Sabtu, 09 Mei 2020

Bab IV. Mengkontruksi Ilmu SOSIAL EKONOMI PERTANIAN ISLAM

(Draf Buku “BERTANI DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam.  Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)


Sejatinya, sampai hari buku ini ditulis, belum ada ilmu atau cabang ilmu “Ekonomi Pertanian Islam”. Ekonomi Pertanian ada, Ekonomi Islam ada, tapi belum ada Ekonomi Pertanian Islam. Sementara itu, Ekonomi Pangan(Food Economy)ada walau belum banyak, sedangkan Ekonomi Pangan Islam (Islamic Food Economy) belum ada, apalagi "Ekonomi Pangan Pokok Islam (Islamic Staple Food Economy). Memberlakukan pangan (food) akan beda dengan pangan pokok (staple food). Saya akan coba beberkan serba sedikit di ruang yang terbatas ini. Kesemuanya ini saya bungkus sebagai “Sosial Ekonomi Pertanian Islam” (Islamic Agricultural Socio-economic).

Bagian ini Saya susun secara sederhana dalam bentuk perkembangan ilmu yang sudah umum ditengah masyarakat, yakni dilmulai dengan Ilmu Ekonomi, yang lalu salah satu cabangnya menjadi Ilmu Ekonomi Pertanian. Kemudian diikuti Ekonom Islam, yang sebenarnya sihmuncul duluan, namun diskursusnya di dunia dan Indonesia ramainya belakangan,dan terakhir disampaikan tentang “Ilmu Ekonomi Pangan Islam”.

Tentu saja “Ilmu Ekonomi Pangan Islam” ini baru sebatas ide. Ilmu ini belum lahir dan belum ada, bahkan tampaknya belum ada kalangan ilmuwan yang mendiskusikannya, setidaknya sepanjang yang Saya lacak di google search engine. Namun, Saya bermaksud menyampaikan betapa pentingnya kita membicarakan ini dan membangunnya bersama-sama.

Pangan, utamanya pangan pokok (staple food) tidak bisa dikelola sama seperti barang-barang industri  yang ditata menurut ilmu ekonomi industri kapitalistik yang mengutamakan pendapatan dan keuntungan dan miskin ruh kultural dan keilahian yang hak.  Sejarah Islam telah mengajarkan kita bagaimana mestinya mengelola pangan, sebagai berkah yang mesti ditata menurut tuntunan Allah SWT. Itulah “Ilmu Ekonomi Pangan Islam”.

.4.1. ILMU EKONOMI DAN EKONOMI PERTANIAN

Ilmu ekonomi dikembangkan pada era revolusi industri di Eropah, yakni satu sistem industri yang memproduksi barang-barang manufaktur, bukan produksi pangan yang sangat bergantung alam. Lalu, ilmu ekonomi sebagai ilmu induk ini telah melahirkan berbagai cabang kian kemari. Sebagaimana kita tahu, awal terbentuknya ilmu ekonomi sangat terpengaruh oleh karakter sosial dunia industri di zaman itu. Akibatnya, ilmu ekonomi pertanian yang berkembang lebih belakangan, sebagai cabangnya;  tidak bisa menghilangkan sepenuhnya sifat khas industri ini.

Ekonomi secara umum adalah ilmu sosial yang menganalisa produksi, distribusi, serta konsumsi barang dan jasa. Ia fokus pada bagaimana economic agents berperilaku dan berinteraksi dan bagaimana ekonomi bekerja. Buku Adam Smith “The Wealth of Nations” tahun 1776 dijadikan sebagai tonggak kelahiran ilmu ekonomi. Ia membahas lahan, tenaga kerja dan modal sebagai tiga faktor utama untuk kesejahteraan.

 

Perbedaan ilmu ekonomi dengan ekonomi pertanian

Ekonomi

Ekonomi pertanian

Nama lainnya adalah “conventional economics”, atau “general economics”

“Agricultural economics” atau   “agronomics”

Ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas, sedangkan sumberdaya terbatas.

Aplikasi prinsip-prinsip ekonomi pada produksi pertanian, fokus pada bagaimana memaksimalkan hasil produksi pertanian. Dikenal juga sebagai ”Agronomics” sebagai cabang ekonomi  yang berkaitan dengan penggunaan lahan.  Mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan pertanian, sehingga dapat dicari penyelesaian dan jalan keluarnya.

Adam Smith (1776) sebagai yang pertama mengembangkan ilmu ekonomi. Melalui karyanya The Wealth of Nation, Smith mencoba mencari tahu sejarah perkembangan negara-negara di Eropa. Lalu Marshall, Keynes, dan Karl Marx menggunakanmetode kuantitatif untuk menganalisis fenomena ekonomi. Jan Tinbergen setelah PD II mempelopori ilmu ekonometri, yang mengkombinasikan matematika dan statistik dengan teori ekonomi. Kubu lain dari metode kuantitatif dalam ilmu ekonomi adalah model general equilibrium (keseimbangan umum).

Mulai tahun 1890, yaitu saat depresi pertanian di Amerika, sehingga dirasa perlu mengembangkan suatu cabang ilmu baru untuk memahaminya dan agar tidak terulang lagi kejadian serupa. Di Eropa oleh Von Der Goltz tahun 1885, HC Taylor mendirikan Department of Agricultural Economics di Wisconsin tahun 1909, lalu tahun 1979 T. Schultz  mengembangkan ekonomi dikaitkan langsung dengan masalah pertanian. Schultz mengembangkan eknometrika sebagai alat untuk menganalisis ekonomi pertanian secara empiris. Universitas Cornell mengajarkan Economics of Agriculture (1901)  dan Farm Management (1903), dan Universitas Ohio mengajarkan Rural Economics (1892). Sejak tahun 1910, mata kuliah ekonomi pertanian diajarkan di tiap universitas di AS.

Setelah depresi besar tahun 1930-an lahir  kesadaran bahwa pasar tidak selalu mampu menciptakan keseimbangan, dan karena itu intervensi pemerintah harus dilakukan agar distribusi sumber daya mencapai sasarannya. Lahir banyak varian yaitu new classical, neokalsik, new keynesian, monetarist, dll.

Basisnya adalah pada sistem produksi dan perdagangan pertanian, dan dibedakan pula atas ekonomi mikro dan makro.Bidangnya mencakup small business management, marketing and finance, financial planning, veterinary business management,  community economic development, environmental policy and planning, and international trade and development.Kombinasi antara teori perusahaan (theory of the firm) dengan pemasaran dan teori organisasi.



Di Indonesia, ilmu ekonomi pertanian (
Agricultural Economics)mulai diajarkan oleh Prof. Iso Reksohadiprojo dan Prof. Ir. Teko Sumodiwirjo. Sementara, Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) dibentuk pada bulan Februari 1969 di Ciawi, Bogor.

Ilmu ekonomi pertanian adalah perkawinan antara ilmu ekonomi dengan pertanian. Beberapa teori utama yang dikombinasikan  adalah teori perusahaan (Theory of The Firm) dengan pemasaran dan teori organisasi. Sejak tahun 1970, ekonomi pertanian fokus kepada tujuh topik utama yaitu ekonomi lingkungan dan sumberdaya, resiko dan ketakpastian (risk and uncertainty), konsumsi dan rantai suplai pangan, harga dan pendapatan, struktur pasar, perdagangan dan pembangunan, serta technical change and human capital. Sekarang ilmu ini semakin terintegrasi yang mencakup manajemen usahatani dan ekonomi produksi, rural finance and institutions, pemasaran pertanian dan harga,  kebijakan pertanian dan pembangunan, ekonomi pangan dan nutrisi (food and nutrition economics), serta ekonomi lingkungan dan sumberdaya.

Namun, ekonomi pertanian juga cenderung semakin lebih berorientasi mikro. Lulusannya semakin cenderung sebagai seorang a traditional business degree dibandingkan traditional economics degree. Saat ini “…many agricultural economics programs focus on a wide variety of applied micro- and macro-economic topics. Their demand is driven by their pragmatism, optimization and decision making skills, and their skills in statistical modelling (Evenson dan Pingali, 2007).

Bagaimanapun  ilmu ekonomi pertanian lahir dari ilmu ekonomi yang dalam perjalanannya banyak terpengaruh oleh sistem ekonomi industri. Ekonomi industri adalah “....the systematic, sustained involvement of an individual or group in activities that produce defined results that can be duplicated”. Cirinya adalah mampu menghasilkan barang dengan bentuk yang sama persis dan cepat, karena mereka bekerja pada sistem yang dapat diisolasi sepenuhnya.

Sementara pertanian sangat bergantung kepada alam. Gara-gara terpengaruh oleh karakter industri ini, maka pertanian diinginkan juga seperti industri. Maka, mulailah lahir keinginan yang aneh-aneh, misalnya ingin semua buah mangga bentuknya sama, manis dan asamnya sama. Juga ingin mangga ada tiap bulan. Seragam dan ada tiap saat. 

Karena masih terperangkap pada sifat sektor industri tersebut, lahirlahIndustrial Agriculture” yaitu usaha pertanian yang “...Farming has evolved into big business. Raising livestock or produce focuses on yield. Mono planting (one type of crop) and warehousing large numbers of cash animals, such as beef and chickens in smaller confined areas, has economic advantages for the farmer and, in turn, brings better prices to the consumer”. Pertanian dikelola secara industri. Dibanggakan sebagai “pertanian modern dengan teknologi tinggi, input serba kimia, dan mesin-mesin. Namun pola ini penuh resiko lingkungan dan produknya tidak sehat dimakan.

By the way, jika ekonomi neoklasik telah berkembang ke arah ekonomi kelembagaan, bagaimana dengan ekonomi pertanian? Apakah ada ekonomi kelembagaan pertanian?

Ada banyak ketidakpuasan terhadap faham Ekonomi Neo Klasik, atau sering dilabeli sebagai ekonomi kapitalisme-liberal.  Di kalangan akademis Indonesia pernah muncul “Ekonomi Kerakyatan” dan “Ekonomi Pancasila”. Semuanya berasal dari ilmuwan Indonesia sebagai upaya mencari bentuk konsep ekonomi alternatif yang dirasa lebih sesuai bagi Indonesia. Dan sekaligus, sebagai bentuk kritik terhadap teori-teori ekonomi dari Barat yang dirasa kurang tepat.  Tokoh pencetusnya adalah Bung Hatta, Prof. Mubyarto, Presiden Sukarno, dan Prof. Sri Edi Swasono.

Banyak kritik yang dialamatkan terhadap ilmu ekonomi. Kritik terhadap ekonomi ortodoks yang paling keras misalnya datang dari Paul Ormerod dalam bukunya The Death of Economics (tahun 1994), yang menyatakan “tidak ada sebuah model ekonomi yang bisa dipakai dimana saja”. Para forecaster telah beralih ke pendekatan perkiraan pribadi(judgmental adjustmenst) dari model-model ekonomi makro lama. Lebih jauh ia menyarankan: “Ekonomi perlu menggunakan analisis ex-post, yaitu mempelajari setelah sebuah peristiwa terjadi. Yaitu seperti paleontologi (ilmu tentang fosil), astronomi dan klimatologi; yang teorinya dibangun dari data-data yang dikumpulkan secara nyata bertahun-tahun”.

Apa bedaekonomi kapitalisme liberal dengan ekonomi kerakyatan? Jika ilmu ekonomi Barat memahami manusia sebagai ”homo ekonomikus”, bukan sebagai ”homo moralis” atau ”homo socius”; ekonomi kerakyatan memahami manusia sekaligus sebagai ”homo ekonomikus”,”homo moralis”dan”homo socius”.  Yang ini bagus untuk mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial, tidak sekedar tumbuh dan tumbuh.Lebih demokratis, lebih induktif, disesuaikan dengan kondisi sosiokultural masyarakat Indonesia.  Ini memiliki kandungan kemandirian, kemerataan, dan keswadayaan di dalamnya.

Ekonomi rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut sektor informal, “underground economy”, atau “extralegal sector”. Istilah “ekonomi kerakyatan” secara resmi dicantumkan dalam Ketetapan MPR yaitu Tap Ekonomi Kerakyatan No. XVI tahun 1998. Istilah ini semakin mantap ketika telah masuk pada berbagai produk hukum dan kebijakan, misalnya dalam UU No. 25/2000 tentang Propenas (Mubyarto, 2002). Namun akhir-akhir ini, istilah “ekonomi rakyat” dihindari, dan salah satu gantinya adalah dengan sebutan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang berasal dari istilah Small and Medium Enterprises (SME).

Pada prinsipnya, ekonomi kerakyatan ataupun ekonomi rakyat, adalah sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Ekonomi kerakyatan menunjuk pada sila ke-4 Pancasila, yang menekankan pada sifat demokratis sistem ekonomi Indonesia. Dalam demokrasi ekonomi Indonesia, produksi tidak hanya dikerjakan oleh sebagian warga tetapi oleh semua warga masyarakat, dan hasilnya dibagikan kepada semua anggota masyarakat secara adil dan merata (penjelasan pasal 33 UUD 1945). Artinya, ekonomi rakyat memegang kunci kemajuan ekonomi nasional di masa depan, dan sistem ekonomi Pancasila merupakan “aturan main etik” bagi semua perilaku ekonomi di semua bidang kegiatan ekonomi (Mubyarto, 2002).

Sementara itu, “Ekonomi Pancasila” juga digulirkan salah satunya oleh Mubyarto (1981), sebagai lawan dari konsep kapitalisme liberal. Pada hakekatnya, sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat. Ia memihak pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral Pancasila (Mubyarto, 2003). Disini, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.

Tekanan dalam ekonomi rakyat adalah pada kegiatan produksi,bukan sekedar konsumsi,sehingga buruh pabrik tidak masuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah bagian dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan. Meskipun sebagian perusahaan yang dikenal sebagai UKM (Usaha KecilMenengah) dapat dimasukkan sebagai ekonomi rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut sebagai ”usaha” atau ”perusahaan” (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan.

Bapak dan Ibu, apa yang dinarasikan dari mimpi Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Pancasila ini, memiliki kesamaan spirit dengan pedoman Islam menata ekonomi umat. Silahkan lanjut bacanya !

Ilmu Ekonomi Islam

Dalam wikipedia disebut, “Islamic economics is a term used to refer to Islamic commercial jurisprudence and also to an ideology of economics based on the teachings of Islam that takes a middle ground between the systems of Marxism and capitalism”. Menarik menggaris bawahi bagian ini: “ .....between the systems of Marxism and capitalism. Kenapa melihat ekonomi Islam dari kacamata itu? Kenapa harus melalui Marx dan kapitalis? Saya menduga, umumnya buku-buku ajar sekarang tentang ekonomi Islam disusun dari view ini, belum melihat secara asli dan utuh dari Alquran dan hadits. Belum bottom up, namun “diturunkan” dari pemahaman tentang ekonomi dan mashab-mashabnya yang sudah dikenal dunia keilmuan.

Mas dan Mba, Ekonomi Islam bukan juga hasil racikan antara aliran ekonomi kapitalis dan sosialis. Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Berekonomi merupakan kegiatan pokok manusia ada di atas dunia ini, ga mungkin lepas dari nilai-nilai agama, yakni ibadah.Berekonomi ya beribadah.

Ekonomi Islam tidak seperti ekonomi neoliberal. Gagasan neoliberal lahir pada abad ke 19 dengan cirimendorong deregulasi, mendorong pasar bebas, perdagangan bebas, berusaha menghilangkan hambatan dalam perdagangan internasional dan investasi baik hambatan tarif maupun non tarif. Neoliberal mengurangi peran pemerintah.

Gagasan neoliberal berawal dari liberalisme klasik. Ajaran liberalisme klasik menganggap manusia sebagai homo economicus (makhluk ekonomi). Manusia adalah otonom, diberikan kebebasan untuk memilih. Berbeda dengan liberalisme klasik, neoliberal lebih ekstrem dimana tidak perlu adanya campur tangan pemerintah, dan bahkan cenderung batas negara pun diterobos. Jadi, liberalisme klasik dan neoliberal memiliki persamaan yaitu mengutamakan kebebasan individu, mengurangi kekuasaan pemerintahan. Dasarnya adalah individu yang apabila diberi kebebasan akan mampu menghasilkan kesejahteraan untuk semua.

Apakah ekonomi Islam seperti ini? Tentu tidak.

Ada banyak perbedaan prinsip ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam.Ekonomi konvensional dibangun di atas konsep scarcity,  bahwa sumber daya yang tersedia terbatas. Karena diperebutkan oleh para manusia-manusia atomiK bernafsu tanpa batas, maka dibutuhkan sebuah pengaturan. Lahirlah ilmu ekonomi.

Ekonomi Islam lebih luas. Ekonomi Islam tidak hanya mempelajari bagaimana cara (means) pengalokasian sumber daya yang terbatas secara efisien tetapi juga mempelajari tujuan (ends) dari penggunaan sumber daya tersebut. Dan manusia-manusia nya juga bukanlah para hewan-hewan tanpa kontrol. Manusia-manusia Islam membatasi kebutuhannya.

Dalam hal mekanisme distribusi, ekonomi konvensional menggunakan mekanisme pasar bebas (kekuatan invisible hand), walau kemudian oleh beberapa pihak sebaiknya peran negara tidak dinihilkan. Teori Adam Smith mengatakan pasar adalah institusi terbaik, akan memaksimalkan perolehan keuntungan, meningkatkan inovasi, menciptakan pembagian pekerjaan serta kesejahteraan

Sementara ekonomi Islam  meyakini keterlibatan pemerintah sangat dimungkinkan. Terlebih untuk pangan, dan lebih khusus lagi pangan pokok. Sejarah Islam menunjukkan betapa besarnya peran negara.  Peran pemerintah dalam mengawasi pasar dilakukan oleh institusi bernama Al-Hisbah yang memiliki fungsi untuk mengawasi keseluruhan aktivitas ekonomi.

Dalam distribusi kekayaan, jikaekonomi konvensional berorientasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dimana distribusi kekayaan bergantung dari besarnya modal yang dimiliki; dalam ekonomi Islamada keadilan dalam distribusi kekayaan yang diwujudkan melalui mekanisme zakat, infaq, sedekah dan waqaf.

Ada banyak perbedaan prinsip ekonomi syariah dan konvensional. Ekonomi syariah dibuat dan berkembang berdasarkan ketentuan dalam agama Islam. Sumbernya wakyu, langsung dari Allah. Ekonomi konvensional disusun dari muka bumi, itu pun terbatas hanya dari gambaran kebangkitan revolusi industri di Eropa dulu.

Ilmu ekonomi umum ini lalu berkembang jadi banyak cabang, termasuk untuk pertanian. Ilmu ekonomi yang awalnya dari komoditas barang industri dimodifikasi, walau tak begitu sukses, menjadi ilmu ekonomi untuk komoditas pertanian. Bertani tentu tidak sama dengan membuat sepatu. Ada faktor sinar matahari, angin, kesuburan tanah, dan lain-lain. Faktor iklim.

Perbedaan yang paling umum diketahui awam adalah mengenai bunga. Ekonomi syariah tidak mengenal bunga, hanya bagi hasil dan jual beli. Sebenarnya perbedaan keduanya lebih serius dari sekedar itu.

Perbedaan paling mendasar terletak pada prinsipnya. Karena berbeda prinsip maka berbeda pula tujuan, tindakan, norma serta pengembangan prinsipnya. Ekonomi konvensional digunakan untuk memuaskan kebutuhan individu. Sementara ekonomi syariah berpandangan ekonomi dilakukan sebagai ibadah.

Hak milik merupakan komponen pokok dalam ekonomi. Kedua sistem ini mengakui adanya hak milik pribadi. Dalam ekonomi konvensional semua orang tanpa terkecuali berhak memiliki barang, aset, atau uang. Semua orang bisa asal ia memiliki sumber daya untuk mendapatkan hak milik tersebut. Batas untuk memperoleh hak milik tersebut tidak disebutkan seberapa jauh.

Pada ekonomi syariah, kepemilikan diperbolehkan selama tidak menimbulkan kezaliman. Selain itu, kepemilikan individu harus diperoleh dengan cara-cara yang halal dan sesuai dengan ketentuan agama. Barang ataupun sumber daya yang menyangkut hajat hidup banyak orang tidak diperbolehkan untuk dimiliki individu. Individu juga diwajibkan untuk mensucikan harta yang dimiliki melalui zakat, infaq, shodaqoh dan sebagainya. Kepemilikan atau harta yang dimiliki individu tidak boleh terlalu lama ditimbun oleh satu pihak. Harta tersebut harus digunakan dan dikelola untuk kemaslahatan bersama,  tidak boleh dikangkangi sesuka yang punya. Ini lah kira-kira mengapa Rasul ga betah ada uang tersimpan di rumah di bawah bantal, segera disedekahkan. Ekonomi jadi berputar.

Ini terlihat pada lahan. Pada Islam, jika seseorang menelantarkan lahannya, maka negara bisa menyitanya dan diserahkan orang lain untuk diolah. Lahan di bumi luasnya sudah tertentu tidak bertambah, padahal penduduk terus bertambah.

Demikian pula untuk dasar hukum. Lembaga keuangan yang mendasari beroperasinya bank syariah menggunakan hukum yang didasarkan pada syariat Islam yang berlandaskan Al-Qur’an, hadits dan fatwa ulama, tidak hanya sekedar hukum positif yang bisa berbeda-beda antar negara.

Perbedaan lain tentang norma dalam berinvestasi. Maka, bank syariah hanya meminjamkan dana pada seorang pengusaha jika jenis usaha yang dijalankannya baik dan halal. Ekonomi syariah berorientasi pada kebahagiaan hidup baik dunia maupun di akhirat; tidak hanya sekedar bisa makan minum saja.

Ekonomi Pangan dan Ekonomi Pangan Pokok

Frasa “food economy” (ekonomi pangan) cukup banyak di jagad google, namun seperti apa bangun ilmunya Saya belum menemukan referensi yang komprehensif. Sementara di Indonesia, ada beberapa tulisan yang membahas secara sekilas tentang “ekonomi pangan” yang sering digabungkan menjadi “ekonomi pangan dan gizi”.

Materi di google umumnya tentang gejala ekonomi pangan, bukan ilmu ekonomi pangan. Ada satu paper yang judulnya sangat menjanjikan yaitu “The Food Problem: Theory and Policy” (Sen and Sen, 1982), namun isinya masih menggunakan view ilmu ekonomi.

Secara definisi, pangan memiliki batasan agak longgar, yakni semua bahan makanan yang dapat dijadikan makanan. Sedangkan makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan unsur-unsur ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh.

Ekonomi pangan  hakekatnya adalah ilmu yang mempelajari upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan. Nah, jika kita menggunakan dasar ilmu ekonomi umum, maka diasumsikan bahwa sumberdaya pangan terbatas sedangkan kebutuhan tidak. Namun, jika spirit Islam dimasukkan, maka premis bahwa “kebutuhan manusia tidak terbatas” ditolak. Manusia dalam ekonomi Islam bukanlah segerombolan animal yang tanpa moral, juga bukan manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu makannya. Dalam sistem distribusi, pangan diperdagangkan tidak semata-mata mencari uang, tapi demi niatan suci memenuhi kebutuhan manusia.

Trend ke arah ini cukup diakomodasi dalam diskusi tentang ekonomi pangan. Menurut Bunte and Hans (2009), ekonomi pangan perlu memasukkan unsur cultural dan ethical arguments; demikian pula Kinsey (2001) yang memperhatikan the culture of its community dalam manajemen rantai pasok pangan.

Ekonomi Pertanian Islam dan Ekonomi Pangan Islam

Sebelum jauh ke “ekonomi pangan Islam”, baiklah dimulai sedikit dengan Ekonomi Pertanian Islam. Pangan disini diposisikan sebagai bagian pertanian, walau kemudian ada kecenderungan untuk menggeser nya ke dalam kelompok makanan dan obat-obatan. Ini misalnya terlihat dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dibahas di awal tahun 2019.

Kita sudah lama mendengar Ekonomi Islam, namun belum untuk “Ekonomi Pertanian Islam”. Di google tidak ada hasil untuk “Islam Agricultural Economy”.

Logika pertanian Islami bukan seperti logika ekonomi biasa. Satu umbi bawang ditanam, hasilnya 10 umbi bawang. Sepasang domba dipelihara, dalam sekian tahun bisa jadi 10 ekor. Ini jelas campur tangan dan keberkahan yang tak terhingga dari Sang Pemberi Kehidupan. Berapa ribu panci sayur yang dapat dihasilkan dari sehektar tanaman bawang misalnya. Berapa banyak mulut dan perut yang menikmatinya. Sungguh tidak terhitung. Betap ga mungkin nya menghitung nikmat dari rasa sayuran dengan aroma bawang goreng yang pas.

Jadi, jangan melihat hasil panen dari uangnya semata. Satu bawang menjadi sepuluh bawang bisa dianggap kerugian jika misalnya harga bawang di pasaran lagi anjlok. Tapi, jika dilihat dari manfaat dan nikmat yang dirasakannya, tidak ada petani yang sesungguhnya rugi. Jadi, bertani sesungguhnya adalah menyebar benih, menabur kebajikan, menjalankan amal, memanen pahala. Bukan hanya menanam uang untuk uang.

Ekonomi Pertanian Islam bukan sekedar

tanam uang panen uang ...

Jika bertani dipahami sebagai menanam uang untuk uang, maka kita abai memperhitungkan kerusakan yang dibuat. Memakai pestisida serampangan sehingga membunuh cacing-cacing penyubur tanaman tidak dihitung sebagai kerugian. Pupuk anorganik membuat tanah jadi keras, merusak biologi tanah. Analisis usahatani konvesional tidak memasukkan kerusakan tersebut. Hasil juga baru melihat sebatas yield, bukan product.

Pertanian Islam tidak merusak alam. Pertanian Islam menjaga alam. Islam rahmatan lil alamin, bertani secara Islam menghidupkan, bukan menghancurkan.

Tiap hari orang bicara pangan, diskusi tentang ekonomi juga banyak, juga majelis taklim tiap pagi dan petang digelar belajar agama. Namun, raanya belum yang mencoba merangkainya dalam satu tarikan nafas: “ekonomi-pangan-Islami”. Banyak memang yang menyinggung pangan dalam membicarakan pertanian. Namun, belum ada yang berani menyebut bahwa apa yang dibahasnya tergolong sebagai food economy.

Sementara di dunia nyata, meskipun sudah berbagai pendekatan digelar, mulai dari konsep food security (ketahanan pangan), food sovereignty (kedaulatan petani atas pangan), swasembada, dan lain-lain; namun masalah pangan tidak beres-beres. PBB melaporkan ada 800 juta lebih warga dunia menderita kelaparan, dan 120 juta di antaranya mengalami kelaparan akut. Jika dibandingkan dengan penduduk dunia 7,7 milyar jiwa, maka jumlah yang kelaparan lebih dari 10 persen. Ironisnya, ada 1,3 trilyun ton makanan yang terbuang di dunia setiap tahun, atau sama dengan 1/3 dari total produksi makanan dunia. Siapa yang paling banyak membuang-buang makanan (food waste dan food loss) tersebut? Urutannya dari yang paling parah adalah Arab Saudi, Indonesia, AS, dan Uni Emirat Arab. Subhanallah.

Artinya, Bapak dan Ibu, ilmu ekonomi pertanian yang telah kita terapkan ini ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah pangan dunia. Banyak kekeliruan ilmu ini, misalnya sikap yang memandang rendah makanan sebagai produk industri. Hanya sekedar  “produksi”; bukan sebuah anugerah dari Allah yang harus dihargai tinggi. Dengan menghargai makanannya berarti kita juga menghargai yang memproduksinya. Maksudnya, sudah saatnya kita melirik pedoman dari Allah dalam menata pertanian dan pangan ini.

Ilmu ekonomi pertanian diturunkan dari ilmu ekonomi, dengan mengganti objeknya menjadi barang-barang produk pertanian. Apakah memadai bangun ilmu dengan paradigma dan pendekatan seperti ini diturunkan lagi menjadi Ilmu Ekonomi Pangan? Di sisi lain, ekonomi pertanian berbicara tentang barang primer, namun diturunkan dari ilmu yang dibangun dari objek benda sekunder dan tersier?

Tampaknya pangan pokok mesti keluar dari mekanisme pasar. Setidaknya ada empat alasannya. Satu, manusia memiliki naluri dan moral dasar untuk menolong hidup sesamanya. Orang akan mati jika tidak makan. Maka, di suku apapun, pada agama manapun, di desa dan kota, di masyarakat tradisional; orang suka berbagi makanan dan bahan makanan. Sampai di dunia modern ini pun orang masih senang berbagi makanan. Ada pesta-pesta di kota besar dengan makanan berlimpah, gratis. Kita juga senang mentraktir teman dan tamu.

Masyarakat tradisional tidak pernah menjual makanan sesamanya. Pada masyarakat peramu dan pemburu, bahan pangan biasa dikumpulkan pada satu tempat lalu dikonsumsi bersama. Mereka membuat lumbung pangan komunitas. Kebiasaan ini terus dipelihara oleh masyarakat  sekarang. Kita adakan  arisan, selamatan, dan pesta sebagai mekanisme berbagi makanan.

Dua, makanan selalu dihasilkan dari tanah, langsung maupun tidak langsung. Nah, karena sesungguhnya sepetak lahan tidak pernah benar-benar dimiliki seorang manusia, dimana kita hanya berhak menggarapanya; maka sesuatu yang lahir dari bukan miliknya tentu juga bukan miliknya secara penuh. Ada unsur sosial disitu. Ada unsur sosial dari setiap hasil panen itu.

Tiga, agama pun mengajarkan kita untuk tidak menjadikan pangan pokok sebagai barang ekonomi dengan mekanisme pasar. Begitu banyak anjuran dan ajaran untuk menjamu tamu, hadits agar melebihkan bikin sayur agar bisa berbagi, dan seterusnya.

Empat, nilai tambah yang dikeluarkan dari tanah berlipat-lipat dari usaha yang telah dicurahkan seorang manusia. Sebutir biji dilempar ke tanah, lalu lima tahun kemudian sudah berbuah. Dimana usaha manusia si pelempar tadi di dalamnya? Artinya, ini hampir seluruhnya adalah berkah dari lahan, dari alam, ya dari Allah. “Dan Bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-(Nya), didalamnya ada buah-buahan dan pohon  kurma yang mempunyai kelopak mayang”  (Ar-rahman: 10-11).

Ketahanan Pangan dalam Sistem Islam

Ketahanan pangan dalam sistem Islam tidak terlepas dari sistem politik Islam. Politik ekonomi Islam memiliki visi menjamin pemenuhan semua kebutuhan primer (kebutuhan pokok bagi individu dan kebutuhan dasar bagi masyarakat) setiap individu per individu secara menyeluruh. Ketahanan pangan tidak bisa ditawar. Jika untuk pangan pokok bergantung pada impor, sama halnya menggadaikan negara pada negara lain.  Ketergantungan pada impor bisa membuka jalan pengaruh asing terhadap politik satu negara. 

Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan.“Anak Adam tidak memiliki hak pada selain jenis ini: rumah yang ia tinggali, pakaian yang menutupi auratnya dan roti tawar dan air (HR at-Tirmidzi). Jadi, pemerintah harus memenuhi kebutuhan pangan, papan dan sandang, yakni zhillu baytin (atau bayt yaskunuhu (rumah), tsawbun yuwârî ‘awratahu (pakaian yang menutupi auratnya), dan jilfu al-hubzi wa al-mâ’ (roti tawar dan air). 

Dalam memberikan jaminan ini negara akan menggunakan mekanisme ekonomi dan non ekonomi. Bentuk mekanisme non ekonomi di antaranya adalah tanggung jawab kerabat. Urutan tanggung jawabnya jelas yaitu:

1.       Pertama, tanggung jawab individual. Islam memerintahkan agar setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang berada di bawah tanggungannnya (Al-Baqarah: 233).

2.       Kedua, tanggung jawab kerabat. Jika belum terpenuhi, baik karena ia tidak bisa bekerja atau pendapatannya tidak cukup, maka kerabatnya mulai dari yang terdekat diwajibkan untuk turut menanggungnya (Al-Baqarah: 233). 

3.       Ketiga, tanggung jawab pemerintah. Jika belum terpenuhi juga, maka tanggungjawab itu beralih menjadi kewajiban baitul mal (negara). Rasul SAW bersabda: “Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka, siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku.” (HR an-Nasai dan  Ibnu Hibban). Mekanisme dari negara misalnya berupa hak kaum dhuafa atas zakat. 

Untuk mekanisme ekonomi, maka negara harus menjamin terlaksananya hukum-hukum syara terkait dengan ekonomi, seperti hukum-hukum kepemilikan, pengelolaan  dan pengembangan kepemilikan, serta distribusi harta di tengah masyarakat. Untuk menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang sesuai syari’at, negara akan menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi yang menghambat, seperti penimbunan, kanzul mal, serta riba, monopoli, dan penipuan. 

Agar pangan terjamin, maka negara kudu menguasai sumber daya utama produksi pangan, yakni lahan. Islam agak “keras” soal tanah ini. Untuk tanah yang ditelantarkan tiga tahun berturut-turut baik itu dari warisan, membeli, dan hibah; maka diambil oleh negara dan didistribusikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya. Abu Yusuf meriwayatkan di dalam kitab al-Kharâj dari Umar bin al-Khathab: “… Tidak ada hak bagi orang yang memagari tanah mati setelah tiga tahun”. Pada hadits lain disebutkan: “Siapa saja yang memiliki tanah lalu ia telantarkan tiga tahun tidak ia gunakan, lalu orang lain menggunakannya maka orang lain itu lebih berhak atas tanah itu”.

Pada masa pemerintahan Umar dan dilanjutkan pada masa Umayyah, daerah delta sungai Eufrat dan Tigris dan daerah rawa-rawa di Irak dikeringkan dengan jalan dibangun saluran-saluran air untuk menjadi lahan pertanian, dan selanjutnya dibagikan kepada akyat yang mampu menanaminya.

Negara juga dapat melakukan intervensi di pasar, namun tidak dengan mematok harga. Kebijakan pengendalian harga adalah dengan mengendalikan supply dan demand.  Anas RA menceritakan bahwa suatu ketika harga pernah sangat tinggi, lalu para sahabat meminta Rasulullah untuk menetapkan harga, namun Rasul menolak melakukannya. Rasul bersabda:“sesungguhnya Allahlah yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezki dan aku sungguh ingin menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad).

Di samping semua itu, Islam melarang perserikatan atau asosiasi produsen, konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan, kolusi atau persekongkolan untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan, misalnya membuat kesepakatan harga jual minimal, sesuai sabda Rasul SAW. Juga untuk para penimbun (muhtakir) yang disebut Rasul sebagai dosa besar dan dikutuk oleh Allah.

Urgensi Penerapan “Ekonomi Memberi” untuk Menata Pangan Pokok

Sejak awal, ilmu ekonomi dikonstruk atas basis transaksi “saling mengambil”. Deskripsi Ekonomi Pangan Islam utamanya untuk pangan pokok memperlihatkan bahwa ada opsi lain yang sudah dijalankan lama, yaitu transaksi “saling memberi”. Orang-orang secara naluriah senang berbagi makanan. Suku manapun dan agama apapun. Bahkan sekarang, di dunia modern pun, kita masih suka melakukannya. Jika ketemu kawan lama, kebiasaan kita adalah mengajak makan. Ya, berbagi makanan.

Apakah mungkin mengkontruk dan menjalankan “ekonomi berbagi” atau “ekonomi memberi ini” ? Tentu ini sebuah perubahan yang spektakuler.

Namun, why not lah. Karena bidang ekonomi dan elemen sosio religi kultural yang melekat padanya sangat variatif. Dan kita mesti terbuka untuk berbagai ide-ide segar yang lebih solutif. Kita harus menyusun kontruksi baru untuk ekonomi pangan dunia, yang sampai saat ini ternyata tidak beres-beres.

Dalam bentuk yang agak mirip, akhir-akhir ini berkembang sharing economy (ekonomi berbagi). Sharing economy adalah “ ..... a way of distributing goods and services that differs from the traditional model of corporations hiring employees and selling products to consumers”. Bentuknya adalah berbagi tempat kerja (co-working platforms), saling bantu permodalan (peer to peer lending platforms), saling meminjam pakaian (platform mode), saling berbagi pekerja freelance (feelancing platforms), juga berkembang saling memberi tumpangan, berbagi taksi, dan lain-lain. Platformnya adalah berbagi sumberdaya, peran dan bagi hasil yang dimungkinkan karena ketersediaan teknologi informasi berbasis digital.

Dalam pertanian, Rhenald Khasali (pakar manajemen), menconotohkan ada seorang pemilik tanah melihat banyak petani lain yang butuh melewati tanahnya. Dalam ekonomi berbagi, pemilik tanah tidak akan melarang atau menutup jalan, melainkan menawari petani untuk kerja sama dan berbagi untung. Si pemilik tanah misalnya akan menawarkan si petani untuk merawat tanamannya agar nantinya bisa dibagi hasil.

Sesungguhnya, sikap berbagi aset sudah dilakukan sejak ribuan tahun.  Munculnya internet dan penggunaan big data, telah membuatnya lebih mudah bagi pemilik aset dan pengguna aset untuk berkomunikasi satu sama lain.

Masyarakat era kekalifahan biasa menerapkan mekanisme non pasar. Pada  waktu paceklik melanda Hijaz (Medinah), Umar bin Khaththab menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash  dan memerintahkannya untuk mengiripkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut. “Saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang ‘kepalanya’ ada di hadapan Anda (Madinah) dan dan ekornya masih dihadapan saya (Mesir)”.

Berkenaan dengan pangan, sebagaimana dijelaskan di awal, produksi pangan dunia sangat cukup, namun pola konsumsi kita lah yang membuat seolah-olah pangan kurang. Maka, kendalikan lah lidah dan perut Anda. Sebagaimana di jelaskan di atas, Islam memberi solusi suatu masalah secara komprehensif. Artinya, agar pangan cukup, perlu ditata sisi supply dan sisi demand nya sekaligus. Kita semua harus mengendalikan nafsu.

Saya sangat ingin tahu, apakah di zaman Rasul ada warung makan? Saya telah coba menyampaikan pertanyaan ini kepada banyak ahli agama namun belum ada jawaban.

Jika bertolak dari konsep melayani tamu, bukankah setiap tamu yang datang ke satu rumah menjadi tanggung jawab penuh si tuan rumah melayaninya full selama 3 hari. Makan dan tidur gratis. Nah, jika kita lebarkan, maka jika ada seorang atau serombongan tamu datang ke satu kampung, bukankah mestinya menjadi kewajiban kampung tersebut memenuhi kebutuhannya. Ini misalnya biasa terjadi di zaman perjuangan dulu.

Jika ini dijalankan, maka berarti berdagang makanan (makanan pokok) tidak dibutuhkan. Atau, jika pun berusaha makanan pokok semestinya bukan untuk mencari kekayaan, bukan sebagai bisnis. Wallahu a’lam.

Ekonomi Islam tidak bermaksud memenuhi segala bentuk jenis dan variasi kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak bertepi. Pahala adalah tujuan hidup, tujuan berekonomi itu sendiri. Jika memberi membuat orang berpahala, mengapa orang harus menjual, baik menjual murah apalagi menjual mahal. Maka, sangat tercela lah orang yang menjadikan pangan sebagai senjata mencari kekayaan, mendominasi, dan menguasai orang lain.

Apakah transaksi jual beli adalah mekanisme yang paling efektif dan adil? Efektif mungkin iya, tapi adil belum tentu. Dalam setiap jual beli, sebenarnya kita tidak pernah bisa membayar sepenuh-penuhnya seharga yang kita bayar tersebut. Termasuk pelayanan jasa.

Mengapa pangan perlu dipandang berbeda? Saya mau mengatakan bahwa setiap benda memiliki ciri dan posisi yang khas di tengah masyarakat, sehingga setiap benda ini tidak memadai jika difahami dengan ilmu umum yang berlaku untuk benda-benda lain. Simplifikasi pada teori tidak akan bisa menghargai dan memberi ruang pada pangan sebagai benda yang khas.

Jika selama ini pangan sering dikelompokkan sebagai barang kebutuhan primer atau pokok, tampaknya tidak memadai. Mestinya ia lebih utama lagi, sebutlah sebagai “benda kebutuhan dasar”. Lebih lagi tinggi dari “barang pokok”.

Mengapa pangan perlu menajemen berbeda? Ya, karena pangan itu khas. Ia diproduksi dari tanah, langsung atau tak langsung. Tak ada pangan murni bikinan pabrik.

Dan, masalahnya, luas tanah  di dunia ini tetap. Tidak berubah. Bagaimana benda yang seperti ini disamakan dengan benda-benda lain.

Selain itu, memproduksi pangan tidak akan sama dengan benda manufaktur. Industri manufaktur adalah industri yang merubah dari bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan bahan jadi.

Yang manakah “Pangan Pokok” atau “Pangan Utama”? Ya, perlu dibatasi pangan yang mana. Tiap masyarakat harus membatasi mana yang disebut sebagai pangan pokoknya.  Menurut Saya, baiknya dibatasi pada pangan yang diolah secara sederhana, dan dijual dengan harga murah.

Pangan dalam Islam, setidaknya dalam sirah nabawiyah yang kita ketahui, tidak mengenal pengolahan yang sulit-sulit. Pangan hanya direbus, dibakar, dan mungkin digoreng. Dan pangan hanya yang dikonsumsi sehari-hari. Tidak ada makanan yang begitu mahalnya, misalnya karena diolah dengan cara yang rumit lalu harganya jadi selangit.

Itulah makanan sejalan dengan konteks pangan sebagai kebutuhan pokok. Yakni pangan untuk memenuhi kebutuhan biologis, bukan pangan-pangan prestise yang dihidangkan pada pesta-pesta kaum elit.

Apa pangan yang paling pokok? Pangan pokok biasa disebut dengan “staple food”. Pangan juga masih ada tingkatannya, ada yang sangat pokok yang sangat dibutuhkan untuk hidup. Kalau di Indonesia secara umum adalah beras, di beberapa wilayah adalah ubi jalar misalnya.

Pangan pokok (staple food) adalah makanan yang menjadi gizi dasar. Makanan pokok biasanya tidak menyediakan keseluruhan nutrisi yang dibutuhkan tubuh, oleh karenanya biasanya makanan pokok dilengkapi dengan lauk pauk untuk mencukupkan kebutuhan nutrisi seseorang dan mencegah kekurangan gizi. Makanan pokok berbeda-beda sesuai dengan keadaan tempat dan budaya, tetapi biasanya berasal dari tanaman, baik dari serealia seperti beras, gandum, jagung maupun umbi-umbian seperti kentang, ubi jalar, talas, dan singkong.

Produk ternak, daging dan susu, juga tergolong pangan; namun bukan pangan utama. Orang masih bisa hidup jika sebulan tidak memperoleh daging dan susu. Di Indonesia banyak orang yang hanya ketemu daging dua kali setahun, yaitu saat lebaran haji dan lebasan Idul Fitri. Namun, suku bangsa yang secara tradisional merupakan pemburu seperti orang Eskimo menjadikan daging dan ikan sebagai makanan utama.

Mengapa pangan harus diberlakukan berbeda? Sebagian besar pendapatan kalangan miskin habis untuk beli pangan. Dan merupakan kewajiban kalangan mampu membantu warga miskin. Pangan adalah pilihan yang paling prioritas. Jika pangan sudah selesai, maka energi akan dipakai untuk hal-hal yang lebih bermakna.

Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga beras merupakan komoditas kuasi publik yang memiliki nilai strategis, baik dari aspek ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan politik. Beras mungkin bisa dipertimbangkan untuk dikeluarkan dari mekanisme pasar. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas di dalam mengimplementasikan kebijakan stabilisasi harga beras diperlukan kebijakan harga yang komprehensif. Untuk itu perlu dirumuskan suatu kebijakan yang mampu melakukan harmonisasi hubungan antara petani produsen, industri pengolahan, pelaku pemasaran, hingga ke tingkat konsumen dalam suatu rantai pasok yang efisien dan memberikan keuntungan yang wajar bagi masing-masing pihak.

Apakah mungkin menjadikan pangan keluar dari mekanisme pasar?

Sulit. Pasti sulit. Karena sudah terlanjur membatu pada fikiran dan perilaku kita sehari-hari, bahwa pangan adalah jualan yang menarik, mudah, dan selalu laku di pasar. Para ahli ekonomi sudah menggunakan analisisnya bicara kian kemari menggunakan dasar pangan sebagai benda ekonomi. Pangan diproduksi untuk dijual, jadi lah ia agribisnis. Jika harga lagi murah, pangan ditahan dulu, menunggu harga tinggi. Pemerintah menggunakan politik pangan. Dan seterusnya.

Namun pangan dikeluarkan dari mekanisme pasar bukannya tidak mungkin. Ini dapat terjadi jika ada niat suci. Tentu juga tidak berarti sama sekali tidak diperdagangkan. Jika pun diperjual belikan, konteksnya demi kemanusiaan, tidak cari untung besar.

Kebutuhan pangan tidak besar, dan dunia surplus pangan. Namun ada yang menyimpan dan menahannya. Mekanisme pasar tidak bisa mendistribusikan gandum dari wilayah produksi yang surplus ke daerah minus dengan lancar. Alasan utamanya adalah itu diproduksi dengan biaya tinggi, maka harus dibayar jika mau. Tapi, jika wilayah minus diposisikan sebagai korban bencana, maka gandum akan dikapalkan secepat-cepatnya tanpa meributkan biayanya dari mana. Ya, perlu bencana dulu.

Pangan bukan benda ekonomi. Ia kebutuhan pokok, jangan disamakan dengan benda dan kebutuhan lain. Karena ia pokok maka orang yang berbagi mendapat pahala yang lebih besar. Orang punya pilihan menjual atau memberi. Jika memberi, maka jauh lebih baik.

Jika tidak masuk mekanisme pasar, bisakah pangan dikelola total oleh pemerintah?  Bisa. Era baitul mal telah menjalankan pola ini. Pangan bisa digratiskan, karena biaya produksinya sebenanrnya bisa sangat murah dengan cara mengolah lahan pemerintah, input dari pemerintah, dan konsumsi pun tidak berlebihan namun sesuai kebutuhan biologis pokok manusia. Thailand sering diberitakan sebagai contoh keterlibatan total pemerintahnya dalam pangan. Pemerintah membeli seluruh gabah hasil panen petani, dan hebatnya lagi, 50 persen di atas harga pasar.

Selain tu, pangan di luar mekanisme sebenarnya pasar sudah berlangsung di level masyarakat. Saling berbagi bahan makanan dan makanan jadi sudah biasa. Saat ini pun masih.

Apakah Islam memberlakukan pangan sebagai sesuatu yang berbeda? Jik ya, mengapa?

Ya, pangan memiliki posisi penting dalam Islam. Ia harus diperlakukan khusus. Orang yang memproduksinya (petani) memiliki kedudukan khusus, yang mengkonsumsinya juga, dan yang memperdagangankannya harus patuh pada pedoman khusus.

Negara pun memandang pangan berbeda. Ini menyangkut hidup mati orang. Orang tidak mati karena ga punya TV, tapi nasi tidak bisa ditunda-tunda. Maka, sangat tidak elok ada pihak atau satu negara menjadikan pangan sebagai alat untuk menguasai pihak tertentu. Ini sungguh tidak beradab.

Jika anda punya kelebihan pangan, bagikan segera. Kenapa? Karena berlebih itu ga berguna, dan pangan umumnya gampang busuk. Beda dengan sepatu, punya sepatu 100 pasang ga soal karena ga akan rusak.

Saat ini, ketika pangan dilepas ke mekanisme pasar, betapa besar keuntungan dan kekayaan orang-orang yang bermain di pangan. Margin nya besar dan proporsi penguasaannya juga dominan. Pangan dijadikan sumber kekuasaan, yang dimulai dengan penguasaan lahan secara luas dengan menerapkan berbagai cara, dengan kesadaran bahwa lahan adalah sumber utama produksi pangan.

Ekonomi Islam tidak hanya untuk muslim

Ekonomi Islam jangan dipandang ekslusif hanya untuk kalangan Islam. Ini adalah sistem ekonomi yang fitrah, dari agama manapun mereka. Ekonomi Islam berfikir pada kebahagian manusia, tidak sekedar kebutuhan hidup. 

Ekonomi konvensional membicarakan bagaimana cara mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara optimum. Ekonomi konvensional berfungsi untuk “mengeksplorasi dan menjelaskan”, bukan untuk memberikan “advocate” atau melarang “condemn”. Sedangkan tujuan dari ekonomi Islam itu sendiri merupakan “goal oriented disciplin” yang berarti ekonomi Islam tidak hanya mempelajari bagaimana cara (means) pengalokasian sumber daya terbatas secara efisien tetapi juga mempelajari tujuan (ends) dari penggunaan sumber daya tersebut.

Ekonomi konvensional berlandaskan pada teori yang dikemukakan Adam Smith bahwa manusia bersifat rasional yang artinya mementingkan kepentingan pribadinya masing-masing atau self interest. Adam Smith jelas mengeliminasi beberapa faktor seperti agama,  keyakinan, dan lingkungan dalam mengemukakan konsep ini.

Konsep self interest dan more is better than less ini dibantah melalui Alquran surat Al-Baqarah ayat 261. Allah SWT berfirman: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Orang dianjurkan - dan tentunya kemudian - senang berbagi. Memberi begitu saja, tidak melalui mekanisme pasar.

Azas ekonomi kapitalis didasarkan pada laissez faire (bebas, liberal). Ia tidak mempehatikan adanya nilai-nilai gotong royong, tolong-menolong dan kebersamaan dalam bingkai religius; yang hidup di masyarakat bahkan yang belum beragama sekalipun. Tujuan ekonomi Islam yaitu “untuk membangun sebuah tatanan ekonomi negara yang berakhlak mulia berazaskan persamaan dan keadilan untuk melahirkan masyarakat yang madani di bawah lindungan Allah. Ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai ekonomi Rabbani dan Insani. Disebut Rabbani karena sarat dengan arahan dan nilai-nilai Ilahiah. Dan disebut Insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran manusia. Bersifat general dan dapat diterapkan secara universal.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar