(Draf Buku “BERTANI
DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri
Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam. Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)
Point
penting yang ingin diluruskan di soal gadai-menggadai ini
adalah
bahwa ini sesungguhnya urusan hutang piutang,
bukan
soal menguasai harta orang melalui hutang. Itu salah.
Barang
yang digadai adalah jaminan saja,
bukan
untuk dikangkangi suka-suka.
Kenapa ini penting?
Karena tampaknya, gadai-menggadai lahan di kita sudah agak melenceng. Petani
yang mendapat gadai boleh memanfaatkan itu lahan sampai-sampai nilai tambahnya
melebihi jumlah hutang itu sendiri. Sebutlah ada orang berhutang Rp 50 juta,
lalu lahan nya digadaikan 1 ha. Jika ditanami padi yang semusimnya bisa dapat
Rp 10 juta, maka dalam 3 tahun atau 6 musim, penerima gadai telah memperoleh
nilai tambah Rp 60 juta. Nah, jika pas panen di musim ke-6 tersebut si penggadai
membayar hutangnya (tanpa bunga), maka petani penerima gadai menerima Rp 110
juta. Jika dianalogkan dengan pinjaman di bank komersial, itu setara dengan
bunga 40 persen per tahun. Besar sekali.
Bagaimanapun
utang-piutang tidak dapat dihindari. Untuk mengimbangi ketidakpercayaan, maka
meminta jaminan berupa barang berharga dengan meminjamkan hartanya.
Menggadaikan tanah pertanian kepada orang lain dengan pembayaran sejumlah uang
sebagai gantinya, adalah metode yang sederhana, praktis, dan berbasiskan kekeluargaan.
Gadai
sesungguhnya menjadi opsi kerjasama berekonomian. Karena
pentingnya, pemerintah pun ikut memfasilitasi masalah gadai ini, sehingga
didirikanlah lembaga Perum Pegadaian untuk membantu masyarakat yang
ingin meminjam uang dengan cara gadai. Bagamana dengan gadai dalam pertanian, khususnya gadai sawah yang sering dilakukan oleh
para petani kita?
Islam mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang
yang menggadaikan, pemberi utang dan masyarakat. Penggadai mendapatkan
keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya, atau untuk modal usaha. Adapun
pihak pemberi utang akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya dan dia
pun mendapatkan keuntungan. Bila semua berniat baik dan dilandasi hukum Allah,
insyaAllah semua menjadi amal soleh. Secara makro, ini akan menggerakkan
ekonomi.
Namun, metode gadai
tidak selalu berakhir happy.
Ketiadaan ketegasan masa gadai, kadang menyulitkan si pemegang gadai misalnya
untuk melakukan investasi, sebutlah perbaikan saluran air dan pematang menjadi
lebih baik.
Semakin lama sering
penggadai (pemilik tanah) semakin sulit membayar, karena anjloknya pendapatan
semenjak lahan yang merupakan sumber ekonomi keluarga digasikan ke orang lain.
Sering terjadi akhirnya penggadai terpaksa melepas tanahnya dengan harga murah.
Penggadai sering kali
petani berlahan sempit yang butuh uang tunai mendesak, misalnya untuk biaya
pesta kawin, sakit, atau karena ada anggota keluarga meninggal. Jika mencari
pinjaman sulit, gadai terpaksa dipilih, padahal lahan tersebut satu-satunya
sumber pendapatan.
Unsur gadai (rahn) terdiri atas barang gadi (marhun), penggadai (rahin), dan pemegang gadaian (murtahin).
Makna Rhan (Gadai)
Gadai (rahn) adalah meminjam uang dalam batas
waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan. Jika telah sampai
pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman.
Benda gadai (marhun) harus diserahkan
kepada kreditor (murtahin), meskipun
pemilikan tidak pindah. Namun pengambil alihan tersebut tidak sederhana.
Makna “rahn” secara etimologi adalah
“tertahan” sebagaimana dalam ayat: “Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk
mempertanggung-jawabkan) atas apa yang telah diperbuatnya” (Al-Muddatstsir:
38). Makna lain adalah “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan para ahli
fiqh: “Haram bagai seseorang kencing
diair yang rahin, yaitu air yang tidak bergerak”. Sementara, makna gadai
menurut istilah ahli fiqh adalah “barang
yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”. Menurut istilah agama, “rhan” ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang
dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak
sanggup melunasi hutangnya.
Kata “rahinah” yang bermakna “tertahan” pada surat
Al-Muddatstsir ayat 38 bermakna hampir sama dengan yang pertama, karena yang
tertahan itu tetap ditempatnya. Menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil
dengan hak atau tidak. Dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan
ungkapan “Menjadikan harta benda sebagai
jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si
peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
Ar-rahn merupakan mashdar dari rahana-yarhanu-rahnan. Secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan
langgeng), juga berarti al-habs
(penahanan). Secara syar‘i, ar-rahn
(agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar
dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal
menunaikannya. Inilah beda gadai dengan hutang biasa, karena barang gadaian
bisa diuangkan jika hutang belum terbayarkan saat jatuh tempo. Diuangkan tentu
dengan menjualnya, baik kepada si pemegang gadai atau ke orang lain.
Gadai dalam arti akad, yaitu menjadikan barang
sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang
berutang tidak bisa membayar utangnya tersebut. Bahkan ada yang berpendapat
bahwa jika masanya tiba, si pemberi pinjaman berhak menjual barang tersebut
jika yang punya tanah belum sanggup membayar hutanya.
Gadai diawali urusan hutang piutang
biasa. Barang jaminan tidak wajib, sebagaimana tidak wajibnya penyerahan dhiman (jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah (penulisan perjanjian utang).
Nah, ar-rahn (gadaian) semata-mata
sebagai jaminan utang dengan barang yang memungkinkan pelunasan utang dengan
barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang
tidak mampu melunasinya. Jadi, barang gadaian yang awalnya sebagai pengikat
untuk menimbulkan kepercayaan berubah
menjadi jaminan apabila uang pinjaman tidak dikembalikan pada waktu nya.
Rahn ada ketika penulisan
perjanjian utang sulit untuk dilakukan, yakni saat dalam perjalanan. Sementara,
penulisan perjanjian utang tidak wajib dilakukan, tentu termasuk pula
penggantinya tersebut yakni ar-rahn.
Namun, dalam keadaan safar alu berhutang dan tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Ini bermakna
perintah.
Binatang
bisa menjadi barang gadaian. “Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai
imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang
yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang
digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk
memberikan makanan.”
(HR Al-Bukhari).
Rukun Menggadai
Rukun
menggadai terdiri atasempat,
yaitu ar-rahn (barang yang
digadaikan), al-marhun bih (utang), shighah (akad transaksi), dan pihak yang
bertransaksi yaitu rahin (orang yang
menggadaikan) dan murtahin (pemberi
utang), serta qadh (serah terima).
Para pihak tentu haruslah baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur).
Berkenaan
dengan pemeliharaan barang. Biaya pemeliharaan pada hakekatnya tanggung jawab rahin (orang yang menggadaikan). Namun,
jika murtahin memberikan perawatan,
Ia berhak atas manfaatnya, tentu secara proposional. Adapun bila barang
gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk
mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan
kepada barang gadai tersebut. Kata kunci yang perlu dicatat adalah “sesuai
bersarnya nafkah yang ia berikan”.
Barang yang
digadaikan harus ada pada saat perjanjian gadai dan barang tersebut merupakan
milik sepenuhnya dari pemberi gadai. Syarat benda yang dijadikan jaminan ialah
benda itu tidak rusak. Rasul bersabda: ”Setiap
barang yang bisa diperjualbelikan boleh dijadikan jaminan gadai”. Artinya,
itu adalah benda ekonomi yang bisa diuangkan. Syarat barang yang digadaikan
adalah dapat diserah terimakan, bermanfaat, milik dan dikuasai orang yang
menggadaikan (rahin), jelas, tidak bersatu dengan harta lain, harta yang tetap
atau dapat dipindahkan.
Gadai dianggap
berakhir ketika barang telah dikembalikan kepada rahin,
rahin telah membayar
hutangnya,
barang dijual dengan perintah hakim atas persetujuan rahin, pembebasan hutang
dengan cara apapun.
Dasar Hukum Gadai
Dasar hukum gadai di
antaranya surat AI-Baqarah ayat 283, bahwa: “Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. Lalu juga ada hadits diriwayatkan dari Aisyah RA: “Rasulullah S.A.W
pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan
pembayarannya lalu Baginda menyerahkan baju besi sebagai gadaiannya”.
Untuk di Indonesia,
gadai telah diatur dengan cukup serius. Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No
25/DSNMUI/III/2002 tentang gadai. Salah satu aturannya adalah masa berlaku
gadai yang dibatasi selama 7 tahun, serta berbagai aturan yang mengikutinya.
Apakah
barang gadai boleh dimanfaatkan?
Mungkin
pertanyaan ini terdengar aneh bagi kita. Karena di Indonesia hampir pasti
barang gadaian, utamanya berupa tanah, diolah dan dimanfaatkan pemilik gadai.
Justeru disitulah motivasinya memberi pinjaman. Pertanyaan boleh dan tidak
boleh memanfaatkan sebenarnya berlaku baik untuk rahin maupun murtahin.
Unsur gadai terdiri
atas barang gadaian, penggadai gadai, dan pemegang gadai. Barang gadai bisa
berbagai bentuk, bisa berupa barang produktif (misalnya lahan dan hewan ternak)
atau tidak (misal emas). Umumnya untuk pertanian di Indonesia, lahan yang
digadai hampir selalu dimanfaatkan pemegang gadai. Bahkan, kesempatan untuk
mengolahnya itulah sesungguhnya yang menjadi perhatian penting murtahin.
Ya, barang gadaian untuk sementara
dikuasai murtahin. “Agunan itu tidak boleh
dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan
(manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya.” (HR
as-Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni)
Setelah serah terima, agunan berada di
bawah kekuasaan murtahin. Namun, itu
bukan berarti murtahin boleh
memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsîq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadits di atas, tetap
menjadi hak pemiliknya (rahin).
Karena itu, ar-râhin berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak
menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia
agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan
tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan. Ia juga boleh menghibahkan
manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik
orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan.
Meskipun
sudah digadai, bukan berarti harus diusahakan pemegang gadai. Mayoritas ulama
fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang
tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan barang
tetap hak penggadai. Dalilnya dari sabda
Rasul: “Dia yang
berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.”
(HR Ad-Daruquthni dan al-Hakim)
Jika lahan tetap pada
penggadai, maka ada tiga bentuk pengelolaaannya yakni:
1.
Pemegang gadai tetap mengerjakan
sendiri sawah gadai nya. Ini dimungkinkan, karena yang penting adalah
saat jatuh tempo bayar hutang Ia mampu melunasi. Jika tidak sanggup barulah
dibuat perhitungan dengan sawah gadaian tadi, apakah mau dijual ke pihak yang
membayar gadai atau ke pihak kelitga.
2.
Penggadai dapat terus menggarap sawah gadainya,
kemudian kedua belah pihak membagi hasil sawah sama seperti “bagi hasil”.
3.
Pemegang gadai menyewakan atau bagi
hasil sawah gadai tersebut kepada pihak ketiga.
Bila
barang gadai tersebut berada di tangan murtahin
lalu dia tidak ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah
kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi
(qiyas), serta untuk kemaslahatan
penggadai, pemegang barang gadai (murtahin),
dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan
memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi
(hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya
dengan nafkah, maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.
Jika
terjadi pertumbuhan atau pertambahan nilai barang gadai, misalnya gadai hewan
ternak; ada beberapa pendapat. Sebagian ulama berpendapat mestinya juga dibagi,
namun ulama lain berpandangan itu sepenuhnya milik yang punya, dan ada yang
berprinsip adalah sesuai yang menafkahinya.
Apakah pihak yang menerima gadaian (murtahin) boleh
memanfaatkan dan mengambil nilai ekonomi dari barang gadaian?
Satu,
Boleh. Yang
jelas, barang gadai tersebut berada di tangan murtahin selama masa perjanjian
gadai tersebut, dimana barang tanggungan dipegang oleh yang
berpiutang sesuai surat Al-Baqarah ayat 283. Jika barang tersebut
butuh perawatan, misalnya unta, maka yang memegang wajib memberinya makan dan minum.
Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkam oleh rahin atau
disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan
serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir sama dengan
pendapat Syafi’iyah.
Ulama Hanabiyah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat,
jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau
mengambil susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin.
Sedangkan borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan tanpa siizin rahin.Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murtahin, rahin
mempunyai hak memanfaatkannya.
Dua,
tidak boleh.
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh
memanfaatkan barang
jaminan sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.
Ada
yang berpendapat, jika memanfaatkan lahan tersebut lalu memperoleh manfaat yang
besar, bahkan lebih besar dari utang yang telah diberikan; bisa bermakna
sebagai “peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat”. Ini ibarat bunga pada
bank.
Menurut satu sumber bacaan, mayotitas
ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah memandang murtahin tidak boleh mengambil manfaat
barang gadai, kecuali karena telah mengeluarkan biaya pemeliharaan sebagaimana
dicontohkan hadits dengan hewan ternak yang menghasilkan susu. Murtahin boleh
mengambil susunya karena telah merawat dan memberi makan setiap hari. Nilai
susu yang diambil sama dengan pengorbanannya menjaga, dan memberi makan minum
si unta.
Intinya, untuk barang
gadai:
rahin memiliki hak kepemilikan, sedangkahn murtahin memiliki atasnya sebagai
hak jaminan. Bila barang gadai tersebut di tangannya, lalu tidak dinaiki dan
tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia.
Sehingga sesuai tuntutan keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai,
pemegang barang gadai (murtahin) dari hewan tersebut, murtahin
boleh mengambil manfaat mengendarai dan
memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut).
Jika akad ar-rahn untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu utang yang janjinya harus dibayar dengan jenis dan
sifat yang sama, bukan nilainya; maka murtahin
tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan
tambahan manfaat atas qardh. Tambahan
itu termasuk riba dan hukumnya haram. Rasul bersabda: "kullu qardhin jarra manfa'atan fahuwa majhun min wujûhi ar-ribâ.
(Setiap pinjaman yang menarik suatu manfaat maka itu termasuk salah satu bentuk
riba.) (HR al-Baihaqi). Pinjaman al-qardh misalnya pinjaman uang sebesar 50
juta rupiah atau beras 1 ton, maka pengembaliannya persis
sama uang Rp 50 juta atau beras 1 ton.
Namun, jika rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn, yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak
bisa dicarikan padanannya, seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang
sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya, maka murtahin boleh memanfaatkan barang
agunan itu dengan izin dari ar-râhin. Sebab, manfaat
barang agunan itu tetap menjadi milik ar-rahin.
Ketentuan di atas berlaku jika
pemanfaatan barang agunan itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika
disertai kompensasi, seperti rahin
menyewakan agunan itu kepada murtahin,
maka murtahin boleh memanfaatkannya
baik dalam akad al-qardh maupun dayn. Karena dia memanfaatkannya bukan
karena statusnya sebagai agunan al-qardhu tetapi karena dia menyewanya dari
ar-rahin, dengan
ketentuan sewanya tersebut tidak dihadiahkan oleh ar-râhin kepada murtahin.
Namun, jika sewanya tersebut dihadiahkan, maka statusnya sama dengan
pemanfaatan tanpa disertai kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh, dan sebaliknya boleh dalam
kasus dayn.
Kapan mulai boleh
dimanfaatkan? Sebagian ulama menyebut yakni setelah diserahterimakan. Bahkan murtahin boleh memaksa menyerahkan
barangnya jika akad sudah dilakukan. Penyerahan dilakukan dengan sebelumnya
dilakukan pennimbangan dan pengukuran.
Akad gadai dimaksudkan sebagai bentuk kepercayaan dan
jaminan atas pemberian utang, bukan mencari keuntungan dan hasil darinya.
Apabila demikian yang berlaku, debitor (murtahin) tidak berhak memanfaatkan barang yang digadaikan sekalipun
diizinkan oleh kreditor (rahin). Memanfaatkan barang gadaian tak ubahnya seperti qiradh yang
menguntungkan dan setiap bentuk qiradh
yang menguntungkan adalah riba. Hal tersebut berlaku apabila barang
bukan berbentuk binatang tunggangan atau binatang ternak yang bisa diperah
susunya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya
tanpa seizin rahin. Pendapat ini
senada dengan pendapat ulama Hanabilah. Sementara, ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin
dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan nilai barang berkurang. Ia tidak perlu
meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya dan sebagainya. Tapi jika
menyebabkan nilai
barang berkurang, seperti sawah, kebun; rahin harus meminta izin.
Jika
Waktu Gadai Berakhir
Maka ada pertanyaan, apakah ada jangka
waktunya, jika tidak bagaimana? Apakah diambil si pemegang gadai? Ada beberapa
pendapat.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa murtahin boleh menjual barang agunan dan
mengambil haknya (utang atau harga kredit yang belum dibayar oleh ar-râhin)
dari hasil penjualan tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan kepada
rahin. Jika lebih dikembalikan, jika masih kurang menjadi kewajiban rahin.
Namun, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa hak murtahin untuk menjual tersebut
tidak serta-merta, namun harus dikembalikan kepada hakim atau izin rahin.
Coba kita lihat regulasi
formal. Pasal 1150 Kitab UU Hukum Perdata menyebutkan:
“Gadai adalah suatu hak yang
diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh
kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberiwewenang
kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan
mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai
pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya
penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan
yang harus didahulukan”. Jadi, di pasal ini si pemberi hutang boleh
agak memaksa.
Pasal 1155
KUH Perdata menambahkan
bahwa jika telat lewat dan sudah diperingatkan, maka dimungkinkan barang dijual
kepada umum sesuai kebiasaan setempat. Kreditur berhak menjual objek hak gadai
jika sampai debiturnya lalai memenuhi perjanjian. Namun, kondisi lalai tersebut
ada beberapa persyaratan tertentu. Mengacu pada ketentuan pasal ini, ada
dua cara untuk mengeksekusi objek hak gadai yakni secara tertutup atau lewat
lembaga lelang.
Kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam, apabila yang
menggadaikan barang tidak mampu megembalikan pinjaman, maka ia tidak berhak
lagi atas barangnya dan barang tersebut menjadi hak pemegang gadai. Islam
kemudian membatalkan dan melarang cara tersebut.
Jika tempo telah jatuh, maka orang yang menggadaikan berkewajiban melunasi
utangnya, apabila ia tidak mampu melunasinya dan ia tidak mengizinkan barangnya
dijual untuk pelunasan, maka hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau
menjual barang yang dijadikan jaminan tersebut. Apabila hakim telah menjual
barang tersebut dan kemudian ada kelebihan nilai atau harga barang, maka
kelebihan menjadi milik pihak yang menggadaikan. Dan apabila masih kurang nilai
harganya dengan utang, maka kreditor wajib melunasi sisa utangnya. Saya kira ini
lebih adil.
Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far meriwayatkan bahwa
seseorang telah menggadaikan sebuah rumah di Madinah untuk masa waktu tertentu.
Setelah jatuh tempo, pihak debitor menyatakan rumah tersebut sebagai miliknya.
Rasulullah kemudian bersabda: “Janganlah
pemegang harta gadai menghalangi hak atas barang gadai tersebut dari peminjam
yang menggadaikan. Peminjam berhak memperoleh bagiannya dan dia berkewajiban
membayar dendanya”. (HR. Syafii, Atsram dan Daruquthni). Hadits ini
ada yang bilang sahih ada yang bilang
diragukan.
Artinya: “Barang
gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungannya untuknya dan
kerugiannya menjadi tanggungannya” (HR. Daruquthni dan Hakam). Apabila pada akad gadai ada persyaratan bahwa apabila
jatuh tempo maka barang gadai akan dijual, maka syarat tersebut dibolehkan. Dan
merupakan hak debitor untuk menjual barang jaminan tersebut. Imam Syafii
berbeda pendapat akan hal tersebut dan berpandangan bahwa dengan syarat
tersebut, akad gadai telah batal.
Jadi,
barang gadai tidak otomatis berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila
telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang
menggadaikannya karena tidak mampu melunasi utangnya. Dulu di era jahiliyah,
bila utang telah jatuh tempo, si murtahin
boleh langsung menyitanya.
Islam
membatalkan cara zalim ini. Maka, rahin lah yang berhak memutuskan akan
menjualnya atau tidak. Murtahin tidak
boleh memaksa harus menjual ke dirinya. Intinya, barang gadai sejatinya adalah
milik rahin (orang yang
menggadaikan). Adalah hak rahin untuk
menjual ke siapa dan harga berapa.urusan
dengan murtahin adalah urusan hutang. Jika rahin bisa membayar hutangnya, maka
urusan selesai.
Persoalan
muncul jika sudah jatuh tempo, hutang belum dibayar, namun rahin tidak mau
menjual barang tersebut, baik ke murtahin ataupun ke orang lain. Ada ulama yang
berpendapat bahwa pemerintah dapat memaksa rahin
segera menjualnya. Bentuk pemaksaan tersebut boleh dengan memenjarakan
rahin, atau pemerintah yang melakukan penjualannya. Jika pun dijual, maka yang diberikan ke
murtahin hanya sebatas besarnya hutang, bukan seluruh nilai penjualan tanah
tersebut yang bisa saja lebih mahal. Sisanya harus dikembalikan ke rahin. Jika rahin meninggal dunia atau pailit maka murtahin lebih berhak atas
marhun daripada semua kreditur. Jika hasil penjualan marhun tidak mencukupi
piutangnya, maka murtahin memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap
harta peninggalan rahin.
Bagaimana
bila barang rusak
atau hilang? Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin). Murtahin tidak
boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut
berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan
dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan
barang tersebut). Namun, sebagian ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang
gadai semestinya dibebankan kepada pemiliknya (rahin). Jika barang
mengalami kerusakan karena ketedoran murtahin, maka
murtahin wajib mengganti.
Sekali lagi, Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar