(Draf Buku “BERTANI
DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri
Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam. Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)
Islam memandang buruh sama dengan pemilik,
dan bukan modal.
Gaji dan perlakukan dia sebagaimana memperlakukan
saudara sendiri
Suatu waktu, seorang mualaf bule Australia sengaja datang setelah membaca
buku Saya ”Islamic Miracle of Working Hard”.
Ia mencari Saya sekedar mendapatkan jawaban bagaimana Ia harus
menentukan upah buruh tani yang bekerja di ladangnya, sesuai tuntunan Islam.
Jujur saya bingung juga menjawabnya. Karena rasanya sudah setua ini belum pernah saya dengar ustadz dan membaca
buku tentang ini.
Akhirnya saya pakai common sense
saja, walau sebenarnya malu juga ditanya hal ”simple” begitu. Kebetulan belum lama Saya habis menghadiri diskusi
tentang Family Farming. Saya jawab bahwa ukurannya adalah kemartabatan. Menurut
Mister, kira-kira Mister bisa kasih upah berapa, yang tidak memberatkan Mister, tapi membuat ia
dan keluarga nya bisa hidup bermartabat? Ada dua keluarga buruh yang bekerja di ladangnya secara penuh bekerja
sepanjang hari dan tinggal di ladang tersebut. Saya katakan, kira-kira
bagaimana agar kebutuhan dasarnya terpenuhi. Makannya sehat, bajunya cukup
baik, rumahnya layak huni, dan kebutuhan sekolah anaknya minimal
terpenuhi.
Sehabis jawaban yang kurang menyakinkan tadi, Saya coba-coba searching di google tentang hal
tersebut. Dan, hasilnya kira-kira sebagai berikut.
Satu hasits yang paling populer yang kita kenal adalah “Berikan
kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR.
Ibnu Majah). Namun, jarang yang mengupas berapa besar upah seseorang buruh?
Berbagai isu tentang perburuhan di tanah air
seakan tak pernah sepi. Konflik antara pekerja dan manajemen perusahaan sebagai
pihak yang mempekerjakan kerap terjadi. Di sektor informal, masalah tenaga
kerja rumah tangga dengan majikannya juga sering terjadi. Guna mengatasinya, di
DPR RI tengah digodok Rancangan Undang-Undang tentang Pembantu Rumah Tangga
(PRT) pada
Prolegnas 2020-2024. Baguslah.
Dalam kehidupan, manusia memang saling membutuhkan.
Yang berpunya mempekerjakan orang yang membutuhkan mata pencaharian. Berbagai
kasus sengketa antara majikan dan pekerja sebenarnya tak perlu terjadi. Asalkan
kedua belah pihak berpegang teguh pada ajaran Islam. Sebagai agama yang
sempurna Islam telah mengajarkan adab al-ijaarah
(mempekerjakan orang), serta bagaimana muamalah antara majikan (musta’jir) dengan
buruh (ajir). Syekh Abdul Azis bin Fathi As-Sayyid Nada dalam
kitabnya Mausuu’atul Aadaab Al-Islaamiyyah banyak membahas
adab-adab tentang ini sesuai dengan Alquran dan hadits.
Empat Prinsip Ketenagakerjaan
dalam Islam
Dari penghapusan perbudakan
yang dikombinasikan dengan perpspektif Islam tentang ketenagakerjaan, maka
dapat disebutkan setidaknya ada empat prinsip untuk memuliakan hak-hak pekerja.
Satu, prinsipkemerdekaan manusia.
Inti
dasar ajaran Islam adalah kesamaan
kemanusiaan bahwa semua manusia
sederajat. Inilah yang mengilhami perjuangan Matrin Luther King Jr di AS serta penghapusan apartheid dan
penegakan hak-hak sipil bagi warga kulit hitam. Ia dikenal sebagai pejuang
diskrimiasni rasial dan hak-hak buruh. Penghapusan perbudakan oleh Islam menyiratkan pesan bahwa pada hakikatnya
manusia ialah makhluk merdeka dan berhak menentukan kehidupannya sendiri tanpa
kendali orang lain. Penghormatan atas independensi manusia.
Dua, prinsip kemuliaan derajat manusia.
Islam menempatkan setiap
manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang mulia dan terhormat.
Kemuliaan orang yang bekerja terletak pada kontribusinya bagi kemudahan orang
lain yang mendapat jasa atau tenaganya. Salah satu hadits yang populer untuk
menegaskan hal ini adalah “Sebaik-baik manusia di antara
kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Misalnya dalam hal
pemanggilan atau penyebutan, Islam melarang manusia memanggil pekerjanya dengan
panggilan yang tidak baik atau merendahkan. Panggil
lah pekerja
dengan kata-kata yang baik seperti “Wahai pemudaku” untuk laki-laki atau “Wahai
pemudiku” untuk perempuan. Rasul pernah
mempunyai pembantu seorang Yahudi, namun beliau tidak pernah memaksakan agama
kepadanya.
Tiga, prinsip keadilan dan anti-diskriminasi
Islam tidak mengenal sistem
kelas atau kasta di masyarakat, begitu juga berlaku dalam memandang dunia
ketenagakerjaan. Ajaran Islam menjamin setiap orang yang bekerja memiliki hak
yang setara dengan orang lain, termasuk atasan atau pimpinannya. Bahkan hingga
hal-hal kecil dan sepele, Islam mengajarkan umatnya agar selalu menghargai orang
yang bekerja.
Dari beberapa dalil
tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sangat memuliakan nilai kemanusiaan setiap
insan. Semua pekerjaan sama mulianya. Buruh tani bukan berarti kurang mulia
dibanding yang punya sawah.
Empat, prinsip kelayakan upah
pekerja
Upah atau gaji adalah hak
pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi kewajiban dan tidak boleh diabaikan
oleh para majikan atau pihak yang mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah
upah pekerja ini, Islam memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan
orang lain bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan
mencukupi.
Prinsip tersebut terangkum
dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan
beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”
Di masa sekarang,
proporsioanlitas tersebut terbahasakan dengan sistem UMR (Upah Minimum
Regional). Namun, belum pernah ada gagasan untuk menentukan UMR di
pertanian.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertegas
pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadits: “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah
menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai
saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang
dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya
(sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan
jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu
mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Pedoman dari Rasulullah
untuk Memperlakukan Pekerja
Buruh
merupakan profesi yang ada di seluruh dunia sejak dulu. Karena itu PBB
menetapkan tanggal 14 Mei sebagai Hari Buruh. Demikian pun dalam
khasanah Islam, masalah buruh, utamanya buruh tani cukup mendapat perhatian. Dalam Islam, pekerja atau buruh juga mendapat
perhatian khusus dari Rasulullah Saw. Dalam sejarahnya banyak hadits-hadits yang
mengajurkan agar bersikap baik terhadap para budak, pembantu maupun buruhnya. Budak dulu adalah pekerja yang
tidak merdeka, sedangkan pekerja, buruh, pembantu zaman sekarang adalah orang
merdeka. Namun, pada budak yang masa itu berada pada kasta sosial terendah pun,
Rasulullah berpesan untuk berbuat baik.
Berikut beberapa pesan Rasulullah
tentang berbuat baik terhadap pekerja.
Satu, Buruh kita adalah saudara kita
Hadits yang diriwayatkan
Mustawrid bin Syadad bahwa Rasul bersabda: “Barang siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia
mencarikan isteri (untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya,
hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat
tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal.”
Arti “mencarikan” bisa
dengan menyewakan, meminjamkan, atau memberi tumpangan agar mereka bisa tinggal
di dalamnya. Kebiasaan ini sudah dijalankan oleh petani-petani yang memberikan
tempat tinggal dan makan bagi rombongan buruh, biasanya buruh tanam, yang
datang dari wilayah lain. Lamanya bisa seminggu sampai sebulan.
Islam memposisikan pembantu sebagaimana
saudara majikannya. Dari Abu Dzar RA, Nabi bersabda:
“Saudara kalian adalah budak kalian. Allah jadikan mereka dibawah kekuasaan
kalian.” (HR. Bukhari). Nabi menyebut pembantu sebagaimana saudara
majikan agar derajat mereka setara dengan saudara.
Rasul melarang memberikan
beban tugas kepada pembantu melebihi kemampuannya. Jikapun terpaksa itu harus
dilakukan, beliau perintahkan agar sang majikan turut membantunya. “Janganlah
kalian membebani mereka (budak), dan jika kalian memberikan tugas kepada
mereka, bantulah mereka.” (HR. Bukhari). “Keringanan yang kamu berikan
kepada budakmu, maka itu menjadi pahala di timbangan amalmu.” (HR. Ibn
Hibban, dinyatakan shahih oleh Syuaib
al-Arnauth).
Buruh sederajat
dengan atasan. Pekerja,
buruh, maupun pembantu rumah tangga; pada hakikatnya adalah sama sebagai
manusia. Sederajat dengan tuannya. Maka, jangan memandang rendah dan
memperlakukan bawahan sesuka hati. Rasulullah bahkan berpesan agar jadikan
pembantu seperti saudara.
Dari al-Ma’rur, berkata Ia bertemu Abu Dzar di Rabadzah yang mengenakan pakaian dan perhiasan
sama dengan budaknya. Rasulullah menegur Abu Dzar:” Hai Abu Dzar, ….
Para pembantu kalian adalah saudara kalian juga. Allah jadikan mereka di bawah
kekuasaan kalian. Maka siapa yang saudaranya di bawah kekuasaanya, berilah
makan mereka dari apa yang ia makan, berilah mereka pakaian dari apa yang ia
pakai, dan jangan bebani mereka dengan pekerjaan yang mereka tak mampu.
Kalaupun terpakasa memberatkan, bantulah mereka,’” (HR. Bukhari).
Dua, Jangan menzalimi buruh atau
pegawai
Dalam hadits
qudsi dari Abu Hurairah RA, Nabi meriwayatkan, bahwa Allah
berfirman: “Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: …
orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia
tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari dan Ibn Majah).
Dari Abu Hurairah, Nabi
bersabda: “Bukan orang yang sombong,
majikan yang makan bersama budaknya, .....dst .” (HR. Bukhari,
Baihaqi,
al-Albani). Tidak
hanya bersikap baik dalam urusan dunia, Nabi juga memperhatikan urusan
akhirat pembantunya. Beliau pernah memiliki seorang pembantu yang masih remaja
beragama Yahudi. Suatu ketika si Yahudi ini sakit keras. Nabi pun menjenguknya
dan memperhatikannya. Ketika merasa telah mendekati kematian, Nabi
menjenguknya dan duduk di samping kepalanya. Beliau ajak anak ini untuk masuk
Islam. Si anak spontan melihat bapaknya, seolah ingin meminta pendapatnya. Si
bapak mengatakan: “Taati Abul Qosim (nama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam).” Dia pun masuk Islam, dan setelah itu ruhnya keluar.
Tiga, Berikan
upah secepatnya
Dalam hadis riwayat Ibnu Majah, Rasulullah sampai
mengibaratkan pemberian upah atau gaji tepat waktu dengan ungkapan “sebelum
keringatnya kering”. Rasul mewajibkan para
majikan untuk memberikan gaji pegawainya tepat waktu, tanpa dikurangi sedikit
pun. “Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum kering keringatnya.” (HR.
Ibn Majah dan dishahihkan al-Albani).
Jangan
menzalimi upah. Jangan
sampai kita mempekerjakan buruh tetapi kemudian tidak
membayarnya. Dalam sebuah hadis Qudsi, dari Abu Hurairah Rasulullah Saw.
bersabda, “Allah berfirman ‘Tiga orang yang aku musuhi pada hari kiamat:
orang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia berkhianat; orang yang menjual orang
merdeka lalu memakan hasilnya; dan orang yang mempekerjakan pekerja kemudian
menuntut pemenuhan kewajiban, lalu ia tidak memberikan upah pekerja itu,”
(HR Bukhari).
Empat, Agar majikan bersikap tawadhu, berbelas kasih, dan
jangan kasar
Rasulullah mengajarkan agar para
majikan berikap tawadhu memperlakukan
para budaknya sebagai orang terhormat sama dengan mereka. Dalam hal ini
bersikap baik dengan bawahan justru mengikis benih
takabur atau kesombongan dalam diri.
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah
SAW bersabda: “Tidaklah
sombong orang yang makan bersama pembantunya, menaiki himar di pasar-pasar, dan
mengikat kambing lalu memerahnya” (HR. Bukhari dalam al-Adab
al-Mufrad.). Agar tak merasa tinggi
hari, Rasul menyarankan majikan makan bareng dengan buruh-buruhnya.
Rasulullah Saw. memberi contoh
perilaku yang baik terhadap para pembantu, budak dan pekerja. Sebagai seorang
yang tergolong berkuasa, beliau tidak pernah memukul siapa pun dengan tangannya
kecuali dalam pertempuran. Dari Aisyah ra, berkata, “Rasulullah Saw. tidak
pernah memukul siapa pun dengan tangannya, tidak memukul perempuan juga tidak
memukul pembantu atau budak, kecuali ketika beliau berjihad fi
sabilillah,” (HR Muslim).
Seorang majikan, hendaknya tidak memberikan pekerjaan yang
membebani pegawainya hingga dia tak sanggup memikulnya. Kecuali jika majikannya
tersebut turut membantunya. Rasulullah SAW bersabda, Janganlah kalian membebani
mereka dengan sesuatu yang mereka tidak mampu. Jika kalian membebankan sesuatu
kepada mereka maka bantulah.” (HR Bukhari-Muslim).
Jangan kasar. Aisyah
menceritakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah memukul dengan tangannya sedikit pun, tidak kepada wanita, tidak pula
budak.” (HR. Muslim, Abu Daud). Rasul juga melarang sahabat yang Abu Mas’ud
Al-Anshari yang memukul budaknya.
Anas bin Malik RA pernah menjadi
pembantu Nabi selama
hampir sembilan tahun.
Anas bersaksi bahwa Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya.
Suatu hari (sewaktu aku masih kanak-kanak), beliau menyuruhku untuk tugas
tertentu. Aku bergumam: Aku tidak mau berangkat. Sementara batinku meneriakkan
untuk berangkat menunaikan perintah Nabi Allah. Aku pun berangkat, sehingga
melewati gerombolan anak-anak yang sedang bermain di pasar. Aku pun bermain
bersama mereka. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang
tengkukku dari belakang. Aku lihat beliau, dan beliau tertawa. Beliau bersabda:
“Hai Anas, berangkatlah seperti yang aku perintahkan.”
Selain itu, Anas mengaku bahwa Rasul
belum pernah sekalipun beliau memarahi dan mengkritik
terhadap apa yang Ia lakukan. Rasulullah sangat perhatian terhadap kebutuhan
pembantunya, bahkan
sampai pada menyemangati untuk menikah sebagaimana terjadi pada Rabi’ah bin
Ka’b al-Aslami.
Lima, Hendaknya mempekerjakan seorang Muslim, kuat,dan
tepercaya
Memperkerjakan non muslim baru bisa diperbolehkan jika tak menemukan seorang muslim yang
menguasai bidang tersebut. Umar bin Khattab sempat marah
kepada Abu Musa al-Asy’ari karena telah menyewa seorang juru tulis Nasrani pada
masa kepemimpinannya di Kufah. Menurut Umar, hal itu baru bisa diperbolehkan
jika tak menemukan seorang Muslim. yang menguasai bidang itu. Rasulullah SAW pernah bersabda: ”… Aku tidak akan meminta bantuan
kepada orang musyrik”. (HR
Muslim dari Aisyah).
Seorang Muslim hendaknya mempekerjakan seseorang yang ada
pada dirinya sifat amanah, bagus agamanya, kuat, dan layak. Ini sejalan dengan
surah Al-Qashash ayat 26: “Sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang
kuat lagi dipercaya”. Orang dengan sifat seperti ini akan mampu
melaksanakan tugasnya dan lebih bertakwa kepada Allah SWT.
Seorang pekerja harus melaksanakan tugasnya dengan penuh
amanah dan tidak berkhianat. Hendaknya dia bertakwa kepada Allah, bahkan ketika
majikannya tidak ada. Dia juga harus merasa dalam pengawasan sehingga melakukan
pekerjaannya dengan baik. Maka, seorang pegawai harus menyerahkan hasil keuntungan kepada majikan dengan jujur. Rasulullah bersabda, seorang bendahara yang amanah, yang menunaikan apa
yang diperintahkan kepadanya dengan senang hati, termasuk orang yang bersedekah
(HR Bukhari-Muslim).
Tidak boleh seorang pekerja mengambil sesuatu untuk dirinya
karena itu merupakan pengkhianatan. Selain itu, dia juga harus berhati-hati dalam
menerima hadiah disebabkan posisinya tersebut. Muamalah antara majikan dan pekerja harus diwarnai dengan
kemudahan, kelembutan, dan penuh kerelaan. Islam sangat menganjurkan kemudahan
dalam semua bentuk muamalah. Rasulullah SAW pernah bersabda,
Allah merahmati orang yang mudah jika menjual, membeli, dan menagih. (HR
Bukhari, dari Jabir).
Enam, Awali dengan kesepakatan
Ajaran Islam mensyaratkan adanya kesepakatan antara majikan
dan pekerjanya. Kesepakatan itu meliputi pekerjaan yang diminta, penjelasan karakter
dan perinciannya, serta upah yang pantas sehingga tak ada satu pihak pun yang
dirugikan. Kesepakatan itu akan menutup perselisihan, menutup pintu masuk setan, serta mencegah
kecurangan dan penipuan.
Maka, seorang majikan tak boleh memanfaatkan kefakiran
pekerjanya. Pentingnya sebuah kesepakatan dan penetapan upah telah dicontohkan
Rasulullah SAW ketika mengembalakan
kambing untuk penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath.
Tujuh, Tak boleh mempekerjakan seseorang untuk perkara yang
haram
Seorang pekerja tak boleh menerima pekerjaan yang di dalamnya
terkandung kemarahan Allah SWT. Majikan pun tak boleh mempekerjakan orang untuk perkara yang
diharamkan.
Seorang majikan, hendaknya tidak memberikan pekerjaan yang membebani
pegawainya hingga tak sanggup memikulnya, kecuali jika majikannya
tersebut turut membantunya. Rasulullah SAW bersabda, “janganlah kalian
membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak mampu. Jika kalian
membebankan sesuatu kepada mereka maka bantulah.” (HR Bukhari-Muslim).
Delapan,
Tunaikan hak
pekerja
Seorang majikan harus menunaikan hak-hak pekerja yang
telah disepakati sebelumnya, segera setelah dia menyelesaikan tugasnya. Bayar lah upah pekerja sebelum kering keringatnya. Menunda-nunda
termasuk memakan harta orang lain. Ada
fungsi waktu terhadap suatu harta, sehingga nilai uang berbeda pada waktu yang
berbeda.
Disini
termasuk menjaga
hak-hak pekerja yang pergi (tidak hadir). Hendaknya seorang majikan tetap menjaga hak-hak
pekerja jika pekerja itu pergi sebelum ditunaikan haknya, baik karena
sakit, pergi tiba-tiba, maupun sebab lainnya. Seandainya upah pekerja itu
bergabung dengan harta majikannya dan terus bertambah keuntungannya ketika si
pekerja pergi, majikan hendaknya menyerahkan upah beserta keuntungannya. Bahkan
jika seorang pekerja telah meninggal dunia, hendaklah upah itu diserahkan
kepada ahli warisnya.
Allah SWT akan menuntut pada hari kiamat orang yang mempekerjakan
orang lain, yang orang itu telah menyempurnakan pekerjaannya, tetapi dia tidak
memberikan upahnya (hadits
riwayat Bukhari).
Hapusnya perbudakan adalah bukti Islam melindungi pekerja
Dulu, di era jahiliyah,
perbudakan suatu hal yang biasa. Islam
berhasil menghapus perbudakan. Budak sahaya dulu biasa dimiliki keluarga yang
bebas diperlakukan sesuai kemauan majikannya, bahkan juga bebas diperjualbelikan
kepada orang lain di pasar-pasar budak. Derajat kemanusiaan budak sangat rendah
dan hak-hak asasinya terabaikan.
Salah satu cara memerdekakan
seorang budak adalah dengan membelinya. Hal ini pernah dilakukan sahabat Abu
Bakar ketika membebaskan Bilal bin Rabah dari tuannya. Penghapusan budak secara
masif mulai berlangsung di era Madinah.
Namun, “perbudakan” modern masih ada, misalnya
tenaga-tenaga kerja ilegal di Amerika dari negara-negara tetangganya. Demikian pula, TKI dari Indonesia yang bekerja keluar
negeri juga masih banyak yang tergolong sebagai traficking.
Khusus untuk buruh tani, Sidang Umum PBB pada 17 Desember 2018 akhirnya mengesahkan Deklarasi
Hak-hak Petani dan Kelompok Masyarakat Lainnya yang Bekerja di Pedesaan (UN Declaration on the Rights of Peasants and Other
People Working in Rural Areas, disingkat UN-DROP). Sebagaimana telah ditegaskan
dalam berbagai instrumen HAM internasional, buruh tani kembali memperoleh
peneguhan dan penegasan kembali untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi haknya.
Bagaimana menentukan besarnya
Upah?
Upah disebut juga ujrah dalam Islam. Upah adalah bentuk kompensasi
atas jasa yang telah diberikan tenaga kerja. Surat At-Taubah ayat 105: “Dan
katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu
apa yang telah kamu kerjakan.” Surat An-Nahl ayat 97 yang artinya: “Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Demikian juga dengan surat An-Nahl ayat 97, maksud dari kata
“balasan” dalam ayat tersebut adalah upah atau kompensasi. Ingat, semua
pekerjaan dengan niat karena Allah (amal sholeh), maka ia akan mendapatkan
balasan didunia (berupa upah) maupun di akhirat (berupa pahala), Jadi, upah
dalam konsep Islam memiliki dua aspek sekaligus, dunia dan akhirat.
Proses penentuan upah yang Islami
berasal dari dua faktor: objektif dan subjektif. Objektif adalah upah
ditentukan melalui pertimbangan tingkat upah di pasar tenaga kerja (ilmu
ekonomi). Sedangkan subjektif, upah ditentukan melalui
pertimbangan-pertimbangan sosial.
Ada banyak pertimbangan yang
harus diperhatikan, berbeda dengan ekonomi konvensional yang hanya memandang
manusia sebagai barang modal. Padahal manusia bukan mesin.
Sadeeq (1992) menyebutkan
beberapa ketentuan yang akan menjamin diperlakukannya tenaga kerja secara
manusiawi yaitu:
(1)
Hubungan antara majikan (musta’jir) dan buruh (ajir) adalah man to man brotherly relationship, yaitu hubungan
persaudaraan.
(2)
Beban kerja dan lingkungan yang melingkupinya
harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti yang telah diutarakan,
manusia tidak sama dengan barang modal. Manusia membutuhkan waktu untuk
istirahat, sosialisasi, dan yang terpenting adalah waktu untuk ibadah.
(3)
Tingkat upah minimum harus mencukupi bagi
pemenuhan kebutuhan dasar dari para tenaga kerja (dan keluarganya).
Pengupahan bersifat adil
yaitu harus ada kejelasan atau aqad (perjanjian)
antara musta’jir
dan ajir. Seorang musta’jir harus adil dan tegas dalam
proses penentuan upah. Hak (upah) seorang ajir akan
diberikan jika ia telah mengerjakan kewajibannya (pekerjaannya) terlebih
dahulu. Dalam konteks ini lah, pemerintah bisa hadir untuk menjamin
keadilannya. Jika upah sangat rendah, pemerintah dapat memberikan subsidi
kepada pihak pengusaha atau majikan, agar ia dapat memberikan upah yang layak.
Cara kedua adalah memberikan
subsidi kepada pihak tenaga kerja, misalnya berupa jaminan sosial. Jadi,
meskipun upahnya rendah, namun mereka
tetap memperoleh
hidup yang layak. Pemerintah dapat menggunakan dana baitul maal (keuangan negara), sebagaimana
dijalankan pada masa pemerintahan Umar.
Jika
upah minimum tidak cukup, para karyawan harus diberi zakat,
karena bisa dikategorikan
sebagai orang miskin yang berhak atas zakat. Mungkin
perlu diteliti kemungkinan misalnya besarnya upah minimum dari konsep nishob zakat. Analisis finansial usaha tani dapat
jadi pertimbangan. Upah untuk mencangkul, menanam, menyiang dan panen akan
berbeda untuk beda komoditas. Perlu pula melihat upah di sektor pertanian,
industri, dan jasa; harus agak berimbang.
Ada perbedaan pandangan pandangan Islam dan ekonomi
konvensional. Islam melihat upah dalam kaitannya dengan konsep moral dan
kemanusiaan, dan upah tidak hanya sebatas materi uang gaji, namun
merupakan muamalah
antara pembantu dengan majikan adalah ijarah (sewa jasa). Dalam konteks muamalah, maka seharusnya beban tugas yang diberikan dibatasi
waktu dan kuantitas tugas. Lebih dari batas itu, bukan kewajiban pembantu atau
buruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar