Sabtu, 09 Mei 2020

Subbab 3.3. BAGI HASIL PERTANIAN

(Draf Buku “BERTANI DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam.  Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)


Dibandingkan dengan penyewaan lahan, Saya kira kerjasama usaha pertanian dengan bagi hasil ini (muzara’ah) lebih baik dan lebih disarankan. Banyak hadits yang menguatkannya. Lagi pula, dalam Ekonomi Islam ”bagi hasil” merupakan salah satu produk yang sangat umum dalam pembiayaan. Bahkan kalangan awam menyebut bahwa Ekonomi Islam adalah ”Ekonomi Bagi Hasil”.

Menggarap tanah adalah termasuk jenis kerjasama yang diperbolehkan oleh ajaran islam dan banyak dijumpai di masyarakat luas saat ini. Pola ini insyaAllah bermanfaat yang bagi kedua pihak, sama-sama untung.  Dalam dunia sosial ekonomi pertanian dikenal “hubungan penyakapan” (tenancy relation) yang memiliki pengertian yang luas, mencakup berbagai bentuk hubungan sementara yang terjadi akibat penguasaan tanah oleh pengelola yang bukan pemilik. Hubungan penyakapan diagi dua yakni sewa dan bagi hasil. Ya, makna ”tenancy relation” tampaknya berimpit persis dengan makna ”muzara’ah” yakni segala bentuk kerjasama penggarapan tanah orang lain; mencakup sewa dan bagi hasil.

Sebagai tambahan, menggadai lahan sebenarnya tidak masuk ke dalam konsep muzara’ah, karena dalam menggadai lahan hanya jaminan. Namun, Bapa Ibu sekalian, praktek di masyarakat kita saat ini, sebagaimana Saya amati sebagai peneliti; menggadai lahan akhirnya menjadi cara untuk mendapatkan lahan juga. Ini menjadi tenancy relation padahal sebenarnya tidak masuk dalam makna ”muzara’ah”.

Pengertian dan ragam muzara’ah (bagi hasil)

Walaupun muzara’ah semestinya mencakup sewa dan bagi hasil, namun banyak hadits, entah mungkin karena penerjemahannya; semakin mengerucut bahwa muzara’ah untuk “bagi hasil”, sedangkan penyewaan tanah memakai istilah ijarah atau kira’. Maka, “muzara’ah” di sini dibatasi sebagai kerjasama penggarapan lahan dimana seseorang memberikan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami, yang hasilnya nanti dibagi. Secara bahasa, “muzara’ah” berarti muamalah atas tanah dengan pembagian yang dihasilkannya.

Hasil penelusuran  dari berbagai bacaan, Saya temukan beberapa varian pola bagi hasil sebagai berikut:

Satu, pola musaqat. Dalam pola ini buruh diserahkan memelihara sebidang lahan yang sudah ada tanamannya misalnya kurma, lalu nanti memperoleh upah dari bagian hasilnya. Artinya, saat buruh itu datang tanamannya sudah besar, mungkin sudah berbuah atau belum.  Ini banyak berlaku untuk tanaman perkebunan. Tampaknya ini yang diterapkan Rasul kepada petani penduduk Khaibar.

Pengertian musaqat sendiri adalah seseorang memberikan pohon kepada orang yang akan mengairi dan memelihara dengan upah tertentu dari buahnya. Ini berbeda karena dibayar harian. Lebih kurang, varian yang kita temukan di Indonesia seperti “bawon” pada padi, yang punya kewajiban menanam dan memanen, namun yang memelihara (mengairi, menyemprot) adalah si pemilik. Petani bawon nanti memperoleh gaji saat panen, bisanya 1/6 atau 1/7 bagian dari panen kotor.

Musaqat diperbolehkan dengan dalil kerjasama  Rasul dan para khulafaur rasyidin sepeninggal beliau. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rosululloh SAW menyuruh penduduk Khaibar menggarap tanah Khaibar dengan bagian setengah dari tanaman atau buah yang dihasilkan lahan tersebut. Akad yang sama juga dilakukan oleh Abu Bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abu Thalib RA.

Dua, Benih dari pemilik. Beberapa hadits menyebutkan bahwa pemilik harus menyediakan benih. Makna dari kewajiban ini bisa dikembalikan kepada konsep dasar “pemilikan” tanah, bahwa sesungguhnya seseorang petani tidak benar-benar memiliki secara mutlak tanah apapun, dia hanya berhak pada pemanfaatannya. Dengan masih memberikan benih, maka setidaknya masah ada “ikatan” nya pada kewajiban pemanfaatan tersebut. Jika pemilik sudah tidak memberikan apa-apa, kesannya bahwa tanah dimilki secara penuh.

Imam Bukhari menceritakan dalam kitab Sahihnya, bahwa Umar bin Khattab RA mempraktekkan ini, dimana bibit disediakan Umar sebagai pemiliki dan dia mendapat lebih dari separuh hasil. Namun, jika bibit dari petani, maka mereka dapat lebih dari separuh juga.

Bagaimana pola bagi hasil yang benar? Saya belum dapat referensi yang bagus tentang ini. Namun, praktek bagi hasil oleh Rasulullah dan Khalifah bagian petani penyakap tidak kurang dari separuh, sebagaimana dilakukan kepada petani Yahudi Khaibar. Tidak layak kalau bagian pemilik tanah lebih tinggi daripada bagian penyakap.

Tiga,Benih dari petani penyakap. Berkenaan dengan cerita pada petani Khaibar yang berlangsung sampai Rasul meninggal dunia,  salah satu hadits menyebutkan petani yang menangung biaya dan bibit, bukan dari Nabi. Artinya, bibit boleh dari pihak petani atau pemilik, atau boleh juga dari kedua belah pihak. 

Ini yang banyak dipraktekkan di Indonesia, biasanya pemilik dapat 1/3 dari hasil kotor. Penggarap  yang telah mengeluarkan benih, pupuk, dan biaya olah tanah; mendapat 2/3. , Tampaknya ini tidak ada di era Rasul. Nah, satu yang menarik, setelah Saya coba uji, rupanya bagian pemilik lebih kurang sama walau ia mengeluarkan benih dan pupuk dengan pola “bagi dua”. Rupanya masyarakat petani tersebut telah berhitung dengan sangat baik, sehingga walau berbeda cara, bagian kewajiban dan haknya menjadi mirip. Perbedaan pola bagi dimungkinkan berbeda karena kesuburan lahannya, dan utamanya adalah rasio lahan terhadap petani. Semakin banyak petani tak berlahan, bagian petani penyakap ditekan sampai sekecil-kecilnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, dari pada tidak punya garapan; penyakap tetap menerimanya. Meskipun kita sudah punya Undang-Undang No 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian. 

Prioritas Kerjasama Penyakapan Lahan

Dalam hal relasi keagrariaan ini, dimana banyak pola yang mungkin, jika kita sederhanakan maka logical frame nya lebih kurang sebagai berikut:

Pilihan pertama, Garaplah sendiri.

Pilihan yang utama adalah lahan diolah sendiri oleh pemiliknya. Jika tidak sanggup, maka lahan tidak boleh dianggurkan atau diberakan belaka. Maka, jika pemilik tidak sanggup, entah karena tidak ada waktu (punya profesi lain) atau ketiadaan biaya, lahan boleh dikerjasamakan dengan petani lain. Hadits Rasulullah bahwa memberikan tanah kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak tertentu.

Pilihan kedua: Lahan “dipinjamkan” ke orang lain, tanpa memungut apapun.

Ini banyak haditsnya. Jika pun pemilik membantu dengan alat, bibit, atau meminjamkan hewan untuk mengolah tanah, sedang dia samasekali tidak mengambil hasilnya kecuali berharap pahala dari Allah SWT; merupakan shadaqah jariah yang sangat baik. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah atau berikan kepada kawannya”. Dalam riwayat lain, Rasul menyatakan: “Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah sendiri atau suruhlah saudaranya untuk menanaminya, kalau tidak, tinggalkanlah”. Jadi, meminjamkan lahan begitu saja tanpa meminta imbalan jauh lebih dianjurkan.

Pilihan ketiga: Muzara’ah (bagi hasil), atau sering disebut juga musaqat atau mukhabarah.

Si pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya ½ atau 1/3 atau dengan pola yang lain asalkan sepakat.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah diterangkan, bahwa Rasulullah SAW menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya untuk pemilik tanah. Pola muzara’ah dipraktekkan Rasul, para Kahlifah sesudahnya, dan bahkan dilanjutkan pula oleh isteri-isteri Nabi sepeninggal beliau.

Sebenarnya ada pilihan keempat, yakni muzaarah namun petani “lepas tangan”. Sepanjang bacaan yang saya temukan, pola ini tidak ada dalilnya. Padahal pola ini sangat banyak diterapkan di Indonesia, biasanya pemilik mendapat 1/3 dari hasil panen kotor. 

Dasar hukum muzara’ah sangat kuat, karena selain secara logika keislaman sangat sesuai, juga sudah biasa dipraktekkan di zaman Rasul. Tidak sebagaimana penyewaan lahan yang dalam kondisi tertentu dilarang, pada muzara’ah ini Rasul membolehkan.

Pada dasarnya, muzara’ah ini merupakan kerjasama yang saling menguntungkan, dalam kondisi banyak petani yang ahli dan butuh lahan, sementara banyak juga pemilik yang kebetulan tidak mampu menanaminya. Muzara’ah menjadi solusi jalan tengah bagi keduanya. Ini dipraktekkan di era Rasul di Madinah dan banyak kaum muhajirin, dilanjutkan khulafaur rasyidin dan sampai ke Umar bin Abdul Aziz yang hidup di masa berikutnya memiliki pemasukan dari bagi hasil.

Bentuk Muzara’ah yang Terlarang

Hadits yang melarang muzaarah agak jarang dan konon katanya lemah. Dan kalau dicermati, pelarangan tersebut lebih kepada karena adanya bagian yang tidak diketahui atau tidak jelas dalam perjanjian yang dibuat antar kedua pihak. Jadi, muzaarah dilarang jika ada unsur gharar. Apakah gharar?

Gharar atau taghrir adalah istilah hukum yang berarti keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan orang lain. Garar terjadi bisa karena akad yang mengandung unsur penipuan karena dibuat longgar atau mengambang, baik mengenai ada atau tidaknya objek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan di dalam akad tersebut. Maka, gharar merupakan akad yang dilarang dalam Islam.   Gharar juga bisa terjadi dengan mengubah sesuatu yangbersifat certain  menjadi uncertain.

Gharar juga bermakna pertaruhan. Al-harar  adalah al-mukhatarah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasasan) sehingga termasuk ke dalam perjudian. Maka, dalam jual beli bisa terdapat gharar. Yakni ketika transaksinya mengandung ketidakjelasan, pertaruhan, atau perjudian; misalnya karena menjual buah yang masih di pohon, atau ikan yang masih di dalam air.

Ada berbagai alasan mengapa muzaara’ah dilarang. Rasul pernah melarang muzara’ah setelah sebelumnya diperbolehkan. Dalilnya berasal hadits yang menceritakan bahwa telah datang kepada Rasulullah dua orang yang berselisih tentang muzara’ah, sehingga bahkan sudah sampai pada sikap untuk saling membunuh. Menghadapi konflik ini, Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang terjadi maka sebaiknya mereka tidak melakukan muzara’ah. Ceritanya bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar tentang masalah tanah, kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka jawab Nabi: Kalau ini persoalanmu, maka janganlah kamu menyewakan tanah.

Dan pendapat yang mengatakan bahwa hukum muzara’ah ini termasuk akad yang terlarang telah dibantah oleh Zaid bin Tsabit dengan mengatakan bahwa ia lebih mengetahui tentang hadits Rasulullah dari pada Rafi’ bin Khudaij. Lebih lanjutnya dia menjelaskan bahwa banyak sahabat Nabi yang melakukan muzara’ah. Dengan adanya bantahan dari Zaid ini, maka telah jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzara’ah.

Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah SAW tentang muzara’ah dalam hal ini bersifat kasuistik, di mana beliau memandang bahwa orang tersebut kurang tepat dalam melakukan akad muzara’ah, sehingga larangan itu bukan berarti melarang hukum muzara’ah secara hukum, melainkan arahan beliau kepada orang seseorang tertentu untuk menggunakan sistem lain yang lebih tepat.

Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 100 are yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 40 are tertentu (mungkin karena lebih subur), sedangkan penggarap berhak atas area 60 are yang lain yang kurang subur.

Cara membagi yang benar adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase. Sedangkan bentuk yang kedua dan terlarang itu, sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 40  are dan 60 are; si buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 60 are itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi (yang 40 are) menjadi hak pemilik lahan.

Cara seperti ini adalah cara muzaraah yang diharamkan. Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 40 are itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 60 are yang gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.

Jangan sampai pas panen, hanya pemilik yang dapat, atau hanya penyakap yang dapat hasil. Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian.

Di zaman sebelum Rasul, pemilik biasa menyewakan tanah yang dekat sumber air dan yang dekat dengan parit-parit dibedakan dengan yang jauh dair air. Ini yang dilarang. Penyakapan harus dilakukan untuk seluruh lahan. Tidak bisa dibeda-bedakan. Rasul melarang membeda-bedakan muzara’ah pada petak lahan berbeda dalam satu lahan. “ …. kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang” (HR Bukhari). Intinya, Nabi sangat berkeinginan untuk mewujudkan keadilan secara merata dalam masyarakatnya, serta menjauhkan semua hal yang menyebabkan sumber konflik di kalangan masyarakat Islam.

Praktek bagi hasil di masyarakat kita: ceblokan vs Bagi Hasil

Pada pertanian sawah di Jawa dikenal “ceblokan”, yang merupakan bentuk kerjasama antara pemilik tanah dengan buruh tak bertanah. Ini tergolong sebagai ”bagi usaha”. Sistem ”ceblokan” atau “kedokan” sesungguhnya adalah upah menanam, menyiang dan memanen yang dibayar secara natura saat panen dengan nisbah tertentu yang disebut bawon. Hanya ditemukan pada usaha padi sawah. Satu ha di sawah kadang dibagi untuk 3 sampai 10 penceblok. Biasanya penceblok terdiri dari keluarga (suami isteri)

Namun, saking terbatasnya lahan, kadang berlangsung penyakapan berganda. Si penyakap (penceblok) kadang-kadang menyakapkan lagi pekerjaan-pekerjaan tertentu kepada orang lain. Ini bisa dimaknai sebagai sisa gejala involusi pertanian dahulu, atau bisa juga sebagai bentuk baru involusi pertanian yang rupanya belum berakhir juga di Indonesia.

Khusus untuk pekerjaan memanen, adakalanya petani yang memperoleh hak bawon membaginya lagi dengan si pemanen yang disebut penderep. Artinya, pada satu petak sawah telah terjadi tiga tingkat penyakapan yang menerapkan bagi hasil dan bagi usaha yang melibatkan empat pihak sekaligus. Keempat pihak tersebut adalah pemilik sawah, penyakap, petani yang melakukan kedokan, dan penderep. Tampak bahwa konsep bagi hasil telah dikembangkan sedemikian kompleksnya, yang mungkin belum terpikirkan dalam produk-produk bank syariah. Kerjasama tak lagi hanya antar pihak yang bermodal dengan yang tidak, tapi juga antara mereka yang sama-sama hanya mengandalkan tenaga. Ini hanya bisa terjadi bila mengaplikasikan prinsip bagi hasil yang perolehan tiap pihak lebih mudah menghitungnya. Keterbatasan lahan, terutama di Jawa, telah menimbulkan berbagai bentuk relasi kerja dan kuasa antara pemilik tanah dengan pekerja yang kaya dan variatif.

Pertanyaanya, apakah pola ini boleh? Disini sesungguhnya berlangsung dua pola yaitu pengupahan (yang pembayarannya ditunda), dan bagi hasil (yang nilainya bergantung hasil panen nanti). Jika digolongkan sebagai upah kerja, kita tahu ada hadits yang harus segera membayar sebelum “keringatnya kering”. Jadi, sebenarnya ini lebih tepat disebut apa? Tampaknya para ahli agama perlu mendudukkannya, sehingga tidak menjadi mudhorat bagi umat.

Tidak sebagaimana basi hasil, disini petani penceblok hanya menyediakan tenaga kerja. Upahnya adalah berupa natura dari panen, disebut bawon. Biasanya sepertujuh bagian dari panen, atau seperenam bagian, tergantung wilayah. Untuk aktivitas panen dibedakan antara “sistem ceblokan dengan “sistem keroyokan”. Pemanenan dengan sistem ceblokan adalah pemanenan padi yang dilakukan oleh tenaga pemanen dalam jumlah terbatas yang sebelumnya mereka ikut merawat tanaman padi termasuk menyiangi atau ikut menanam padi tanpa mendapat bayaran dari pemilik sawah. Tenaga pemanen (penderep) di luar penceblok tidak dibolehkan ikut memanen padi pada sawah tersebut. Secara teknis, panen dengan ceblokan lebih baik, karena tidak berebutan dan buru-buru dalam pekerjaannya. 

Disinilah uniknya Indonesia, Saya sebut dengan fenomena “kegembiraan panen”. Sudah menjadi tradisi di kita “merayakan” saat panen dengan banyak berbagi. Sudah menjadi kebiasaan, upah buruh panen seringkali lebih besar dibandingkan pekerjaan-pekerjaan lain untuk jam kerja yang sama, dan suguhan nya pun beda. Makan dan snack nya lebih “mewah”.

Bentuk kegembiraan yang lain adalah membagi hasil panen kepada banyak orang, termasuk “membayar” penceblok saat panen. Panen secara sengaja tidka sengaja bahkan dibagi pada orang yang tidak terlibat pada proses produksi, yakni untuk para “pengasak”. “Pengasak” adalah orang-orang, biasanya ibu-ibu berumur,  yang mengumpulkan butiran-butiran gabah dari tumpukan jerami sisa penggilingan batang padi. Sering tukang arit “menyisakan” agak banyak butir-butir gabah di sawah biar dipungut mereka.  Dan itu dianggap lumrah.

Membagikan kegembiraan seperti ini jelas sangat dianjurkan Islam. Sahabat Urwah bin Zubair adalah seorang yang dermawan. Beliau memiliki sebidang kebun yang luas di Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya yang lebat. Beliau memasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakan, namun tatkala buahnya telah masak dan siap panen dibukalah pintu-pintu  sebagai jalan masuk bagi siapa pun yang menghendakinya.

“Mengislamkan” Bagi Hasil  Pertanian Tradisional

Bagi hasil merupakan jantung perekonomian Islam. Bagi hasil juga merupakan produk unggulan bank syariah. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak masyarakat yang mengidentifikasikan bank syariah sebagai “bank bagi hasil”. Bagi hasil akan lebih menjamin keadilan antar pelakunya, dan keadilan merupakan hakekat perekonomian Islam. Namun, sebelum bank Islam ramai di Indonesi sekitar tahun 1990-an, praktek bagi hasil sudah sangat biasa di pertanian kita, namun tampaknya tidak berbasiskan ajaran Islam.

Secara umum, bagi hasil yang berlaku adalah pembagian hasil secara natura. Bagi hasil, yang dalam bahasa Belanda disebut deelbouw, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia (Scheltema, 1985). Bagi hasil di dunia pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua  unsur produksi (modal dan kerja) dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura.

Bagi hasil dahulu membagi hasil kotor (deelbouw). Pembagian dari hasil kotor mengandung rasa sosial dan kebersamaan, dan lebih adil karena penyakap dengan investasi kerja dan pemilik dengan investasi berupa tanah sama-sama mengandung resiko. Namun, jika pembagian berdasarkan hasil bersih (deelwinning), resiko penyakap menjadi lebih besar, khususnya dalam asumsi input produksi yang dibeli bernilai nol atau sangat rendah. Namun ketika nilai sarana produksi menjadi besar, ditemukan berbagai pola bagi hasil. Ada sarana produksi yang ditanggung bersama, atau hanya ditanggung oleh si penyakap seluruhnya.

Untuk bagi hasil pada usaha pertanian padi sawah, umumnya pembagian dilakukan terhadap hasil kotor, meskipun spirit landreform menginginkan yang dibagi adalah hasil bersih yang lebih adil. Untuk perhitungan dari hasil bersih yakni setelah biaya-biaya dikeluarkan sesuai dengan sumbangannya, jika hasil panen anjlok, maka kedua belah pihak masih tetap sama-sama memperoleh bagian meskipun kecil.

Namun jika pembagian dari hasil kotor, penyakap bisa memiliki resiko yang lebih besar. Jika panen sedikit, maka bisa bisa saja itu sudah habis untuk membayar sarana produksi, sehingga penggarap tidak memperoleh apapun, bahkan bisa minus. Bagi hasil kotor akan menzalimi penggarap ketika hasil panen anjlok, karena ia sudah mengeluarkan biaya untuk beli benih, pupuk, dan biaya olah tanah; namun hasilnya masih berbagi dengan pemilik yang lebih parahnya jika tidak mengeluarkan biaya apapun.

Praktek di Indonesia, pada usahatani padi misalnya, adakalanya input produksi ditanggung sendiri oleh pemilik atau ditanggung bersama dengan penggarap. Demikian pula dalam keterlibatan pengelolaan, adakalanya pemilik tanah terlibat atau tidak sama sekali.

Penerapan bagi hasil pertanian lahir secara alamiah, dan dapat ditemukan dalam berbagai corak ideologi ekonomi, baik feodalis, sosialis, bahkan kapitalis. Di Indonesia, bagi hasil sudah dikenal pada usaha-usaha pertanian semenjak dahulu mulai dari Aceh, Bali, sampai Ternate, Toraja dan Gorontalo.

Meskipun demikian, bagi hasil yang berjalan pada masyarakat kita memiliki beberapa karakteristik yang perlu dicermati, kuatir tidak sejalan dengan Islam. Sebaliknya, penerapan bagi hasil yang diusung oleh bank syariah belum tentu sejalan dengan kebiasaan yang sudah mengakar di tengah masyarakat. Meskipun nilai-nilai dan motif yang menjadi landasannya sama, namun ada banyak variasi dalam prakteknya yang mungkin sangat berbeda. Perlu kreatifitas untuk menciptakan pola-pola baru dengan mengadaptasi bentuk-bentuk yang sudah ada selama ini.

Penerapan bagi hasil di masyarakat pedesaan khususnya ada pada strata bawah. Secara umum, penerapannya dilandasi semangat sosial, masih terbatas pada bentuk ekonomi subsistensi. Satu ciri yang khas, sistem ini  mentolerir ketidakjujuran pada batas-batas tertentu, dan pengawasan berlangsung melalui relasi sosial yang bersifat intim. Di perbankan syariah sangat beda. Bagi hasil utamanya pada padi sawah dan pemeliharaan ternak, merupakan hal yang sudah mentradisi dan dikonstruk secara alamiah. Ini berlangsung pada strata bawah, dijalankan oleh pemilik lahan, buruh tani, buruh ceblokan, tukang arit, buruh pacul, dan mbok-mbok buruh tandur. Ciri lain adalah tidak formal dan tidak tercatat. Ada toleransi terhadap ketidakjujuran dalam batas-batas tertentu. Pemilik tanah tahu bahwa penyakap adakalanya tidak melaporkan hasil panen sesungguhnya, terutama bila panen kurang baik. Ini dianggap korbanan dari sistem pengawasan yang “murah” tersebut. Prinsipnya memang untuk ”saling menghidupi”.

Kadar kerjasama mungkin lebih kental motivasi sosialnya dibanding ekonomi. Sering ditemukan seseorang memberikan sawahnya untuk digarap orang lain lebih karena merasa ”kasihan”. Motivasinya untuk berbagi, saling menghidupkan, saling tolong. Pengawasan dilakukan secara halus dan tersembunyi. Pemilik lahan mengawasi usaha secara halus dalam hubungan yang intim berformat hubungan patron-klien. Kepercayaan (trust) merupakan modal unik yang dibangun melalui hubungan yang cukup lama. Biasanya tidak ada surat perjanjian, dan sangat personal.

Jika dikembalikan kepada tuntunan bagi hasil dalam Islam, kelompok produk yang menerapkan prinsip bagi hasil yang sudah dikenal luas adalah Musyarakah dan Mudharabah. Keduanya dibedakan berdasarkan sumber dana dan keterlibatan pemilik dana dalam pengelolaan usaha. Dalam musyarakah kedua belah pihak memadukan seluruh sumberdaya, baik materil dan non materil, yaitu dana tunai, barang perdagangan, kewirausahaan, skill, dan peralatan. 

Pemilik modal berhak ikut serta menentukan kebijakan pengelolaan usaha. Sementara dalam mudharabah, sumber modal hanya dari pemilik modal (shahibul maal). Ia tidak terlibat dalam manajemen, karena telah mempercayakan sepenuhnya kepada pengelola (mudharib)Mudharabah juga dikenal dalam penghimpunan dana, dimana penabung berposisi sebagai pemilik modal dan bank sebagai pengelolanya.

Bagi hasil juga ditemukan pada usaha peternakan dan perikanan tangkap laut. Bagi hasil umumnya lahir pada usaha yang hasilnya kurang dapat dipastikan dan memiliki resiko yang besar. Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 2 tahun 1960 dan UU No. 16 tahun 1964 tentang Perjanjian Bagi Hasil untuk usaha pertanian dan perikanan, namun implementasinya sangat lemah. Bagi hasil yang eksis sampai saat ini tidak berpedoman kepada aturan ini.

Bagi usaha juga ditemui pada usaha peternakan. Selain untuk dikembangbiakkan, adalah hal yang umum ternak hanya “dititipkan” sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Sebagai imbalan dalam pemeliharaannya, maka induk dapat diperkerjakan oleh si pemelihara untuk membajak di sawah orang lain dengan mendapat upah.

Bagaimanapun ragamnya, namun kerjasama bagi hasil selalu didahului oleh perjanjian (akad) bagi hasil yang tegas dan jangka waktu tertentu. Inilah benang tipis yang “diperjuangkan” dalam perbankan Islam, yang membedakannya dengan ideologi ekonomi lain. Kenyataannya, bagi hasil juga membuka peluang terjadinya perilaku eksploitatif oleh pemilik modal. Hal ini lumrah ditemukan dalam usaha perikanan tangkap. Para buruh nelayan yang teralienasi terhadap “ekosistem daratan”, memudahkan pemilik (juragan darat) mengeruk bagian secara lebih besar dengan tidak menginformasikan secara benar tentang harga es, garam, dan  bahan bakar yang menjadi modal kerja, serta harga ikan perolehan.

Bapak Ibu, ada banyak tantangan untuk penerapan bagi hasil ke depan. Kerjasama ekonomi dengan menerapkan bagi hasil merupakan produk yang fitrah alamiah yang akan selalu eksis. Bagi hasil akan tetap eksis selama menumpuknya pemilikan modal pada sekelompok orang dihadapkan dengan barisan manusia yang hanya mengandalkan tenaga dan ketrampilannya. Bagi perbankan syariah, ada kendala antara kultur perbankan yang menuntut pengelolaan secara modern dan kepastian manajemen, dihadapkan kepada penerapan bagi hasil pada masyarakat kita yang cenderung mengandalkan hubungan-hubungan atas solidaritas tradisional dan terkesan fleksibel.

UU No 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian  relatif pendek, hanya terdiri atas 17 Pasal dengan tujuan agar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan agar terjamin pula kedudukan hukum yanglayak bagi para penggarap.  Dalam UU ini, dinyatakan “Perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada lain fihak - yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap" - berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah fihak.” Beberapa persyaratan yang pentingmisalnya semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat secara tertulis dihadapkan Kepala Desa perlu pengesahan Camat, dan diumumkan di desa. Lama perjanjian untuk sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan bagi tanah-kering sekurang-kurangnya lima tahun. Ini untuk memberi kepastian usaha kepada penggarap.

Tentang besaran bagi hasil, Pasal 7 menyatakan bahwa ini ditetapkan di tiap kabupaten/kota oleh kepala daerah dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. Ada pula beberapa larangan, misalnya memberi uang atau benda apapun kepada pemilik sebagai sogokan, memberi ke penggarap dengan niat ijon. Pedoman pembagian yang berlaku untuk padi di sawah dengan perbandingan 1:1 (satu banding satu). Sedangkan untuk tanaman palawija di sawah serta tanaman di tanah kering, penggarap mendapatkan 2/3 bagian sedangkan pemilik mendapatkan 1/3 bagian. Lalu, jika terjadi gagal panen, maka resiko ditanggung bersama. Artinya, pembagian hasil atau kerugiannya juga ditanggung bersama.

Bersamaan dengan UU bagi hasil pertanian, ada pasangannya di perikanan yakni UU Pokok Bagi Hasil Perikanan (UUPBH Perikanan) nomor 16 tahun 1964. UU ini sangat bagus demi membela buruh nelayan yang konon sering diperas juragan pemilik perahu. Nasibnya setali tiga uang, sama-sama tidak diterapkan.

Terlepas dari ini semua, di luar soal besaran bagian, mereka yang sungguh-sungguh bekerja, yakni petani penyakap atau penggarap, tetap lah lebih utama. Ia lah yang bekerja sesungguhnya yang menggarap lahan dari Allah. Sedikt atau banyaknya hasil, atau berapa besar keberkahan dari Allah untuk kebunnya tersebut, bergantung pada kesolehannya. Maaf, bukan dari kesolehan si pemilik. Kira-kira begitu.

Ini ada kisah yang mendukungnya.  Diceritakan ada seorang sedang berjalan di sebuah padang yang luas tak berair  dan sunyi, tiba-tiba dia mendengar suara dari awan:Siramilah kebun si fulan!”. Maka awan itu menepi (menjauh) lalu menumpahkankan airnya di tanah dengan bebatuan hitam. Ternyata ada saluran air yang telah dipenuhi dengan air di situ, dan lalu ia menelusuri (mengikuti) jalannya air tersebut.  Ternyata ada seorang laki-laki yang sedang berada di kebunnya yang sedang mengalirkan air dengan cangkulnya. Kemudian dia bertanya, Wahai hamba Alloh, siapakah nama anda?”Dia menjawab, dan namanya persis seperti yang didengarnya tadi di awan. Kemudian orang itu balik bertanya, Mengapa anda menanyakan namaku?”.Dia menjawab, Saya mendengar suara dari awan yang ini adalah airnya, mengatakan siramilah kebun si Fulan,  yaitu nama anda. Maka apakah yang telah anda kerjakan?

Si petani menjawab, saya membagi apa yang dihasilkan oleh kebun ini yakni sepertiganya saya sedekahkan, sepertiganya lagi saya makan bersama keluarga, dan sepertiganya lagi saya kembalikan lagi ke kebun (untuk ditanam kembali). Dalam riwayat lain disebutkan:“Dan aku jadikan sepertiganya untuk orang-orang miskin dan peminta-minta serta ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan).”Point pelajaran dari kisah ini adalah betapa sikap berbagi hasil kebun merupakan amal yang mengundang pertolongan Allah.

Demikianlah, wallahu ’alam.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar