(Draf Buku “BERTANI
DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri
Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam. Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)
Sepanjang yang
bisa Saya baca, ada perbedaan pendapat tentang sewa menyewa ini. Ada yang
menyatakan boleh ada yang mengatakan tidak, entah mana yang lebih
benar. Namun menurut analisis mendalam Jamaksari (2016), kelompok
yang menolak sebenarnya minoritas. Saya tidak
berani ambil kesimpulan, karena dibandingkan
dengan bagi hasil misalnya, referensi
tentang sewa menyewa dalam sejarah masyarakat Islam sepanjang yang bisa Saya temukan masih terbatas. Wallahu a’lam.
Tanah merupakan salah satu
faktor produksi yang sangat penting dalam ekonomi. Atas dasar alasan ini, Islam
menolak kepemilikan
absolut atas tanah serupa eigendom (hak milik tetap atas
tanah). Karena terbatasnya keberadaan lahan ini, maka seseorang yang
“menguasai” tanah tidak boleh menelantarkannya tanpa digarap.
Jika si pemilik tanah tidak
sanggup mengolahnya sendiri karena alasan keahlian atau alasan lainnya, ia
harus menyerahkan tanahnya pada orang lain untuk diolah. Bentuk kerjasamanya
bisa berupa sewa (ijarah) atau bagi
hasil (muzaarah).
Untuk sewa
menyewa dalam Islam, terdapat dua pendapat berbeda. Menurut Jamaksari (2016),
kelompok yang membolehkan penyewaan tanah adalah Imam Asy-Asyafi’I dan jumhur
ulama, sedangkan yang melarang sewa adalah Thawus, Abu bakar bin Abdurrahman
ibnu Hazm. Kesimpulannya, ulama yang membolehkan adalah asalkan
dilakukan dengan prinsip kemaslahatan dengan menggunakan uang, dinar, dirham
atau apapun juga. Sementara yang menolak, Ibnu Hazm, karena kuatir ada satu
pihak akan mengalami kerugian. Maka disarankan memilih bentuk bagi hasil,
karena akan lebih adil bagi kedua pihak.
Disebutkan
oleh penulisnya, perbedaan ini karena yang pro menggunakan metode qiyas (analogi), sedangkan yang menolak
menggunakan nasikh massukh. Metode qiyas kira-kira maksudnya adalah menyamakan ketentuan hukum antara sesuatu yang sudah
ada aturan hukumnya dengan sesuatu yang lain yang belum diatur hukumnya.
Sedangkan nasikh massukh secara bahasa bermakna menghilangkan,
menghapuskan, memindahkan, dan menulis. Kira-kira maksudnya adalah dengan
menghilangkan hukum yang ada dengan dalil yang lebih dahulu dengan dalil yang
datang setelahnya. Wallahu a’lam.
Pendapat yang Melarang Sewa Menyewa Lahan
Rasul
pernah melarang lahan pertanian disewakan, baik tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah,
baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk
tunai. Namun, ini harus difahami secara kritis, dalam kondisi bagaimana dan
kapan pelarangan itu disampaikan.
Rasulullah
SAW bersabda: "Barangsiapa
mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada
saudaranya, jika ia enggan (memberikan) maka tahanlah tanahnya itu."
(HR Bukhari). Dalam hadits sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW telah melarang
mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah.
Hadits-hadits ini dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul
ardh).
Sebagian
ulama membolehkan penyakapan lahan
pertanian dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara'ah. Dengan dalil
bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem
bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya
untuk penduduk Khaibar.
Dalil
ini kurang kuat untuk mendukung sistem sewa, karena tanah Khaibar bukanlah
tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang
dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut
musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami
(muzara'ah). Tanah Khaibar sebagian besar adalah tanah berpohon (kurma),
hanya sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami.
Larangan
penyewaan disini khusus untuk menyewakan lahan pertanian untuk ditanami. Adapun
menyewakan tanah bukan untuk ditanami, misal untuk dibuat kandang peternakan,
kolam ikan, tempat penyimpanan (gudang), untuk menjemur padi, dan sebagainya,
hukumnya boleh-boleh saja sebab tidak ada larangan syariah dalam masalah ini.
Ada yang berpandangan bahwa sewa lahan pertanian dilarang karena menyerupai riba. Mengapa demikian? Karena, penyewa memberikan biaya sewa di depan, sedangkan ia belum tentu mendapatkan hasil. Bagaimana jika panennya gagal,
padahal sejak awal sudah bayar sewa?
Para alim ulama yang melarang sewa menyewa berpedoman kepada hadits-hadits berikut. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’aim, bahwa Rafi’ bin
Khudaij telah bercerita
kepadanya bahwa pada waktu menggarap tanah, lewatlah Rasulullah SAW. Rasul bertanya
kepadanya tentang siapakah pemilik tanaman dan siapakah pemilik tanah. Maka Rafi’ bin Khudaij
berkata bahwa ini tanamanku,
benihku dan pekerjaanku. Aku akan memperoleh separuh dan pemilik lahan
memperoleh separoh. Lalu Rasul berkata: kalian telah melakukan riba. Kembalikanlah tanah itu
kepada pemiliknya dan ambillah upah kerjamu” (HR Abu Dawud).
Sepintas hadits ini seolah
melarang sewa tanah. Tetapi kalau kita memperhatikan isinya,
maka hadits ini justru mempertegas makna hadits sebelumnya. Mungkin yang dimaksud “riba”
oleh Rasullullah disini adalah pola jahiliah yang telah dipraktekkan lama.
Menghadapi perbedaan ini,
antara boleh dan tidak boleh, ada yang memiliki sikap wara’, yaitu memilih sesuatu yang terbaik dari dua hal yang sama-sama diperbolehkan. Misalnya hadits yang diriwayatkan Salim bin
Abdullah bin Umar(HR Abu Dawud), yang menceritakan dimana Abdullah bin Umar akhirnya
memilih untuk tidak menyewakan tanah, karena khawatir
Rasulullah telah membuat suatu keputusan baru.
Ada yang berpendapat, menyewa tanah dengan uang yang tertentu nilainya adalah
boleh,
sementara menyewa tanah dengan hasil bumi di kemudian hari adalah
dilarang (haram).
Dan ada yang yakni sewa menyewa bukanlah
sesuatu yang dapat disamakan dengan riba.
Salah
seorang ulama` modern yang terkemuka, Yusuf al-Qardawi berpendapat bahwa ia
melarang sewa tanah dengan uang atau dengan sewa tetap. Pendapat Yusuf al-Qardawi
layak dikaji karena berani melarang sewa tanah dengan sewa tetap, sedang ulama
lainnya banyak yang membolehkan misalnya Abu Hanifah, Imam Malik dan
sebagainya.
Menurut para
ahli yang menganalisis dengan dalam, pendapat Yusuf Al-Qardawi tersebut dilontarkan
saat dikomprasikan dengan bagi hasil. Pelarangan ini didasarkan atas berbagai
alasan, yaitu antara lain adanya ketikadilan dalam sistem sewa tanah dengan
uang. Keadilan adalah asas dalam Islam, sehingga jika asas ini tidak ada maka
hukum sesuatu itu menjadi haram karena tidak sesuai dengan prinsip dasar Islam.
Hal menonjol yang menyebabkan ketidakadilan dalam sewa tanah dengan uang adalah
manfaat tanah yang tidak pasti.
Wallahu alam bissawab. Ini sungguh
masalah yang sensitif. Jujur Saya ga yakin dengan ini mana yang benar. Maka,
mohon pembaca menyikapinya dengan bijak. Bertanyalah
kepada para
ulama dan guru-guru agama yang bisa
menjelaskan ini secara lebih tepat.
Jika disimpulkan, menurut Saya, pelarangan sewa
disebabkan oleh hal-hal berikut:
1.
Kurang adil. Ada potensi akan merugikan si
penyewa, jika panen gagal atau setengah gagal. Sebaliknya, pemilik tanah sudah pasti untung, karena ia sudah terima
sewa di awal musim secara tunai. Maka, opsi yang disarankan adalah bagi
hasil.
2.
Sumber daya tanah
sungguh unik, tidak ada duanya di dunia, maka perlu hukum khusus. Seorang penyewa belum dapat apa-apa jika tidak
menggarapnya, menanami, memelihara, sampai memanen. Ia juga perlu
biaya untuk beli benih dan pupuk, uang untuk buruh, dan curahan keringat sendiri; baru ada hasilnya. Kalau
menyewa
kost-kostan jelas bisa ditiduri. Karena alasan ini lah, sikap qias yakni menganalogkan atau menyamakan persewaan tanah dengan persewaan barang
lain adalah keliru.
3.
Tanah milik Allah
SWT, bukan milik si Tuan Tanah. Jika pun seseorang disebut “memiliki” tanah,
hanya sebatas pemanfaatannya. Zat nya tetap milik Allah. Maka, sesuai hadits,
jika memang tidak ada tenaga dan waktu untuk menggarapnya, ya serahkan lah ke
orang lain. Tidak ada haknya menyewakan ke orang lain. Allah
menyediakan tanah untuk kita semua untuk ditanami, bukan untuk dimiliki orang
seorang. Jika otoritas pemerintah, dengan bekal selembar sertifikat, telah membuat ia berfikir ia pemilik mutlak
tanah tersebut, mau ditelantarkan terserah dia; mungkin ini yang perlu kita
fikirkan ulang.
4.
Mengksploitasi
kemiskinan. Pemilik selalu enak, yang tidak punya tanah menyewa karena
terpaksa dan sering menderita. Dalam perjalanan Saya sebagai peneliti Sosiologi Pertanian
khususnya agraria, umumnya pemilik memang enak. Bagiannya selalu lebih besar dibandingkan
si penyewa. Semakin kecil rasio lahan per petani di swatu wilayah,
semakin ongkang-ongkang kaki lah pemilik. Tanpa resiko, duit lancar mengalir ke
kantong tiap musim. Tercapainya kesepakatan sewa menyewa berlangsung dalam
suasana yang tidak seimbang tersebut. Para penyewa terpaksa menyewa, dan
terpaksa membayar sewa tinggi, karena tidak punya pilihan lain.
Pendapat yang Membolehkan Sewa Menyewa Lahan
Di sisi lain, bagi
yang pro penyewaan, berargumen bahwa
penyewaan lahan dengan perjanjian untuk jangka waktu tertentu memiliki
kebaikan, masih bisa menguntungkan kedua belah pihak. Si pengusaha yang ahli
sejak awal bisa memperhitungkan keuntungan dan memudahkan penghitungan,
misalnya untuk tanaman tahunan yang butuh waktu lama baru menghasilkan.
Dalam
UU No 21 tahun 2008 tenang Perbankan Syariah, ada peluang penyewaan untuk
barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah. Yakni ijarah untuk sewa, dan ijarah
muntahiya bittamlik untuk sewa beli. Akad
ijarah merupakan penyediaan dana
dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa
berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri. Beda dengan ijarah
muntahiya bittamlik, terjadi
pemindahan kepemilikan barang kepada
penyewa.
Menyewa
dengan nilai yang jelas juga didukung riwayat lain. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Handolah bin Qois Al Anshori: “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij
tentang sewa menyewa tanah dengan emas dan perak. Maka dia berkata tidak
apa-apa. Dahulu para manusia saling menyewakan tanah pada masa sebelum
rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan hasil tanah pada bagian yang
dekat dengan air dan bendungan dan dengan bagian ternetu dari hasil tanam,
sehingga bagian di sini binasa dan di bagian lain selamat, dan bagian ini
selamat dan bagian lainnya binasa. Dan manusia tidak melakukan sewa menyewa
kecuali dengan model ini. Karena itulah hal ini dilarang. Adapun sewa menyewa
dengan sesuatu yang jelas diketahui, maka tidak apa-apa” (HR Muslim).
Disebutkan
pula bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membolehkan menyewakan tanah, tetapi
beliau sendiri menyebutkan, bahwa muzara'ah adalah lebih sesuai dengan keadilan
dan prinsip syariah Islamiah. Beliau berkata: "Muzara'ah lebih halal daripada kira'. Pada kira’, yang satu
(pemilik) pasti dapat, yang kedua (penyewa) belum tentu”.
Jadi
Mas dan Mba, tampaknya dalil yang mendukung penyewaan lahan kurang kuat ya, dan
yang mendukung juga tidak banyak. Wallahu
a’lam.
Analisis Boleh
Tak Boleh
Jika
coba dicermati dengan lebih dalam, mungkin situasinya begini. Boleh dan tidak
bolehnya penyewaan lahan (dengan nilai tetap) pada hakekatnya adalah karena kondisi keagrariaan utamanya rasio lahan terhadap
petani di satu wilayah. Penyewaan yang dilarang di zaman Nabi, karena saat itu
terdapat unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang berakibat kepada konflik.
Banyak para sahabat yang memberikan persyaratan kepada orang yang mengerjakan
tanahnya sehingga menjadi tidka adil. Yakni dibedakan antara petak tanah yang
mana dan besar sewanya berapa. Sebagian ditetapkan nilainya dari hasil tanah
baik berupa takaran ataupun timbangan, sedang petak lainnya dengan pola dibagi
dua. Ini tidak adil, karena kadang-kadang suatu tanah tidak menghasilkan sesuai
yang ditentukan itu.
Dalam
keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti akan mengambil semua hasil, sedang
di lain pihak menderita kerugian besar, atau malh tidak dapat sama sekali. Atau
sebaliknya, kadang-kadang suatu petak tanah tidak menghasilkan apa-apa,
sehingga si pemilik tidak mendapat apa-apa, namun penyewa dapat semua.
Maka
itulah, biar adil disarankan pola bagi hasil. Jika hasilnya banyak,
maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit,
kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak
menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian.
Alasan
lain kenapa penyewaan dilarang, mungkin karena soal pertengkaran yang
ditimbulkannya. Untuk menghindari ini, Rasul menggariskan bahwa masing-masing
dari pemilik tanah dan penyewa harus ada sikap toleransi (tasamuh) yang tinggi. Si pemilik tanah jangan minta terlalu
tinggi, sebaliknya si penyewa jangan
merugikan pihak pemilik tanah."Sesungguhnya
Nabi SAW tidak
mengharamkan menyewakan tanah (muzara'ah), tetapi ia memerintahkan supaya satu
sama lain bersikap lemah-lembut." (HR Tarmizi). Lihat, dalam hadits ini disebut muzara’ah
yang makna “bagi hasil”.
Yang berpendirian seperti ini ialah
sejumlah ulama salaf. Thawus salah seorang ahli fiqih dari Yaman dan seorang
Tabi'in besar tidak suka menyewakan tanah dengan emas atau perak (uang), tetapi
dengan sepertiga atau seperempat. Ketika
pendapatnya ini dibantah, dengan alasan bahwa Nabi melarang menyewakan tanah,
maka Thawus menganggap bahwa penyewaan tanah yang dilarangnya itu ialah
penyewaan dengan uang (emas dan perak), adapun muzara'ah tidak apa-apa.
Bagaimana menghitung nilai sewa?
Jika kita setuju dengan
persewaan, lalu bagaimana menentukan nilai sewa? Dalam satu riwayat, nilai sewa
berdasarkan kesuburannya, atau potensi produksinya. Dari hadits yang
diriwayatkan Abu Dawud disebut berdasarkan atas “tanaman yang keluar
darinya” dan “bagian yang dialiri air”.
Diriwayatkan
dari Sa’id bin Musayyib
dan Aa’ad bin Abi Waqqash bahwa: “Kami
menyewakan tanah dengan tanaman yang keluar darinya (maksudnya harga sewa
adalah hasil dari tanah tertentu dari tanah yang disewakan) dan dengan bagian
yang dialiri air (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah yang dialiri
air). Maka Rasulullah SAW melarang
kami untuk melakukan hal itu danbeliau memerintahkan kepada kami untuk menyewakananya dengan emas atau
perak” (HR
Abu Dawud).
Pada masa jahiliyah, jika seseorang menyewa tanah, maka dia tidak perlu
membayar uang pada waktu akan menyewa. Penyewa
hanya perlu menyerahkan hasil panen dari sebagian areal lahan tertentu. Misalnya tanah bagian sebelah utara
atau selatan, bisa pula bagian tanah yang di atas atau di bawah, dan lain-lain.
Saat panen, maka hasil dari bagian tanah tadi diberikan ke si pemilik. Sewanya
dibayar belakangan namun besarnya sudah ditetapkan di awal. Wallahu a’lam.
Namun, di era Rasulullah, pola ini dilarang; diganti dengan nilai yang jelas pada waktu akad, dan dibayar langsung dengan emas atau perak. Cara ini
diyaikini lebih jelas dan tidak akan saling mendzalimi. Cara
jahiliah kemungkinan menimbulkan gharar (tipuan atau ketidak jelasan).
Cara sewa bayar di depan ini
bisa saja terkesan tidak adil, misalnya jika panen gagal. Namun, kuncinya di
sini adalah pada kesempurnaan akad. Tentu saja, seseorang yang berani menyewa
tanah tersebut sudah memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang keberhasilan
usahanya nanti. Pertimbangannya tentu dengan melihat tingkat keberhasilan
produksi tanah tersebut tahun-tahun sebelumnya. Pembeda model Islam
dengan model jahiliyah adalah akadnya lebih jelas saat awal akad termasuk nominalnya.
Untuk menentukan berapa nilai sewa mungkin
bisa menggunakan prinsip batasan mengambil keuntungan pada berdagang.
Dari beberapa fatwa, pointnya adalah tidak elok mematok harga sewa setinggi-tingginya,
meskipun karena terpaksa tetap ada orang yang mau menyewa. Perilaku “tuan tanah
kerjam” seperti ini bisa tergolong penipuan. Mohon diingat bahwa pada tanah
selalu melekat kewajiban sosial, karena keberadaannya yang tetap dan terbatas.
Yang paling indah tentunya adalah masing-masing dari pemilik tanah dan
penyewa harus ada sikap toleransi yang tinggi. Si pemilik tanah tidak minta
terlalu tinggi, sedangkan dari si
penyewa juga jangan merugikan si pemilik.
Kondisi
yang Melahirkan Sewa Menyewa Lahan di Indonesia
Coba kita fahami kenapa kultur
sewa menyewa lahan begitu marak di Indonesia? Bukan untuk
mendukung pro atau kontra ya. Dari berbagai hasil riset, pada wilayah yang
terbuka dimana kompetisi untuk memperoleh tanah garapan tinggi, maka sewa lahan
banyak berkembang. Ada kecenderungan, bagi hasil mengindikasikan pertanian
tradisional, sedangkan sewa merupakan ciri pertanian modern. Penerapan
bagi hasil lebih adil, karena penyakap pastilah berasal dari kelas yang lebih
rendah. Sedangkan petani yang berani memilih sewa umumnya dari kelas ekonomi
yang lebih tinggi. Jadi, bagi hasil merupakan mekanisme untuk mewujudkan nilai
sosial dari tanah, beda dengan sistem sewa.
Dari penelusuran Saya sebagai peneliti, relasi
pemilik tanah dengan penyewa lebih
impersonalistik, tidak akrab dan lebih kalkulatif. Jasa (uang sewa)
dibayarkan di depan, sering untuk beberapa musim atau tahun sekaligus. Si pemilik ga akan
rugi.
Pada bagi hasil, penyakap bisanya dari strata ekonomi lebih rendah. Namun
pada persewaan, penggarap atau penyewa bisa dari kelas ekonomi lebih tinggi. Ia
sering memiliki modal yang lebih kuat dibanding si pemilik tanah. Beda dengan
pada bagi hasil, di persewaan ini otoritas lebih besar ada pada si penyewa. Dapat dikatakan, si penyewa
lebih berkuasa. Pemilik tanah kadang-kadang merasa telah beruntung karena ada
orang yang mau menyewa lahannya dengan nilai besar.
Gampangnya
Saya katakan: pada relasi sewa menyewa ini, aroma kapitalistik individualistis nya
lebih terasa. Pertanyaan nya adalah: apakah ini relasi muamalah bertani yang
dibayangkan Islam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar