(Draf Buku “BERTANI
DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri
Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam. Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)
Dibandingkan dengan penyewaan
lahan, Saya kira kerjasama usaha pertanian dengan bagi hasil ini (muzara’ah) lebih baik dan lebih
disarankan. Banyak hadits yang menguatkannya. Lagi pula, dalam Ekonomi Islam
”bagi hasil” merupakan salah satu produk yang sangat umum dalam pembiayaan.
Bahkan kalangan awam menyebut bahwa Ekonomi Islam adalah ”Ekonomi Bagi Hasil”.
Menggarap tanah adalah
termasuk jenis kerjasama yang diperbolehkan oleh ajaran islam dan banyak
dijumpai di masyarakat luas saat ini. Pola ini insyaAllah bermanfaat yang bagi
kedua pihak, sama-sama untung. Dalam dunia
sosial ekonomi pertanian dikenal “hubungan penyakapan” (tenancy relation) yang memiliki pengertian yang luas,
mencakup berbagai bentuk hubungan sementara yang terjadi akibat penguasaan
tanah oleh pengelola yang bukan pemilik. Hubungan penyakapan diagi dua yakni
sewa dan bagi hasil. Ya, makna ”tenancy
relation” tampaknya berimpit persis dengan makna ”muzara’ah”
yakni segala bentuk kerjasama penggarapan tanah orang lain; mencakup sewa dan
bagi hasil.
Sebagai
tambahan, menggadai lahan sebenarnya tidak masuk ke dalam konsep muzara’ah, karena dalam menggadai lahan hanya jaminan. Namun, Bapa Ibu sekalian, praktek di
masyarakat kita saat ini, sebagaimana Saya amati sebagai peneliti; menggadai
lahan akhirnya menjadi cara untuk mendapatkan lahan juga. Ini
menjadi tenancy relation
padahal sebenarnya tidak masuk dalam makna ”muzara’ah”.
Pengertian dan ragam muzara’ah (bagi hasil)
Walaupun muzara’ah semestinya
mencakup sewa dan bagi hasil, namun banyak hadits, entah mungkin karena
penerjemahannya; semakin mengerucut bahwa muzara’ah untuk “bagi hasil”, sedangkan
penyewaan tanah memakai istilah ijarah
atau kira’. Maka, “muzara’ah” di sini dibatasi sebagai
kerjasama penggarapan lahan dimana seseorang memberikan tanahnya kepada orang
lain untuk ditanami, yang hasilnya nanti dibagi. Secara bahasa, “muzara’ah” berarti muamalah atas tanah dengan pembagian yang
dihasilkannya.
Hasil
penelusuran dari berbagai bacaan, Saya
temukan beberapa varian pola bagi hasil sebagai berikut:
Satu, pola musaqat. Dalam pola
ini buruh diserahkan memelihara sebidang lahan yang sudah ada tanamannya
misalnya kurma, lalu nanti memperoleh upah dari bagian hasilnya. Artinya, saat
buruh itu datang tanamannya sudah besar, mungkin sudah berbuah atau belum. Ini banyak berlaku untuk tanaman perkebunan.
Tampaknya ini yang diterapkan Rasul kepada petani penduduk Khaibar.
Pengertian musaqat sendiri adalah
seseorang memberikan pohon kepada orang yang akan mengairi dan memelihara
dengan upah tertentu dari buahnya. Ini berbeda karena dibayar harian.
Lebih kurang, varian yang kita temukan di Indonesia seperti “bawon” pada padi,
yang punya kewajiban menanam dan memanen, namun yang memelihara (mengairi,
menyemprot) adalah si pemilik. Petani bawon nanti memperoleh gaji saat panen,
bisanya 1/6 atau 1/7 bagian dari panen kotor.
Musaqat diperbolehkan dengan dalil
kerjasama Rasul dan para khulafaur
rasyidin sepeninggal beliau. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar
bahwa Rosululloh SAW menyuruh penduduk Khaibar menggarap tanah Khaibar dengan
bagian setengah dari tanaman atau buah yang dihasilkan lahan tersebut. Akad
yang sama juga dilakukan oleh Abu Bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Utsman bin
Affan RA, dan Ali bin Abu Thalib RA.
Dua, Benih dari pemilik. Beberapa
hadits menyebutkan bahwa pemilik harus menyediakan benih. Makna dari kewajiban
ini bisa dikembalikan kepada konsep dasar “pemilikan” tanah, bahwa sesungguhnya
seseorang petani tidak benar-benar memiliki secara mutlak tanah apapun, dia
hanya berhak pada pemanfaatannya. Dengan masih memberikan benih, maka
setidaknya masah ada “ikatan” nya pada kewajiban pemanfaatan tersebut. Jika
pemilik sudah tidak memberikan apa-apa, kesannya bahwa tanah dimilki secara
penuh.
Imam Bukhari
menceritakan dalam kitab Sahihnya, bahwa Umar bin Khattab RA mempraktekkan ini,
dimana bibit disediakan Umar sebagai pemiliki dan dia mendapat lebih dari
separuh hasil. Namun, jika bibit dari petani, maka mereka dapat lebih dari
separuh juga.
Bagaimana pola
bagi hasil yang benar? Saya belum dapat referensi yang bagus tentang ini.
Namun, praktek bagi hasil oleh Rasulullah dan Khalifah bagian petani penyakap
tidak kurang dari separuh, sebagaimana dilakukan kepada petani Yahudi Khaibar.
Tidak layak kalau bagian pemilik tanah lebih tinggi daripada bagian penyakap.
Tiga,Benih dari petani penyakap. Berkenaan
dengan cerita pada petani Khaibar yang berlangsung sampai Rasul meninggal
dunia, salah satu hadits menyebutkan
petani yang menangung biaya dan bibit, bukan dari Nabi. Artinya, bibit boleh
dari pihak petani atau pemilik, atau boleh juga dari kedua belah pihak.
Ini yang
banyak dipraktekkan di Indonesia, biasanya pemilik dapat 1/3 dari hasil kotor.
Penggarap yang telah mengeluarkan benih,
pupuk, dan biaya olah tanah; mendapat 2/3. , Tampaknya ini tidak ada di era
Rasul. Nah, satu yang menarik, setelah Saya coba uji, rupanya bagian pemilik
lebih kurang sama walau ia mengeluarkan benih dan pupuk dengan pola “bagi dua”.
Rupanya masyarakat petani tersebut telah berhitung dengan sangat baik, sehingga
walau berbeda cara, bagian kewajiban dan haknya menjadi mirip. Perbedaan pola
bagi dimungkinkan berbeda karena kesuburan lahannya, dan utamanya adalah rasio
lahan terhadap petani. Semakin banyak petani tak berlahan, bagian petani
penyakap ditekan sampai sekecil-kecilnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, dari
pada tidak punya garapan; penyakap tetap menerimanya. Meskipun kita sudah punya
Undang-Undang No 2 tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil Pertanian.
Prioritas Kerjasama Penyakapan Lahan
Dalam hal relasi
keagrariaan ini, dimana banyak pola yang mungkin, jika kita sederhanakan maka logical frame nya lebih kurang sebagai
berikut:
Pilihan pertama, Garaplah sendiri.
Pilihan
yang utama adalah lahan diolah sendiri oleh pemiliknya. Jika tidak sanggup,
maka lahan tidak boleh dianggurkan atau diberakan belaka. Maka, jika pemilik
tidak sanggup, entah karena tidak ada waktu (punya profesi lain) atau ketiadaan
biaya, lahan boleh dikerjasamakan dengan petani lain. Hadits Rasulullah bahwa
memberikan tanah kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak tertentu.
Pilihan kedua: Lahan
“dipinjamkan” ke orang lain, tanpa memungut apapun.
Ini banyak haditsnya.
Jika pun pemilik membantu dengan alat, bibit, atau meminjamkan hewan untuk
mengolah tanah, sedang dia samasekali tidak mengambil hasilnya kecuali berharap
pahala dari Allah SWT; merupakan shadaqah
jariah yang sangat baik. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Barangsiapa memiliki tanah,
maka tanamilah atau berikan kepada kawannya”. Dalam riwayat lain, Rasul
menyatakan: “Barangsiapa memiliki tanah,
maka tanamilah sendiri atau suruhlah saudaranya untuk menanaminya, kalau tidak,
tinggalkanlah”. Jadi, meminjamkan lahan begitu saja tanpa meminta imbalan
jauh lebih dianjurkan.
Pilihan ketiga: Muzara’ah (bagi hasil), atau
sering disebut juga musaqat atau mukhabarah.
Si pemilik tanah
menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu
ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya ½ atau 1/3
atau dengan pola yang lain asalkan sepakat.
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Jabir bin
Abdullah diterangkan, bahwa Rasulullah SAW menyewakan tanah kepada penduduk
Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya untuk pemilik tanah. Pola muzara’ah
dipraktekkan Rasul, para Kahlifah sesudahnya, dan bahkan dilanjutkan pula oleh
isteri-isteri Nabi sepeninggal beliau.
Sebenarnya ada
pilihan keempat, yakni muzaarah namun petani “lepas tangan”. Sepanjang bacaan
yang saya temukan, pola ini tidak ada dalilnya. Padahal pola ini sangat banyak
diterapkan di Indonesia, biasanya pemilik mendapat 1/3 dari hasil panen
kotor.
Dasar hukum muzara’ah sangat kuat, karena selain
secara logika keislaman sangat sesuai, juga sudah biasa dipraktekkan di zaman
Rasul. Tidak sebagaimana penyewaan lahan yang dalam kondisi tertentu dilarang,
pada muzara’ah ini Rasul membolehkan.
Pada dasarnya, muzara’ah ini merupakan kerjasama yang
saling menguntungkan, dalam kondisi banyak petani yang ahli dan butuh lahan,
sementara banyak juga pemilik yang kebetulan tidak mampu menanaminya. Muzara’ah menjadi solusi jalan tengah
bagi keduanya. Ini dipraktekkan di era Rasul di Madinah dan banyak kaum
muhajirin, dilanjutkan khulafaur rasyidin dan sampai ke Umar bin Abdul Aziz
yang hidup di masa berikutnya memiliki pemasukan dari bagi hasil.
Bentuk Muzara’ah yang Terlarang
Hadits yang
melarang muzaarah agak jarang dan konon katanya lemah. Dan kalau dicermati,
pelarangan tersebut lebih kepada karena adanya bagian yang tidak diketahui atau
tidak jelas dalam perjanjian yang dibuat antar kedua pihak. Jadi, muzaarah
dilarang jika ada unsur gharar. Apakah gharar?
Gharar atau taghrir adalah
istilah hukum yang berarti keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk
merugikan orang lain. Garar terjadi bisa karena akad yang mengandung unsur
penipuan karena dibuat longgar atau mengambang, baik mengenai ada atau tidaknya
objek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan objek yang
disebutkan di dalam akad tersebut. Maka, gharar
merupakan akad yang dilarang dalam Islam. Gharar juga bisa terjadi dengan mengubah sesuatu yangbersifat certain
menjadi uncertain.
Gharar juga
bermakna pertaruhan. Al-harar adalah al-mukhatarah (pertaruhan)
dan al-jahalah (ketidakjelasasan) sehingga termasuk ke dalam
perjudian. Maka, dalam jual beli bisa terdapat gharar. Yakni ketika transaksinya mengandung ketidakjelasan,
pertaruhan, atau perjudian; misalnya karena menjual buah yang masih di pohon,
atau ikan yang masih di dalam air.
Ada berbagai alasan
mengapa muzaara’ah dilarang. Rasul
pernah melarang muzara’ah setelah
sebelumnya diperbolehkan. Dalilnya berasal hadits yang menceritakan bahwa telah
datang kepada Rasulullah dua orang yang berselisih tentang muzara’ah, sehingga
bahkan sudah sampai pada sikap untuk saling membunuh. Menghadapi konflik ini,
Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang terjadi maka sebaiknya
mereka tidak melakukan muzara’ah.
Ceritanya bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar tentang masalah tanah,
kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka jawab Nabi:
“Kalau ini persoalanmu, maka janganlah
kamu menyewakan tanah”.
Dan pendapat yang
mengatakan bahwa hukum muzara’ah ini
termasuk akad yang terlarang telah dibantah oleh Zaid bin Tsabit dengan
mengatakan bahwa ia lebih mengetahui tentang hadits Rasulullah dari pada Rafi’
bin Khudaij. Lebih lanjutnya dia menjelaskan bahwa banyak sahabat Nabi yang
melakukan muzara’ah. Dengan adanya
bantahan dari Zaid ini, maka telah jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzara’ah.
Ibnu Abbas RA
meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah SAW tentang muzara’ah dalam hal ini bersifat kasuistik, di mana beliau
memandang bahwa orang tersebut kurang tepat dalam melakukan akad muzara’ah, sehingga larangan itu bukan
berarti melarang hukum muzara’ah
secara hukum, melainkan arahan beliau kepada orang seseorang tertentu untuk
menggunakan sistem lain yang lebih tepat.
Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila
bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 100 are yang
disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh
di area 40 are tertentu (mungkin karena lebih subur),
sedangkan penggarap berhak atas area 60 are yang lain yang kurang
subur.
Cara membagi yang
benar adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil
sesuai prosentase. Sedangkan bentuk yang kedua dan terlarang itu, sejak awal
lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 40 are dan 60 are;
si buruh tani berkewajiban untuk menanami
kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 60 are
itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi (yang
40 are) menjadi hak pemilik lahan.
Cara seperti ini
adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada
pada masalah gharar. Sebab boleh jadi
salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 40 are itu gagal, maka pemilik lahan akan
dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 60 are yang gagal,
maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen
keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai
dengan perjanjian prosentase.
Jangan sampai pas
panen, hanya pemilik yang dapat, atau hanya penyakap yang dapat hasil. Oleh
karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil
tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu
banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya
sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali
tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian.
Di
zaman sebelum Rasul, pemilik biasa
menyewakan tanah yang dekat sumber air dan yang dekat dengan parit-parit
dibedakan dengan yang jauh dair air. Ini yang dilarang. Penyakapan harus
dilakukan untuk seluruh lahan. Tidak bisa dibeda-bedakan. Rasul melarang
membeda-bedakan muzara’ah pada petak lahan berbeda dalam satu
lahan. “ …. kadang-kadang
si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan
kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat,
oleh karenanya kami dilarang” (HR Bukhari). Intinya, Nabi sangat
berkeinginan untuk mewujudkan keadilan secara merata dalam masyarakatnya, serta
menjauhkan semua hal yang menyebabkan sumber konflik di kalangan masyarakat
Islam.
Praktek
bagi hasil di masyarakat kita: ceblokan vs Bagi Hasil
Pada pertanian sawah di Jawa
dikenal “ceblokan”, yang merupakan bentuk kerjasama antara pemilik
tanah dengan buruh tak bertanah. Ini tergolong sebagai ”bagi
usaha”. Sistem ”ceblokan” atau “kedokan”
sesungguhnya adalah upah menanam, menyiang dan memanen yang dibayar secara
natura saat panen dengan nisbah tertentu yang disebut bawon. Hanya ditemukan
pada usaha padi sawah. Satu ha di sawah kadang dibagi untuk 3
sampai 10 penceblok. Biasanya penceblok terdiri
dari keluarga (suami isteri)
Namun, saking terbatasnya lahan, kadang berlangsung
penyakapan berganda. Si penyakap (penceblok)
kadang-kadang menyakapkan lagi pekerjaan-pekerjaan tertentu kepada orang lain.
Ini bisa dimaknai sebagai sisa gejala involusi pertanian dahulu, atau bisa juga
sebagai bentuk baru involusi pertanian yang rupanya belum berakhir juga di
Indonesia.
Khusus untuk pekerjaan memanen, adakalanya petani yang
memperoleh hak bawon membaginya lagi dengan si pemanen yang
disebut penderep. Artinya, pada satu petak sawah telah terjadi tiga
tingkat penyakapan yang menerapkan bagi hasil dan bagi usaha yang melibatkan
empat pihak sekaligus. Keempat pihak tersebut adalah pemilik sawah, penyakap,
petani yang melakukan kedokan, dan penderep. Tampak
bahwa konsep bagi hasil telah dikembangkan sedemikian kompleksnya, yang mungkin
belum terpikirkan dalam produk-produk bank syariah. Kerjasama tak lagi hanya
antar pihak yang bermodal dengan yang tidak, tapi juga antara mereka yang
sama-sama hanya mengandalkan tenaga. Ini hanya bisa terjadi bila mengaplikasikan
prinsip bagi hasil yang perolehan tiap pihak lebih mudah menghitungnya. Keterbatasan lahan, terutama
di Jawa, telah menimbulkan berbagai bentuk relasi kerja dan kuasa
antara pemilik tanah dengan pekerja yang kaya dan variatif.
Pertanyaanya, apakah
pola ini boleh? Disini sesungguhnya berlangsung dua pola yaitu pengupahan (yang
pembayarannya ditunda), dan bagi hasil (yang nilainya bergantung hasil panen
nanti). Jika digolongkan sebagai upah kerja, kita tahu ada hadits yang harus
segera membayar sebelum “keringatnya kering”. Jadi, sebenarnya ini lebih tepat
disebut apa? Tampaknya para ahli agama perlu mendudukkannya, sehingga tidak
menjadi mudhorat
bagi umat.
Tidak sebagaimana basi hasil,
disini petani
penceblok hanya menyediakan tenaga kerja. Upahnya adalah berupa natura dari
panen, disebut bawon. Biasanya sepertujuh bagian dari panen, atau
seperenam bagian, tergantung wilayah. Untuk aktivitas panen dibedakan antara “sistem ceblokan” dengan “sistem keroyokan”.
Pemanenan dengan sistem ceblokan adalah pemanenan padi yang
dilakukan oleh tenaga pemanen dalam jumlah terbatas yang sebelumnya mereka ikut
merawat tanaman padi termasuk menyiangi atau ikut menanam padi tanpa mendapat
bayaran dari pemilik sawah. Tenaga pemanen (penderep) di luar penceblok tidak
dibolehkan ikut memanen padi pada sawah tersebut. Secara teknis, panen
dengan ceblokan lebih baik, karena tidak berebutan dan
buru-buru dalam pekerjaannya.
Disinilah
uniknya Indonesia, Saya sebut dengan fenomena “kegembiraan panen”. Sudah
menjadi tradisi di kita “merayakan” saat panen dengan banyak berbagi. Sudah
menjadi kebiasaan, upah buruh panen seringkali lebih besar dibandingkan
pekerjaan-pekerjaan lain untuk jam kerja yang sama, dan suguhan nya pun beda.
Makan dan snack nya lebih “mewah”.
Bentuk kegembiraan yang lain adalah membagi hasil
panen kepada banyak orang, termasuk “membayar” penceblok saat panen. Panen
secara sengaja tidka sengaja bahkan dibagi pada orang yang tidak terlibat pada
proses produksi, yakni untuk para “pengasak”. “Pengasak” adalah orang-orang,
biasanya ibu-ibu berumur, yang mengumpulkan
butiran-butiran gabah dari tumpukan jerami sisa penggilingan
batang padi.
Sering tukang arit “menyisakan” agak banyak butir-butir gabah di sawah biar
dipungut mereka. Dan itu dianggap lumrah.
Membagikan
kegembiraan seperti ini jelas sangat dianjurkan Islam. Sahabat Urwah bin Zubair adalah seorang yang dermawan. Beliau memiliki sebidang kebun yang luas di Madinah dengan
air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya yang lebat.
Beliau memasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakan, namun tatkala buahnya telah masak dan siap panen dibukalah pintu-pintu sebagai jalan masuk bagi siapa pun
yang menghendakinya.
“Mengislamkan”
Bagi Hasil
Pertanian Tradisional
Bagi hasil merupakan jantung perekonomian Islam. Bagi hasil juga merupakan produk unggulan bank
syariah. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak masyarakat yang
mengidentifikasikan bank syariah sebagai “bank bagi hasil”. Bagi hasil akan
lebih menjamin keadilan antar pelakunya, dan keadilan merupakan hakekat
perekonomian Islam. Namun, sebelum bank Islam ramai di Indonesi sekitar
tahun 1990-an, praktek bagi hasil sudah sangat biasa di pertanian kita, namun
tampaknya tidak berbasiskan ajaran Islam.
Secara umum, bagi hasil yang
berlaku adalah pembagian hasil secara natura. Bagi hasil, yang dalam bahasa
Belanda disebut deelbouw, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan
tanah di dunia (Scheltema, 1985). Bagi hasil di dunia pertanian merupakan suatu
bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua unsur
produksi (modal dan kerja) dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari
hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura.
Bagi hasil dahulu membagi hasil
kotor (deelbouw). Pembagian dari hasil kotor mengandung rasa sosial dan
kebersamaan, dan lebih adil karena penyakap dengan investasi kerja dan pemilik
dengan investasi berupa tanah sama-sama mengandung resiko. Namun, jika
pembagian berdasarkan hasil bersih (deelwinning), resiko penyakap
menjadi lebih besar, khususnya dalam asumsi input produksi yang dibeli bernilai
nol atau sangat rendah. Namun ketika nilai sarana produksi menjadi besar,
ditemukan berbagai pola bagi hasil. Ada sarana produksi yang ditanggung
bersama, atau hanya ditanggung oleh si penyakap seluruhnya.
Untuk bagi hasil pada usaha pertanian padi sawah, umumnya
pembagian dilakukan terhadap hasil kotor, meskipun spirit landreform menginginkan
yang dibagi adalah hasil bersih yang lebih adil. Untuk perhitungan dari hasil
bersih yakni setelah biaya-biaya dikeluarkan sesuai dengan sumbangannya, jika
hasil panen anjlok, maka kedua belah pihak masih tetap sama-sama memperoleh bagian
meskipun kecil.
Namun jika pembagian dari hasil kotor, penyakap bisa
memiliki resiko yang lebih besar. Jika panen sedikit, maka bisa bisa saja itu
sudah habis untuk membayar sarana produksi, sehingga penggarap tidak memperoleh
apapun, bahkan bisa minus. Bagi hasil kotor
akan menzalimi penggarap ketika hasil panen anjlok, karena ia sudah
mengeluarkan biaya untuk beli benih, pupuk, dan biaya olah tanah; namun
hasilnya masih berbagi dengan pemilik yang lebih parahnya jika tidak
mengeluarkan biaya apapun.
Praktek di Indonesia, pada
usahatani padi misalnya, adakalanya input produksi ditanggung sendiri oleh
pemilik atau ditanggung bersama dengan penggarap. Demikian pula dalam
keterlibatan pengelolaan, adakalanya pemilik tanah terlibat atau tidak sama
sekali.
Penerapan bagi hasil pertanian
lahir secara alamiah, dan dapat ditemukan dalam berbagai corak ideologi
ekonomi, baik feodalis, sosialis, bahkan kapitalis. Di Indonesia, bagi hasil
sudah dikenal pada usaha-usaha pertanian semenjak dahulu mulai dari Aceh, Bali,
sampai Ternate, Toraja dan Gorontalo.
Meskipun demikian, bagi hasil
yang berjalan pada masyarakat kita memiliki beberapa karakteristik yang perlu
dicermati, kuatir tidak sejalan dengan Islam. Sebaliknya, penerapan bagi hasil
yang diusung oleh bank syariah belum tentu sejalan dengan kebiasaan yang sudah
mengakar di tengah masyarakat. Meskipun nilai-nilai dan motif yang menjadi
landasannya sama, namun ada banyak variasi dalam prakteknya yang mungkin sangat
berbeda. Perlu kreatifitas untuk menciptakan pola-pola baru dengan mengadaptasi
bentuk-bentuk yang sudah ada selama ini.
Penerapan bagi hasil di
masyarakat pedesaan khususnya ada pada strata bawah. Secara umum, penerapannya
dilandasi semangat sosial, masih terbatas pada bentuk ekonomi subsistensi. Satu
ciri yang khas, sistem ini mentolerir
ketidakjujuran pada batas-batas tertentu, dan pengawasan berlangsung melalui
relasi sosial yang bersifat intim. Di perbankan syariah sangat beda. Bagi hasil utamanya pada padi sawah dan pemeliharaan
ternak, merupakan hal yang sudah mentradisi dan dikonstruk secara alamiah. Ini
berlangsung pada strata bawah, dijalankan oleh pemilik lahan, buruh tani,
buruh ceblokan, tukang arit, buruh pacul, dan mbok-mbok buruh
tandur. Ciri lain adalah tidak formal dan tidak tercatat. Ada toleransi terhadap ketidakjujuran dalam
batas-batas tertentu. Pemilik tanah tahu bahwa penyakap adakalanya tidak
melaporkan hasil panen sesungguhnya, terutama bila panen kurang baik. Ini
dianggap korbanan dari sistem pengawasan yang “murah” tersebut. Prinsipnya
memang untuk ”saling menghidupi”.
Kadar kerjasama mungkin lebih kental motivasi sosialnya dibanding ekonomi.
Sering ditemukan seseorang memberikan sawahnya untuk digarap orang lain lebih
karena merasa ”kasihan”. Motivasinya untuk berbagi, saling menghidupkan, saling
tolong. Pengawasan dilakukan secara halus dan tersembunyi. Pemilik lahan
mengawasi usaha secara halus dalam hubungan yang intim berformat hubungan
patron-klien. Kepercayaan (trust) merupakan modal unik yang
dibangun melalui hubungan yang cukup lama. Biasanya tidak ada surat perjanjian,
dan sangat personal.
Jika dikembalikan kepada
tuntunan bagi hasil dalam Islam, kelompok produk yang menerapkan prinsip bagi
hasil yang sudah dikenal luas adalah Musyarakah dan Mudharabah.
Keduanya dibedakan berdasarkan sumber dana dan keterlibatan pemilik dana dalam
pengelolaan usaha. Dalam musyarakah kedua belah pihak
memadukan seluruh sumberdaya, baik materil dan non materil, yaitu dana tunai,
barang perdagangan, kewirausahaan, skill, dan peralatan.
Pemilik modal berhak ikut
serta menentukan kebijakan pengelolaan usaha. Sementara dalam mudharabah,
sumber modal hanya dari pemilik modal (shahibul maal). Ia
tidak terlibat dalam manajemen, karena telah mempercayakan sepenuhnya kepada
pengelola (mudharib). Mudharabah juga dikenal
dalam penghimpunan dana, dimana penabung berposisi sebagai pemilik modal dan
bank sebagai pengelolanya.
Bagi hasil juga ditemukan pada
usaha peternakan dan perikanan tangkap laut. Bagi hasil umumnya lahir pada
usaha yang hasilnya kurang dapat dipastikan dan memiliki resiko yang besar.
Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 2 tahun 1960 dan UU No. 16 tahun 1964
tentang Perjanjian Bagi Hasil untuk usaha pertanian dan perikanan, namun
implementasinya sangat lemah. Bagi hasil yang eksis sampai saat ini tidak
berpedoman kepada aturan ini.
Bagi usaha juga ditemui pada
usaha peternakan. Selain untuk dikembangbiakkan, adalah hal yang umum ternak
hanya “dititipkan” sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Sebagai
imbalan dalam pemeliharaannya, maka induk dapat diperkerjakan oleh si
pemelihara untuk membajak di sawah orang lain dengan mendapat upah.
Bagaimanapun ragamnya, namun
kerjasama bagi hasil selalu didahului oleh perjanjian (akad) bagi hasil yang
tegas dan jangka waktu tertentu. Inilah benang tipis yang “diperjuangkan” dalam
perbankan Islam, yang membedakannya dengan ideologi ekonomi lain. Kenyataannya,
bagi hasil juga membuka peluang terjadinya perilaku eksploitatif oleh pemilik
modal. Hal ini lumrah ditemukan dalam usaha perikanan tangkap. Para buruh
nelayan yang teralienasi terhadap “ekosistem daratan”, memudahkan pemilik
(juragan darat) mengeruk bagian secara lebih besar dengan tidak
menginformasikan secara benar tentang harga es, garam, dan bahan bakar
yang menjadi modal kerja, serta harga ikan perolehan.
Bapak Ibu, ada banyak tantangan untuk penerapan bagi hasil ke
depan. Kerjasama ekonomi dengan menerapkan bagi hasil merupakan produk yang
fitrah alamiah yang akan selalu eksis. Bagi hasil akan tetap eksis selama
menumpuknya pemilikan modal pada sekelompok orang dihadapkan dengan barisan
manusia yang hanya mengandalkan tenaga dan ketrampilannya. Bagi perbankan
syariah, ada kendala antara kultur perbankan yang menuntut pengelolaan secara
modern dan kepastian manajemen, dihadapkan kepada penerapan bagi hasil pada
masyarakat kita yang cenderung mengandalkan hubungan-hubungan atas solidaritas
tradisional dan terkesan fleksibel.
UU No 2 tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil Pertanian relatif
pendek, hanya terdiri
atas 17 Pasal dengan tujuan agar
pembagian hasil antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan
agar terjamin pula kedudukan hukum yanglayak bagi para penggarap. Dalam UU ini, dinyatakan “Perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian
dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan
seseorang atau badan hukum pada lain fihak - yang dalam undang-undang ini
disebut "penggarap" - berdasarkan perjanjian mana penggarap
diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas
tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah fihak.” Beberapa persyaratan yang penting, misalnya semua
perjanjian bagi-hasil harus dibuat secara tertulis dihadapkan Kepala Desa perlu
pengesahan Camat, dan diumumkan di desa. Lama perjanjian untuk sawah
sekurang-kurangnya tiga tahun dan bagi tanah-kering sekurang-kurangnya lima
tahun. Ini untuk memberi kepastian usaha kepada penggarap.
Tentang besaran bagi hasil, Pasal 7 menyatakan bahwa ini ditetapkan di tiap kabupaten/kota oleh kepala daerah
dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat
yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta
ketentuan-ketentuan adat setempat. Ada pula beberapa larangan, misalnya memberi uang atau benda apapun kepada pemilik sebagai
sogokan, memberi ke penggarap dengan niat ijon. Pedoman pembagian yang berlaku untuk padi di sawah dengan perbandingan 1:1 (satu banding
satu).
Sedangkan untuk tanaman palawija di sawah serta tanaman di tanah
kering, penggarap mendapatkan 2/3 bagian sedangkan pemilik mendapatkan 1/3
bagian. Lalu, jika terjadi gagal panen, maka resiko
ditanggung bersama. Artinya,
pembagian hasil atau kerugiannya juga ditanggung bersama.
Bersamaan dengan UU bagi hasil pertanian, ada pasangannya di
perikanan yakni UU Pokok Bagi Hasil Perikanan (UUPBH Perikanan) nomor 16 tahun
1964. UU ini sangat bagus demi membela buruh nelayan yang konon sering diperas
juragan pemilik perahu. Nasibnya setali tiga uang, sama-sama tidak diterapkan.
Terlepas dari ini semua, di luar
soal besaran bagian, mereka yang sungguh-sungguh bekerja, yakni petani penyakap
atau penggarap, tetap lah lebih utama. Ia lah yang bekerja sesungguhnya yang
menggarap lahan dari Allah. Sedikt atau banyaknya hasil, atau berapa besar
keberkahan dari Allah untuk kebunnya tersebut, bergantung pada kesolehannya.
Maaf, bukan dari kesolehan si pemilik. Kira-kira begitu.
Ini ada kisah yang
mendukungnya. Diceritakan ada seorang
sedang berjalan di sebuah padang yang luas tak berair dan sunyi,
tiba-tiba dia mendengar suara dari awan:“Siramilah kebun si fulan!”. Maka awan itu menepi (menjauh)
lalu menumpahkankan airnya di tanah dengan bebatuan hitam. Ternyata ada saluran
air yang telah dipenuhi dengan air di situ, dan lalu ia
menelusuri (mengikuti) jalannya air tersebut. Ternyata ada seorang
laki-laki yang sedang berada di kebunnya yang sedang mengalirkan air dengan
cangkulnya. Kemudian dia bertanya, “Wahai hamba Alloh, siapakah nama anda?”Dia menjawab, dan namanya persis seperti yang didengarnya
tadi di awan. Kemudian orang itu balik bertanya, “Mengapa anda menanyakan namaku?”.Dia menjawab, “Saya mendengar suara dari awan yang ini adalah
airnya, mengatakan siramilah kebun si Fulan, yaitu nama
anda. Maka apakah yang telah anda kerjakan?”
Si petani menjawab,
saya membagi apa yang dihasilkan oleh kebun ini yakni sepertiganya saya sedekahkan, sepertiganya lagi saya makan
bersama keluarga, dan sepertiganya lagi saya kembalikan lagi ke kebun
(untuk ditanam kembali). Dalam riwayat lain disebutkan:“Dan aku jadikan sepertiganya untuk orang-orang miskin dan
peminta-minta serta ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan).”Point pelajaran dari kisah ini adalah betapa
sikap berbagi hasil kebun merupakan amal yang mengundang pertolongan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar