimpah sekalipun.
Air merupakan nikmat utama yang diberikan Allah kepada
makhluk Nya. Melalui air lah Allah menciptakan, memelihara, menumbuhkan dan
mengembangkan seluruh makhluq yang ada di muka bumi ini. “Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian
dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan
dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (An-Nur: 45).
Penghormatan terhadap air
merupakan kultur yang mengakar pula pada berbagai
masyarakat kita. Mereka melakukan ritual sebagai simbolnya, misalnya upacara irung-irung, ritual grebeg tirto aji, mapag
toya, dan mapag
cai. Lalu ada upacara nglampet di mata air Sumber Pakel di Lumajang, dawuhan menjaga air di Karang anyar, dan Hajat
Huluwotan memelihara bagian hulu sumber
air.
Sedekah air
Islam mengajarkan kita untuk mensedekahkan air. Yang paling terkenal adalah kisah “Sumur
Raumah”, yakni sumur yang dibeli Usman
bin Affan RA milik orang Yahudi di Madinah untuk umat Islam. Pada saat itu
di Madinah ada sumur milik seorang Yahudi, namun Yahudi kikir ini menjual airnya kepada umat Islam dengan harga tinggi. Tentu
saja umat menjadi resah. Kabar ini akhirnya sampai kepada Rasulullah.
Rasulullah lantas menyeru kepada para sahabatnya untuk menyelesaikan persoalan
air dan sumur tersebut. Beliau menjanjikan siapapun yang membeli sumur
milik Yahudi itu dan mewakafkannya untuk umat Islam, maka kelak ia akan
mendapatkan minuman di surga, sebanyak air dalam sumur tersebut.
Utsman bin Affan RA langsung mendatangi si Yahudi. Setelah tawar menawar, si pemilik bersedia
menjual sumurnya dengan harga 12.000 dirham, namun hanya untuk separuh saja, yakni sehari milik Usman sehingga umat Islam bebas
mengambil air pada hari itu, sementara hari berikutnya untuk Yahudi. Pada hari
sumur milik Usman, Muslim memanfaatkan semaksimalnya, sehingga besoknya tidak
perlu membeli dari Yahudi. Merasa
kalah strategi, akhirnya sumur dijual seluruhnya, dan langsung diwakafkan Usman
bi Affan RA sehingga umat Islam bebas mengambil air kapan pun mereka
butuh. Ini menjadi satu-satunya sumur pada zaman Rasulullah yang masih
mengeluarkan air hingga hari ini, selain sumur zamzam tentunya.
Berikut kisah sedekah air pada hewan. Suatu ketika seorang laki-laki
sedang berjalan dan dia merasa sangat kehausan, lalu ia turun di satu sumur dan
minum darinya. Kemudian dia keluar dan ternyata dia mendapati seekor anjing
menjulurkan lidahnya (sambil) menjilat pasir karena kehausan. Laki-laki
tersebut berkata, “Sungguh anjing ini
sangat kehausan seperti yang aku rasakan.” Kemudian dia turun dan memenuhi
kedua sepatunya (dengan air) dan membawa dengan mulutnya seraya naik keatas dan
memberi minum anjing itu. Allah bersyukur kepadanya dan memberi ampunan
baginya.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar