Sabtu, 09 Mei 2020

Subbab 3.2. SEWA MENYEWA TANAH PERTANIAN

(Draf Buku “BERTANI DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam.  Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)


Sepanjang yang bisa Saya baca, ada perbedaan pendapat tentang sewa menyewa ini. Ada yang menyatakan boleh ada yang mengatakan tidak, entah mana yang lebih benar. Namun menurut analisis mendalam Jamaksari (2016), kelompok yang menolak sebenarnya minoritas. Saya tidak berani ambil kesimpulan, karena dibandingkan dengan bagi hasil misalnya, referensi tentang sewa menyewa dalam sejarah masyarakat Islam sepanjang yang bisa Saya temukan masih terbatas. Wallahu a’lam.

Tanah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam ekonomi. Atas dasar alasan ini, Islam menolak kepemilikan absolut atas tanah serupa eigendom (hak milik tetap atas tanah). Karena terbatasnya keberadaan lahan ini, maka seseorang yang “menguasai” tanah tidak boleh menelantarkannya tanpa digarap.

Jika si pemilik tanah tidak sanggup mengolahnya sendiri karena alasan keahlian atau alasan lainnya, ia harus menyerahkan tanahnya pada orang lain untuk diolah. Bentuk kerjasamanya bisa berupa sewa (ijarah) atau bagi hasil (muzaarah).

Untuk sewa menyewa dalam Islam, terdapat dua pendapat berbeda. Menurut Jamaksari (2016), kelompok yang membolehkan penyewaan tanah adalah Imam Asy-Asyafi’I dan jumhur ulama, sedangkan yang melarang sewa adalah Thawus, Abu bakar bin Abdurrahman ibnu Hazm. Kesimpulannya, ulama yang membolehkan adalah asalkan dilakukan dengan prinsip kemaslahatan dengan menggunakan uang, dinar, dirham atau apapun juga. Sementara yang menolak, Ibnu Hazm, karena kuatir ada satu pihak akan mengalami kerugian. Maka disarankan memilih bentuk bagi hasil, karena akan lebih adil bagi kedua pihak.

Disebutkan oleh penulisnya, perbedaan ini karena yang pro menggunakan metode qiyas (analogi), sedangkan yang menolak menggunakan nasikh massukh. Metode qiyas kira-kira maksudnya adalah menyamakan ketentuan hukum antara sesuatu yang sudah ada aturan hukumnya dengan sesuatu yang lain yang belum diatur hukumnya. Sedangkan nasikh massukh secara bahasa bermakna menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, dan menulis. Kira-kira maksudnya adalah dengan menghilangkan hukum yang ada dengan dalil yang lebih dahulu dengan dalil yang datang setelahnya. Wallahu alam.

Pendapat yang Melarang Sewa Menyewa Lahan

Rasul pernah melarang lahan pertanian disewakan, baik tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk tunai. Namun, ini harus difahami secara kritis, dalam kondisi bagaimana dan kapan pelarangan itu disampaikan.

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan (memberikan) maka tahanlah tanahnya itu." (HR Bukhari). Dalam hadits sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadits-hadits ini dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul ardh).

Sebagian ulama membolehkan penyakapan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara'ah. Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar.

Dalil ini kurang kuat untuk mendukung sistem sewa, karena tanah Khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara'ah). Tanah Khaibar sebagian besar adalah tanah berpohon (kurma), hanya sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami.

Larangan penyewaan disini khusus untuk menyewakan lahan pertanian untuk ditanami. Adapun menyewakan tanah bukan untuk ditanami, misal untuk dibuat kandang peternakan, kolam ikan, tempat penyimpanan (gudang), untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya boleh-boleh saja sebab tidak ada larangan syariah dalam masalah ini.

Ada yang berpandangan bahwa sewa lahan pertanian dilarang karena menyerupai riba. Mengapa demikian? Karena, penyewa memberikan biaya sewa di depan, sedangkan ia belum tentu mendapatkan hasil. Bagaimana jika panennya gagal, padahal sejak awal sudah bayar sewa?

Para alim ulama yang melarang sewa menyewa berpedoman kepada hadits-hadits berikut. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’aim, bahwa Rafi’ bin Khudaij telah bercerita kepadanya bahwa pada waktu menggarap tanah, lewatlah Rasulullah SAW. Rasul bertanya kepadanya tentang siapakah pemilik tanaman dan siapakah pemilik tanah. Maka Rafi’ bin Khudaij berkata bahwa ini tanamanku, benihku dan pekerjaanku. Aku akan memperoleh separuh dan pemilik lahan memperoleh separoh. Lalu Rasul berkata: kalian telah melakukan riba. Kembalikanlah tanah itu kepada pemiliknya dan ambillah upah kerjamu” (HR Abu Dawud).

Sepintas hadits ini seolah melarang sewa tanah. Tetapi kalau kita memperhatikan isinya, maka hadits ini justru mempertegas makna hadits sebelumnya. Mungkin yang dimaksud “riba” oleh Rasullullah disini adalah pola jahiliah yang telah dipraktekkan lama.

Menghadapi perbedaan ini, antara boleh dan tidak boleh, ada yang memiliki sikap wara’, yaitu memilih sesuatu yang terbaik dari dua hal yang sama-sama diperbolehkan. Misalnya hadits yang diriwayatkan Salim bin Abdullah bin Umar(HR Abu Dawud), yang menceritakan dimana Abdullah bin Umar akhirnya memilih untuk tidak menyewakan tanah, karena khawatir Rasulullah telah membuat suatu keputusan baru.

Ada yang berpendapat, menyewa tanah dengan uang yang tertentu nilainya adalah boleh, sementara menyewa tanah dengan hasil bumi di kemudian hari adalah dilarang (haram). Dan ada yang yakni sewa menyewa bukanlah sesuatu yang dapat disamakan dengan riba.

Salah seorang ulama` modern yang terkemuka, Yusuf al-Qardawi berpendapat bahwa ia melarang sewa tanah dengan uang atau dengan sewa tetap. Pendapat Yusuf al-Qardawi layak dikaji karena berani melarang sewa tanah dengan sewa tetap, sedang ulama lainnya banyak yang membolehkan misalnya Abu Hanifah, Imam Malik dan sebagainya.

Menurut para ahli yang menganalisis dengan dalam, pendapat Yusuf Al-Qardawi tersebut dilontarkan saat dikomprasikan dengan bagi hasil. Pelarangan ini didasarkan atas berbagai alasan, yaitu antara lain adanya ketikadilan dalam sistem sewa tanah dengan uang. Keadilan adalah asas dalam Islam, sehingga jika asas ini tidak ada maka hukum sesuatu itu menjadi haram karena tidak sesuai dengan prinsip dasar Islam. Hal menonjol yang menyebabkan ketidakadilan dalam sewa tanah dengan uang adalah manfaat tanah yang tidak pasti.

Wallahu alam bissawab. Ini sungguh masalah yang sensitif. Jujur Saya ga yakin dengan ini mana yang benar. Maka, mohon pembaca menyikapinya dengan bijak. Bertanyalah kepada para ulama dan guru-guru agama yang bisa menjelaskan ini secara lebih tepat.

Jika disimpulkan, menurut Saya, pelarangan sewa disebabkan oleh hal-hal berikut:

1.       Kurang adil. Ada potensi akan merugikan si penyewa, jika panen gagal atau setengah gagal. Sebaliknya, pemilik tanah sudah pasti untung, karena ia sudah terima sewa di awal musim secara tunai. Maka, opsi yang disarankan adalah bagi hasil.

2.       Sumber daya tanah sungguh unik, tidak ada duanya di dunia, maka perlu hukum khusus. Seorang penyewa belum dapat apa-apa jika tidak menggarapnya, menanami, memelihara, sampai memanen. Ia juga perlu biaya untuk beli benih dan pupuk, uang untuk buruh, dan curahan keringat sendiri; baru ada hasilnya. Kalau menyewa kost-kostan jelas bisa ditiduri. Karena alasan ini lah, sikap qias yakni menganalogkan atau menyamakan persewaan tanah dengan persewaan barang lain adalah keliru.

3.       Tanah milik Allah SWT, bukan milik si Tuan Tanah. Jika pun seseorang disebut “memiliki” tanah, hanya sebatas pemanfaatannya. Zat nya tetap milik Allah. Maka, sesuai hadits, jika memang tidak ada tenaga dan waktu untuk menggarapnya, ya serahkan lah ke orang lain. Tidak ada haknya menyewakan ke orang lain. Allah menyediakan tanah untuk kita semua untuk ditanami, bukan untuk dimiliki orang seorang. Jika otoritas pemerintah, dengan bekal selembar sertifikat,  telah membuat ia berfikir ia pemilik mutlak tanah tersebut, mau ditelantarkan terserah dia; mungkin ini yang perlu kita fikirkan ulang.

4.       Mengksploitasi kemiskinan. Pemilik selalu enak, yang tidak punya tanah menyewa karena terpaksa dan sering menderita. Dalam perjalanan Saya sebagai peneliti Sosiologi Pertanian khususnya agraria, umumnya pemilik memang enak. Bagiannya selalu lebih besar dibandingkan si penyewa. Semakin kecil rasio lahan per petani di swatu wilayah, semakin ongkang-ongkang kaki lah pemilik. Tanpa resiko, duit lancar mengalir ke kantong tiap musim. Tercapainya kesepakatan sewa menyewa berlangsung dalam suasana yang tidak seimbang tersebut. Para penyewa terpaksa menyewa, dan terpaksa membayar sewa tinggi, karena tidak punya pilihan lain.

Pendapat yang Membolehkan Sewa Menyewa Lahan

Di sisi lain, bagi yang pro penyewaan, berargumen  bahwa penyewaan lahan dengan perjanjian untuk jangka waktu tertentu memiliki kebaikan, masih bisa menguntungkan kedua belah pihak. Si pengusaha yang ahli sejak awal bisa memperhitungkan keuntungan dan memudahkan penghitungan, misalnya untuk tanaman tahunan yang butuh waktu lama baru menghasilkan.

Dalam UU No 21 tahun 2008 tenang Perbankan Syariah, ada peluang penyewaan untuk barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah. Yakni ijarah untuk sewa, dan ijarah muntahiya bittamlik untuk sewa beli. Akad ijarah merupakan penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Beda dengan ijarah muntahiya bittamlik, terjadi pemindahan kepemilikan barang kepada penyewa.

Menyewa dengan nilai yang jelas juga didukung riwayat lain. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Handolah bin Qois Al Anshori: “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang sewa menyewa tanah dengan emas dan perak. Maka dia berkata tidak apa-apa. Dahulu para manusia saling menyewakan tanah pada masa sebelum rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan hasil tanah pada bagian yang dekat dengan air dan bendungan dan dengan bagian ternetu dari hasil tanam, sehingga bagian di sini binasa dan di bagian lain selamat, dan bagian ini selamat dan bagian lainnya binasa. Dan manusia tidak melakukan sewa menyewa kecuali dengan model ini. Karena itulah hal ini dilarang. Adapun sewa menyewa dengan sesuatu yang jelas diketahui, maka tidak apa-apa” (HR Muslim).

Disebutkan pula bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membolehkan menyewakan tanah, tetapi beliau sendiri menyebutkan, bahwa muzara'ah adalah lebih sesuai dengan keadilan dan prinsip syariah Islamiah. Beliau berkata: "Muzara'ah lebih halal daripada kira'. Pada kira’, yang satu (pemilik) pasti dapat, yang kedua (penyewa) belum tentu.

Jadi Mas dan Mba, tampaknya dalil yang mendukung penyewaan lahan kurang kuat ya, dan yang mendukung juga tidak banyak. Wallahu alam.

Analisis Boleh Tak Boleh

Jika coba dicermati dengan lebih dalam, mungkin situasinya begini. Boleh dan tidak bolehnya penyewaan lahan (dengan nilai tetap) pada hakekatnya adalah karena kondisi keagrariaan utamanya rasio lahan terhadap petani di satu wilayah. Penyewaan yang dilarang di zaman Nabi, karena saat itu terdapat unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang berakibat kepada konflik. Banyak para sahabat yang memberikan persyaratan kepada orang yang mengerjakan tanahnya sehingga menjadi tidka adil. Yakni dibedakan antara petak tanah yang mana dan besar sewanya berapa. Sebagian ditetapkan nilainya dari hasil tanah baik berupa takaran ataupun timbangan, sedang petak lainnya dengan pola dibagi dua. Ini tidak adil, karena kadang-kadang suatu tanah tidak menghasilkan sesuai yang ditentukan itu.

Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti akan mengambil semua hasil, sedang di lain pihak menderita kerugian besar, atau malh tidak dapat sama sekali. Atau sebaliknya, kadang-kadang suatu petak tanah tidak menghasilkan apa-apa, sehingga si pemilik tidak mendapat apa-apa, namun penyewa dapat semua.

Maka itulah, biar adil disarankan pola bagi hasil. Jika hasilnya banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian.

Alasan lain kenapa penyewaan dilarang, mungkin karena soal pertengkaran yang ditimbulkannya. Untuk menghindari ini, Rasul menggariskan bahwa masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa harus ada sikap toleransi (tasamuh) yang tinggi. Si pemilik tanah jangan minta terlalu tinggi,  sebaliknya si penyewa jangan merugikan pihak pemilik tanah."Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengharamkan menyewakan tanah (muzara'ah), tetapi ia memerintahkan supaya satu sama lain bersikap lemah-lembut." (HR Tarmizi). Lihat, dalam hadits ini disebut muzara’ah yang makna “bagi hasil”.

Yang berpendirian seperti ini ialah sejumlah ulama salaf. Thawus salah seorang ahli fiqih dari Yaman dan seorang Tabi'in besar tidak suka menyewakan tanah dengan emas atau perak (uang), tetapi dengan sepertiga atau seperempat. Ketika pendapatnya ini dibantah, dengan alasan bahwa Nabi melarang menyewakan tanah, maka Thawus menganggap bahwa penyewaan tanah yang dilarangnya itu ialah penyewaan dengan uang (emas dan perak), adapun muzara'ah tidak apa-apa.

Bagaimana menghitung nilai sewa?

Jika kita setuju dengan persewaan, lalu bagaimana menentukan nilai sewa? Dalam satu riwayat, nilai sewa berdasarkan kesuburannya, atau potensi produksinya. Dari hadits yang diriwayatkan Abu Dawud disebut berdasarkan atas “tanaman yang keluar darinya” dan “bagian yang dialiri air”.

Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib dan Aa’ad bin Abi Waqqash bahwa: “Kami menyewakan tanah dengan tanaman yang keluar darinya (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah tertentu dari tanah yang disewakan) dan dengan bagian yang dialiri air (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah yang dialiri air). Maka Rasulullah SAW melarang kami untuk melakukan hal itu danbeliau memerintahkan kepada kami untuk menyewakananya dengan emas atau perak” (HR Abu Dawud).

Pada masa jahiliyah, jika seseorang menyewa tanah, maka dia tidak perlu membayar uang pada waktu akan menyewa. Penyewa hanya perlu menyerahkan hasil panen dari sebagian areal lahan tertentu. Misalnya tanah bagian sebelah utara atau selatan, bisa pula bagian tanah yang di atas atau di bawah, dan lain-lain. Saat panen, maka hasil dari bagian tanah tadi diberikan ke si pemilik. Sewanya dibayar belakangan namun besarnya sudah ditetapkan di awal. Wallahu alam.

Namun, di era Rasulullah, pola ini dilarang; diganti dengan nilai yang jelas pada waktu akad, dan dibayar langsung dengan emas atau perak. Cara ini diyaikini lebih jelas dan tidak akan saling mendzalimi. Cara jahiliah kemungkinan menimbulkan gharar (tipuan atau ketidak jelasan).

Cara sewa bayar di depan ini bisa saja terkesan tidak adil, misalnya jika panen gagal. Namun, kuncinya di sini adalah pada kesempurnaan akad. Tentu saja, seseorang yang berani menyewa tanah tersebut sudah memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang keberhasilan usahanya nanti. Pertimbangannya tentu dengan melihat tingkat keberhasilan produksi tanah tersebut tahun-tahun sebelumnya. Pembeda model Islam dengan model jahiliyah adalah akadnya lebih jelas saat awal akad termasuk nominalnya.

Untuk menentukan berapa nilai sewa mungkin bisa menggunakan prinsip batasan mengambil keuntungan pada berdagang. Dari beberapa fatwa, pointnya adalah tidak elok mematok harga sewa setinggi-tingginya, meskipun karena terpaksa tetap ada orang yang mau menyewa. Perilaku “tuan tanah kerjam” seperti ini bisa tergolong penipuan. Mohon diingat bahwa pada tanah selalu melekat kewajiban sosial, karena keberadaannya yang tetap dan terbatas.

Yang paling indah tentunya adalah masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa harus ada sikap toleransi yang tinggi. Si pemilik tanah tidak minta terlalu tinggi,  sedangkan dari si penyewa juga jangan merugikan si pemilik.

Kondisi yang Melahirkan Sewa Menyewa Lahan di Indonesia

Coba kita fahami kenapa kultur sewa menyewa lahan begitu marak di Indonesia? Bukan untuk mendukung pro atau kontra ya. Dari berbagai hasil riset, pada wilayah yang terbuka dimana kompetisi untuk memperoleh tanah garapan tinggi, maka sewa lahan banyak berkembang. Ada kecenderungan, bagi hasil mengindikasikan pertanian tradisional, sedangkan  sewa merupakan ciri pertanian modern. Penerapan bagi hasil lebih adil, karena penyakap pastilah berasal dari kelas yang lebih rendah. Sedangkan petani yang berani memilih sewa umumnya dari kelas ekonomi yang lebih tinggi. Jadi, bagi hasil merupakan mekanisme untuk mewujudkan nilai sosial dari tanah, beda dengan sistem sewa.

Dari penelusuran Saya sebagai peneliti, relasi pemilik tanah dengan penyewa lebih impersonalistik,  tidak akrab  dan lebih kalkulatif. Jasa (uang sewa) dibayarkan di depan, sering untuk beberapa musim atau tahun sekaligus. Si pemilik ga akan rugi.

Pada bagi hasil, penyakap bisanya dari strata ekonomi lebih rendah. Namun pada persewaan, penggarap atau penyewa bisa dari kelas ekonomi lebih tinggi. Ia sering memiliki modal yang lebih kuat dibanding si pemilik tanah. Beda dengan pada bagi hasil, di persewaan ini otoritas lebih besar ada pada si penyewa. Dapat dikatakan, si penyewa lebih berkuasa. Pemilik tanah kadang-kadang merasa telah beruntung karena ada orang yang mau menyewa lahannya dengan nilai besar.

Gampangnya Saya katakan: pada relasi sewa menyewa ini, aroma kapitalistik individualistis nya lebih terasa. Pertanyaan nya adalah: apakah ini relasi muamalah bertani yang dibayangkan Islam?

Jadi, setelah membaca dan mencermati berbagai ayat dan hadits di atas, lalu dikomparasikan dengan praktek sewa menyewa lahan selama ini yang cenderung eksploitatif; Saya merasa kita perlu berhati-hati menerapkan ini. Saya rasanya belum pernah ketemu petani penyewa yang happy dengan kondisinya. Namun mereka adalah kaum voiceless, yang selain tidak tahu mau mengadu kemana, juga mungkin belum pernah dapat tausiyah dari Ustadz bahwa Rasul sesungguhnya begitu peduli kepada nasib penyewa-penyewa seperti mereka
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar