(Draf Buku “BERTANI
DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri
Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam. Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)
Sejatinya,
sampai hari buku ini ditulis, belum ada ilmu atau cabang ilmu “Ekonomi
Pertanian Islam”. Ekonomi Pertanian ada, Ekonomi Islam ada, tapi belum ada
Ekonomi Pertanian Islam. Sementara itu, Ekonomi Pangan(Food Economy)ada walau belum banyak, sedangkan Ekonomi Pangan
Islam (Islamic Food Economy) belum
ada, apalagi "Ekonomi Pangan Pokok Islam (Islamic Staple Food Economy). Memberlakukan pangan (food) akan beda dengan pangan pokok (staple food). Saya akan
coba beberkan serba sedikit di ruang yang terbatas ini. Kesemuanya ini saya bungkus sebagai “Sosial Ekonomi Pertanian Islam” (Islamic Agricultural Socio-economic).
Bagian
ini Saya susun secara sederhana dalam bentuk perkembangan ilmu yang sudah umum
ditengah masyarakat, yakni dilmulai dengan Ilmu Ekonomi, yang lalu salah satu
cabangnya menjadi Ilmu Ekonomi Pertanian. Kemudian diikuti Ekonom Islam, yang
sebenarnya sihmuncul duluan, namun
diskursusnya di dunia dan Indonesia ramainya belakangan,dan terakhir
disampaikan tentang “Ilmu Ekonomi Pangan Islam”.
Tentu
saja “Ilmu Ekonomi Pangan Islam” ini baru sebatas ide. Ilmu ini belum lahir dan
belum ada, bahkan tampaknya belum ada kalangan ilmuwan yang mendiskusikannya,
setidaknya sepanjang yang Saya lacak di google
search engine. Namun, Saya bermaksud menyampaikan betapa pentingnya kita
membicarakan ini dan membangunnya bersama-sama.
Pangan,
utamanya pangan pokok (staple food)
tidak bisa dikelola sama seperti barang-barang industri yang ditata menurut ilmu ekonomi industri
kapitalistik yang mengutamakan pendapatan dan keuntungan dan miskin ruh
kultural dan keilahian yang hak. Sejarah
Islam telah mengajarkan kita bagaimana mestinya mengelola pangan, sebagai
berkah yang mesti ditata menurut tuntunan Allah SWT. Itulah “Ilmu Ekonomi
Pangan Islam”.
.4.1. ILMU EKONOMI DAN EKONOMI PERTANIAN
Ilmu ekonomi
dikembangkan pada era revolusi industri di Eropah, yakni satu sistem industri
yang memproduksi barang-barang manufaktur, bukan produksi pangan yang sangat
bergantung alam. Lalu, ilmu ekonomi sebagai ilmu induk ini telah
melahirkan berbagai cabang kian kemari. Sebagaimana
kita tahu, awal terbentuknya ilmu ekonomi sangat terpengaruh oleh
karakter sosial dunia industri di zaman itu.
Akibatnya, ilmu ekonomi pertanian yang berkembang lebih belakangan, sebagai cabangnya; tidak bisa menghilangkan sepenuhnya sifat khas
industri ini.
Ekonomi secara umum adalah ilmu sosial yang menganalisa produksi, distribusi, serta konsumsi barang dan jasa. Ia fokus pada bagaimana economic agents berperilaku dan berinteraksi dan bagaimana ekonomi bekerja. Buku Adam Smith “The Wealth of Nations” tahun 1776 dijadikan sebagai tonggak kelahiran ilmu ekonomi. Ia membahas lahan, tenaga kerja dan modal sebagai tiga faktor utama untuk kesejahteraan.
Perbedaan
ilmu ekonomi dengan ekonomi pertanian
Ekonomi |
Ekonomi pertanian |
Nama lainnya adalah “conventional
economics”, atau “general economics” |
“Agricultural economics” atau “agronomics” |
Ilmu yang
mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti
masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang
tidak terbatas, sedangkan sumberdaya terbatas. |
Aplikasi
prinsip-prinsip ekonomi pada produksi pertanian, fokus pada bagaimana
memaksimalkan hasil produksi pertanian. Dikenal juga sebagai ”Agronomics” sebagai cabang
ekonomi yang berkaitan dengan
penggunaan lahan. Mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan pertanian,
sehingga dapat dicari penyelesaian dan jalan keluarnya. |
Adam Smith (1776) sebagai yang pertama
mengembangkan ilmu ekonomi. Melalui karyanya The Wealth of Nation, Smith mencoba mencari tahu sejarah
perkembangan negara-negara di Eropa. Lalu Marshall, Keynes, dan Karl Marx
menggunakanmetode kuantitatif untuk menganalisis fenomena ekonomi. Jan
Tinbergen setelah PD II mempelopori ilmu ekonometri, yang mengkombinasikan
matematika dan statistik dengan
teori ekonomi. Kubu lain dari metode kuantitatif dalam ilmu ekonomi adalah
model general equilibrium
(keseimbangan umum). |
Mulai tahun 1890, yaitu saat depresi pertanian di Amerika,
sehingga dirasa perlu mengembangkan suatu cabang ilmu baru untuk memahaminya
dan agar tidak terulang lagi kejadian serupa. Di Eropa oleh Von Der Goltz
tahun 1885, HC Taylor mendirikan Department of Agricultural
Economics di Wisconsin tahun 1909, lalu tahun 1979 T.
Schultz mengembangkan ekonomi dikaitkan langsung
dengan masalah pertanian. Schultz mengembangkan eknometrika sebagai alat
untuk menganalisis ekonomi pertanian secara empiris. Universitas
Cornell mengajarkan Economics of
Agriculture (1901) dan Farm Management (1903), dan
Universitas Ohio mengajarkan Rural
Economics (1892). Sejak tahun 1910, mata kuliah ekonomi pertanian diajarkan di tiap universitas di AS. |
Setelah depresi
besar tahun 1930-an lahir kesadaran
bahwa pasar tidak selalu mampu menciptakan keseimbangan, dan karena itu
intervensi pemerintah harus dilakukan agar distribusi sumber daya mencapai
sasarannya. Lahir banyak varian yaitu new classical, neokalsik, new
keynesian, monetarist, dll. |
Basisnya adalah pada sistem produksi dan perdagangan pertanian, dan
dibedakan pula atas ekonomi mikro dan makro.Bidangnya mencakup small business management, marketing and
finance, financial planning, veterinary business management, community economic development,
environmental policy and planning, and international trade and development.Kombinasi antara
teori perusahaan (theory of the firm) dengan pemasaran dan teori organisasi. |
Di Indonesia, ilmu ekonomi pertanian (Agricultural
Economics)mulai diajarkan oleh Prof. Iso
Reksohadiprojo dan Prof. Ir. Teko Sumodiwirjo. Sementara, Perhimpunan Ekonomi
Pertanian Indonesia (Perhepi) dibentuk pada bulan Februari 1969 di Ciawi,
Bogor.
Ilmu ekonomi
pertanian adalah perkawinan antara ilmu ekonomi dengan pertanian. Beberapa
teori utama yang dikombinasikan adalah
teori perusahaan (Theory of The Firm)
dengan pemasaran dan teori organisasi. Sejak tahun 1970, ekonomi pertanian
fokus kepada tujuh topik utama yaitu ekonomi lingkungan
dan sumberdaya, resiko dan ketakpastian (risk
and uncertainty), konsumsi dan rantai suplai pangan, harga dan pendapatan,
struktur pasar, perdagangan dan pembangunan, serta technical change and human capital. Sekarang ilmu ini semakin
terintegrasi yang mencakup manajemen usahatani dan ekonomi produksi, rural finance and institutions,
pemasaran pertanian dan harga, kebijakan
pertanian dan pembangunan, ekonomi pangan dan nutrisi (food and nutrition economics), serta ekonomi lingkungan dan
sumberdaya.
Namun, ekonomi
pertanian juga cenderung semakin lebih berorientasi mikro. Lulusannya semakin
cenderung sebagai seorang a traditional
business degree dibandingkan traditional
economics degree. Saat ini “…many
agricultural economics programs focus on a wide variety of applied micro- and
macro-economic topics. Their demand is driven by their pragmatism, optimization
and decision making skills, and their skills in statistical modelling
(Evenson dan Pingali, 2007).
Bagaimanapun ilmu ekonomi pertanian lahir dari ilmu
ekonomi yang dalam perjalanannya banyak terpengaruh oleh sistem ekonomi
industri. Ekonomi industri adalah “....the
systematic, sustained involvement of an individual or group in activities that
produce defined results that can be duplicated”. Cirinya adalah mampu menghasilkan barang dengan bentuk yang sama
persis dan cepat, karena mereka bekerja pada sistem yang dapat diisolasi
sepenuhnya.
Sementara pertanian sangat bergantung kepada alam. Gara-gara terpengaruh
oleh karakter industri ini, maka pertanian diinginkan juga seperti industri. Maka, mulailah lahir keinginan yang aneh-aneh,
misalnya ingin semua buah mangga bentuknya sama, manis dan asamnya sama. Juga
ingin mangga ada tiap bulan. Seragam dan ada tiap
saat.
Karena masih terperangkap pada
sifat sektor industri tersebut, lahirlah “Industrial Agriculture” yaitu usaha
pertanian yang “...Farming has evolved
into big business. Raising livestock or produce focuses on yield. Mono planting
(one type of crop) and warehousing large numbers of cash animals, such as beef
and chickens in smaller confined areas, has economic advantages for the farmer
and, in turn, brings better prices to the consumer”. Pertanian dikelola
secara industri. Dibanggakan sebagai “pertanian modern” dengan teknologi tinggi, input serba kimia, dan
mesin-mesin. Namun pola ini penuh resiko lingkungan dan produknya tidak sehat dimakan.
By
the way,
jika ekonomi neoklasik telah berkembang ke arah ekonomi kelembagaan, bagaimana
dengan ekonomi pertanian? Apakah ada “ekonomi
kelembagaan pertanian”?
Ada banyak
ketidakpuasan terhadap faham Ekonomi Neo Klasik, atau sering dilabeli sebagai ekonomi
kapitalisme-liberal. Di kalangan akademis Indonesia pernah muncul “Ekonomi
Kerakyatan” dan “Ekonomi
Pancasila”. Semuanya berasal dari ilmuwan Indonesia sebagai upaya mencari
bentuk konsep ekonomi alternatif yang dirasa lebih sesuai bagi Indonesia. Dan
sekaligus, sebagai bentuk kritik terhadap teori-teori ekonomi dari Barat yang
dirasa kurang tepat. Tokoh pencetusnya
adalah Bung Hatta, Prof. Mubyarto, Presiden
Sukarno, dan Prof. Sri Edi Swasono.
Banyak kritik yang dialamatkan
terhadap ilmu ekonomi. Kritik terhadap ekonomi ortodoks yang paling keras
misalnya datang dari Paul Ormerod dalam bukunya The Death of Economics (tahun 1994), yang
menyatakan “tidak ada sebuah model ekonomi yang bisa dipakai dimana saja”. Para
forecaster telah beralih ke
pendekatan perkiraan pribadi(judgmental
adjustmenst)
dari model-model ekonomi makro lama. Lebih jauh ia menyarankan: “Ekonomi perlu menggunakan analisis ex-post,
yaitu mempelajari setelah sebuah peristiwa terjadi. Yaitu seperti paleontologi
(ilmu tentang fosil), astronomi dan klimatologi; yang teorinya dibangun dari
data-data yang dikumpulkan secara nyata bertahun-tahun”.
Apa bedaekonomi kapitalisme liberal dengan ekonomi kerakyatan? Jika ilmu ekonomi Barat
memahami manusia sebagai ”homo
ekonomikus”, bukan sebagai ”homo
moralis” atau ”homo socius”; ekonomi
kerakyatan memahami manusia sekaligus sebagai ”homo ekonomikus”,”homo moralis”dan”homo socius”. Yang ini bagus untuk
mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial, tidak sekedar tumbuh dan
tumbuh.Lebih demokratis, lebih induktif, disesuaikan dengan kondisi sosiokultural masyarakat
Indonesia. Ini memiliki kandungan
kemandirian, kemerataan, dan keswadayaan di dalamnya.
Ekonomi rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan
kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara
resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian
nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut sektor informal, “underground
economy”, atau “extralegal sector”. Istilah “ekonomi kerakyatan”
secara resmi dicantumkan dalam Ketetapan MPR yaitu Tap Ekonomi Kerakyatan No. XVI
tahun 1998. Istilah ini semakin mantap ketika telah masuk pada berbagai produk
hukum dan kebijakan, misalnya dalam UU No. 25/2000 tentang Propenas (Mubyarto,
2002). Namun akhir-akhir ini, istilah
“ekonomi rakyat” dihindari, dan salah satu gantinya adalah dengan
sebutan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang berasal dari istilah Small and
Medium Enterprises (SME).
Pada
prinsipnya, ekonomi kerakyatan ataupun ekonomi rakyat, adalah sistem ekonomi
yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan
ekonomi rakyat. Ekonomi kerakyatan menunjuk pada sila ke-4 Pancasila, yang
menekankan pada sifat demokratis sistem ekonomi Indonesia. Dalam demokrasi
ekonomi Indonesia, produksi tidak hanya dikerjakan oleh sebagian warga tetapi
oleh semua warga masyarakat, dan hasilnya dibagikan kepada semua anggota
masyarakat secara adil dan merata (penjelasan pasal 33 UUD 1945). Artinya,
ekonomi rakyat memegang kunci kemajuan ekonomi nasional di masa depan, dan
sistem ekonomi Pancasila merupakan “aturan main etik” bagi semua perilaku ekonomi
di semua bidang kegiatan ekonomi (Mubyarto, 2002).
Sementara itu,
“Ekonomi Pancasila” juga digulirkan salah satunya oleh Mubyarto (1981), sebagai
lawan dari konsep kapitalisme liberal. Pada
hakekatnya, sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang
memihak pada upaya-upaya mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat. Ia memihak
pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau
perikanan rakyat. Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan
ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang
didasarkan pada etika atau moral Pancasila (Mubyarto, 2003). Disini, pemerintah
dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud
kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi
kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi
dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.
Tekanan
dalam ekonomi rakyat adalah pada kegiatan produksi,bukan
sekedar konsumsi,sehingga
buruh pabrik tidak masuk dalam
profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah bagian dari unit
produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan. Meskipun sebagian
perusahaan yang dikenal sebagai UKM (Usaha KecilMenengah) dapat dimasukkan sebagai
ekonomi rakyat, namun sebagian
besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut sebagai ”usaha” atau
”perusahaan” (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan.
Bapak dan Ibu, apa yang dinarasikan dari mimpi Ekonomi
Kerakyatan dan Ekonomi Pancasila ini, memiliki kesamaan spirit dengan pedoman
Islam menata ekonomi umat. Silahkan lanjut bacanya !
Ilmu Ekonomi Islam
Dalam
wikipedia disebut, “Islamic economics is a term used to
refer to Islamic commercial
jurisprudence and also to an ideology of economics based on the
teachings of Islam that takes a middle ground between the systems of Marxism
and capitalism”. Menarik menggaris bawahi bagian ini: “ .....between the systems of Marxism and
capitalism”. Kenapa melihat ekonomi Islam dari
kacamata itu? Kenapa harus melalui Marx dan kapitalis? Saya menduga, umumnya
buku-buku ajar sekarang tentang ekonomi Islam disusun dari view ini, belum
melihat secara asli dan utuh dari Alquran dan hadits. Belum bottom up, namun “diturunkan” dari
pemahaman tentang ekonomi dan mashab-mashabnya yang sudah dikenal dunia
keilmuan.
Mas dan
Mba, Ekonomi Islam bukan juga hasil racikan antara aliran ekonomi
kapitalis dan sosialis. Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial
yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai
Islam. Berekonomi merupakan kegiatan pokok manusia ada di atas dunia ini, ga mungkin lepas dari nilai-nilai agama,
yakni ibadah.Berekonomi ya beribadah.
Ekonomi
Islam tidak seperti ekonomi neoliberal. Gagasan neoliberal lahir pada abad ke
19 dengan cirimendorong deregulasi, mendorong pasar bebas, perdagangan bebas,
berusaha menghilangkan hambatan dalam perdagangan internasional dan investasi
baik hambatan tarif maupun non tarif. Neoliberal mengurangi peran pemerintah.
Gagasan
neoliberal berawal dari liberalisme klasik. Ajaran liberalisme klasik
menganggap manusia sebagai homo
economicus (makhluk ekonomi). Manusia adalah otonom, diberikan kebebasan
untuk memilih. Berbeda dengan liberalisme klasik, neoliberal lebih ekstrem
dimana tidak perlu adanya campur tangan pemerintah, dan bahkan cenderung batas
negara pun diterobos. Jadi, liberalisme klasik dan neoliberal memiliki
persamaan yaitu mengutamakan kebebasan individu, mengurangi kekuasaan pemerintahan.
Dasarnya adalah individu yang apabila diberi kebebasan akan mampu menghasilkan
kesejahteraan untuk semua.
Apakah
ekonomi Islam seperti ini? Tentu tidak.
Ada
banyak perbedaan prinsip
ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam.Ekonomi
konvensional dibangun di atas konsep scarcity, bahwa sumber daya yang tersedia terbatas. Karena diperebutkan oleh para manusia-manusia atomiK
bernafsu tanpa batas, maka dibutuhkan sebuah pengaturan. Lahirlah ilmu ekonomi.
Ekonomi Islam
lebih luas. Ekonomi
Islam tidak hanya mempelajari bagaimana cara (means) pengalokasian sumber daya yang terbatas secara efisien
tetapi juga mempelajari tujuan (ends)
dari penggunaan sumber daya tersebut. Dan
manusia-manusia nya juga bukanlah para hewan-hewan tanpa kontrol.
Manusia-manusia Islam membatasi kebutuhannya.
Dalam
hal mekanisme distribusi,
ekonomi konvensional menggunakan mekanisme pasar bebas (kekuatan invisible
hand), walau kemudian oleh beberapa pihak
sebaiknya peran negara tidak dinihilkan. Teori Adam
Smith mengatakan
pasar adalah institusi terbaik, akan memaksimalkan perolehan keuntungan, meningkatkan
inovasi, menciptakan pembagian pekerjaan serta kesejahteraan.
Sementara ekonomi Islam meyakini keterlibatan
pemerintah sangat dimungkinkan. Terlebih untuk pangan, dan lebih
khusus lagi pangan pokok. Sejarah Islam menunjukkan betapa besarnya peran
negara. Peran
pemerintah dalam mengawasi pasar dilakukan oleh institusi bernama Al-Hisbah yang memiliki fungsi untuk
mengawasi keseluruhan aktivitas ekonomi.
Dalam distribusi kekayaan, jikaekonomi konvensional berorientasi untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya, dimana distribusi kekayaan bergantung dari besarnya modal yang dimiliki; dalam ekonomi Islamada keadilan dalam
distribusi kekayaan yang diwujudkan
melalui mekanisme zakat, infaq, sedekah dan waqaf.
Ada banyak perbedaan prinsip
ekonomi syariah dan konvensional. Ekonomi syariah dibuat dan berkembang
berdasarkan ketentuan dalam agama Islam. Sumbernya wakyu, langsung dari Allah.
Ekonomi konvensional disusun dari muka bumi, itu pun terbatas hanya dari
gambaran kebangkitan revolusi industri di Eropa dulu.
Ilmu ekonomi umum ini lalu
berkembang jadi banyak cabang, termasuk untuk pertanian. Ilmu ekonomi yang
awalnya dari komoditas barang industri dimodifikasi, walau tak begitu sukses,
menjadi ilmu ekonomi untuk komoditas pertanian. Bertani tentu tidak sama dengan
membuat sepatu. Ada faktor sinar matahari, angin, kesuburan tanah, dan
lain-lain. Faktor iklim.
Perbedaan yang paling umum diketahui awam adalah mengenai bunga. Ekonomi
syariah tidak mengenal bunga, hanya bagi hasil dan jual beli. Sebenarnya
perbedaan keduanya lebih serius dari sekedar itu.
Perbedaan paling mendasar terletak pada prinsipnya.
Karena berbeda prinsip maka berbeda pula tujuan, tindakan, norma serta
pengembangan prinsipnya. Ekonomi konvensional digunakan untuk memuaskan
kebutuhan individu. Sementara ekonomi syariah berpandangan ekonomi dilakukan
sebagai ibadah.
Hak milik merupakan komponen pokok dalam ekonomi. Kedua sistem ini mengakui
adanya hak milik pribadi. Dalam ekonomi konvensional semua orang tanpa
terkecuali berhak memiliki barang, aset, atau uang. Semua orang bisa asal ia memiliki sumber
daya untuk mendapatkan hak milik tersebut. Batas untuk memperoleh hak milik
tersebut tidak disebutkan seberapa jauh.
Pada ekonomi syariah, kepemilikan diperbolehkan selama tidak menimbulkan
kezaliman. Selain itu, kepemilikan individu harus diperoleh dengan cara-cara
yang halal dan sesuai dengan ketentuan agama. Barang ataupun sumber daya yang
menyangkut hajat hidup banyak orang tidak diperbolehkan untuk dimiliki individu. Individu
juga diwajibkan untuk mensucikan harta yang dimiliki melalui zakat, infaq, shodaqoh dan sebagainya. Kepemilikan
atau harta yang dimiliki individu tidak boleh terlalu lama ditimbun oleh satu
pihak. Harta tersebut harus digunakan dan dikelola untuk kemaslahatan
bersama, tidak boleh dikangkangi sesuka
yang punya. Ini lah kira-kira mengapa Rasul
ga betah ada uang tersimpan di rumah
di bawah bantal, segera disedekahkan. Ekonomi jadi berputar.
Ini terlihat pada lahan. Pada Islam, jika seseorang menelantarkan lahannya,
maka negara bisa menyitanya dan diserahkan orang lain untuk diolah. Lahan di
bumi luasnya sudah tertentu tidak bertambah, padahal penduduk terus bertambah.
Demikian pula untuk dasar hukum. Lembaga keuangan yang mendasari
beroperasinya bank syariah menggunakan hukum yang didasarkan pada syariat Islam
yang berlandaskan Al-Qur’an, hadits dan fatwa ulama, tidak hanya sekedar hukum
positif yang bisa berbeda-beda antar negara.
Perbedaan lain tentang norma dalam berinvestasi. Maka, bank syariah hanya
meminjamkan dana pada seorang pengusaha jika jenis usaha yang dijalankannya
baik dan halal. Ekonomi syariah berorientasi pada kebahagiaan hidup baik dunia
maupun di akhirat; tidak hanya sekedar bisa makan minum saja.
Ekonomi Pangan dan Ekonomi Pangan Pokok
Frasa “food economy” (ekonomi pangan) cukup
banyak di jagad
google, namun seperti apa bangun ilmunya Saya belum menemukan referensi yang komprehensif. Sementara di Indonesia,
ada beberapa tulisan yang membahas secara sekilas tentang “ekonomi pangan” yang
sering digabungkan menjadi “ekonomi pangan dan gizi”.
Materi di google umumnya tentang gejala ekonomi pangan, bukan ilmu ekonomi pangan.
Ada satu paper yang judulnya sangat menjanjikan yaitu “The Food Problem: Theory and Policy” (Sen and Sen, 1982), namun isinya masih
menggunakan view ilmu ekonomi.
Secara
definisi, pangan memiliki batasan agak longgar, yakni semua
bahan makanan yang dapat dijadikan makanan. Sedangkan makanan
adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan unsur-unsur ikatan
kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh.
Ekonomi
pangan hakekatnya adalah ilmu yang mempelajari upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan. Nah, jika kita menggunakan dasar ilmu ekonomi umum,
maka diasumsikan bahwa sumberdaya pangan terbatas sedangkan kebutuhan tidak.
Namun, jika spirit Islam dimasukkan, maka premis bahwa “kebutuhan manusia tidak
terbatas” ditolak. Manusia dalam ekonomi Islam bukanlah segerombolan animal yang tanpa moral, juga bukan manusia yang tidak bisa mengendalikan
nafsu makannya. Dalam sistem distribusi, pangan diperdagangkan tidak
semata-mata mencari uang, tapi demi niatan
suci memenuhi kebutuhan manusia.
Trend ke
arah ini cukup diakomodasi dalam diskusi tentang ekonomi pangan. Menurut Bunte
and Hans (2009), ekonomi pangan perlu memasukkan unsur cultural dan ethical arguments; demikian pula Kinsey
(2001) yang memperhatikan the culture of its community dalam manajemen rantai pasok pangan.
Ekonomi Pertanian Islam dan Ekonomi Pangan Islam
Sebelum
jauh ke “ekonomi pangan Islam”, baiklah dimulai sedikit dengan Ekonomi Pertanian
Islam. Pangan disini diposisikan sebagai bagian pertanian, walau kemudian
ada kecenderungan untuk menggeser nya ke dalam
kelompok makanan dan obat-obatan. Ini misalnya
terlihat dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dibahas di awal tahun 2019.
Kita
sudah lama mendengar Ekonomi Islam, namun belum untuk “Ekonomi Pertanian
Islam”. Di google tidak ada hasil
untuk “Islam Agricultural Economy”.
Logika
pertanian Islami bukan seperti logika ekonomi biasa. Satu umbi bawang ditanam,
hasilnya 10 umbi bawang. Sepasang domba dipelihara, dalam sekian tahun bisa
jadi 10 ekor. Ini jelas campur tangan dan keberkahan yang tak terhingga dari
Sang Pemberi Kehidupan. Berapa ribu panci sayur yang dapat dihasilkan dari
sehektar tanaman bawang misalnya. Berapa banyak mulut dan perut yang
menikmatinya. Sungguh tidak terhitung. Betap ga mungkin nya menghitung nikmat dari rasa sayuran dengan aroma
bawang goreng yang pas.
Jadi,
jangan melihat hasil panen dari uangnya semata. Satu bawang menjadi sepuluh
bawang bisa dianggap kerugian jika misalnya harga bawang di pasaran lagi
anjlok. Tapi, jika dilihat dari manfaat dan nikmat yang dirasakannya, tidak ada
petani yang sesungguhnya rugi. Jadi, bertani sesungguhnya adalah menyebar
benih, menabur kebajikan, menjalankan amal, memanen pahala. Bukan hanya menanam
uang untuk uang.
Ekonomi Pertanian Islam bukan sekedar
tanam uang panen uang ...
Jika bertani
dipahami sebagai menanam uang untuk uang, maka kita abai memperhitungkan
kerusakan yang dibuat. Memakai pestisida serampangan sehingga membunuh
cacing-cacing penyubur tanaman tidak dihitung sebagai kerugian. Pupuk anorganik
membuat tanah jadi keras, merusak biologi tanah. Analisis usahatani konvesional
tidak memasukkan kerusakan tersebut. Hasil juga baru melihat sebatas yield, bukan product.
Pertanian
Islam tidak merusak alam. Pertanian Islam menjaga alam. Islam rahmatan lil alamin, bertani secara
Islam menghidupkan, bukan menghancurkan.
Tiap hari
orang bicara pangan, diskusi tentang ekonomi juga banyak, juga majelis taklim
tiap pagi dan petang digelar belajar agama. Namun, raanya belum yang mencoba
merangkainya dalam satu tarikan nafas: “ekonomi-pangan-Islami”. Banyak memang yang menyinggung pangan dalam membicarakan pertanian.
Namun, belum ada yang berani menyebut bahwa apa yang dibahasnya tergolong
sebagai food economy.
Sementara
di dunia nyata, meskipun sudah berbagai pendekatan digelar, mulai dari konsep food security
(ketahanan pangan), food sovereignty
(kedaulatan petani atas pangan), swasembada, dan lain-lain; namun masalah
pangan tidak beres-beres. PBB melaporkan ada 800 juta lebih warga dunia
menderita kelaparan, dan 120 juta di antaranya mengalami kelaparan akut. Jika dibandingkan dengan penduduk dunia 7,7
milyar jiwa, maka jumlah yang kelaparan lebih dari 10 persen. Ironisnya, ada
1,3 trilyun ton makanan yang terbuang di dunia setiap tahun, atau sama dengan
1/3 dari total produksi makanan dunia. Siapa yang paling banyak membuang-buang
makanan (food waste dan food loss) tersebut? Urutannya dari
yang paling parah adalah Arab Saudi, Indonesia, AS, dan Uni Emirat Arab. Subhanallah.
Artinya,
Bapak dan Ibu, ilmu ekonomi pertanian yang telah kita terapkan ini ternyata
tidak mampu menyelesaikan
masalah pangan dunia.
Banyak kekeliruan ilmu ini, misalnya sikap yang memandang rendah makanan
sebagai produk industri.
Hanya sekedar
“produksi”; bukan sebuah anugerah dari Allah yang harus dihargai tinggi.
Dengan
menghargai makanannya berarti kita juga menghargai yang memproduksinya. Maksudnya, sudah saatnya kita melirik pedoman dari Allah dalam menata pertanian dan pangan ini.
Ilmu ekonomi
pertanian diturunkan dari ilmu ekonomi, dengan mengganti objeknya menjadi
barang-barang produk pertanian. Apakah memadai bangun ilmu dengan paradigma dan
pendekatan seperti ini diturunkan lagi menjadi Ilmu Ekonomi Pangan? Di sisi
lain, ekonomi pertanian berbicara tentang barang primer, namun diturunkan dari
ilmu yang dibangun dari objek benda sekunder dan tersier?
Tampaknya
pangan pokok mesti keluar dari mekanisme pasar. Setidaknya ada empat alasannya.
Satu,
manusia memiliki naluri dan moral dasar untuk menolong hidup sesamanya. Orang
akan mati jika tidak makan. Maka, di suku apapun, pada agama manapun, di desa
dan kota, di masyarakat tradisional; orang suka berbagi makanan dan bahan
makanan. Sampai di dunia modern ini pun orang masih senang berbagi makanan. Ada
pesta-pesta di kota besar dengan makanan berlimpah, gratis. Kita juga senang mentraktir
teman dan tamu.
Masyarakat
tradisional tidak pernah menjual makanan sesamanya. Pada masyarakat peramu dan
pemburu, bahan pangan biasa dikumpulkan pada satu tempat lalu dikonsumsi
bersama. Mereka membuat lumbung pangan komunitas. Kebiasaan ini terus
dipelihara oleh masyarakat sekarang.
Kita adakan arisan, selamatan, dan pesta
sebagai mekanisme berbagi makanan.
Dua,
makanan selalu dihasilkan dari tanah, langsung maupun tidak langsung. Nah,
karena sesungguhnya sepetak lahan tidak pernah benar-benar dimiliki seorang
manusia, dimana kita hanya berhak menggarapanya; maka sesuatu yang lahir dari
bukan miliknya tentu juga bukan miliknya secara penuh. Ada unsur sosial disitu.
Ada unsur sosial dari setiap hasil panen itu.
Tiga,
agama pun mengajarkan kita untuk tidak menjadikan pangan pokok sebagai barang
ekonomi dengan mekanisme pasar. Begitu banyak anjuran dan ajaran untuk menjamu
tamu, hadits agar melebihkan bikin sayur agar bisa berbagi, dan seterusnya.
Empat, nilai tambah
yang dikeluarkan dari tanah berlipat-lipat dari usaha yang telah dicurahkan
seorang manusia. Sebutir biji dilempar ke tanah, lalu lima tahun kemudian sudah
berbuah. Dimana usaha manusia si pelempar tadi di dalamnya? Artinya, ini hampir
seluruhnya adalah berkah dari lahan, dari alam, ya dari Allah. “Dan Bumi
telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-(Nya), didalamnya ada buah-buahan dan
pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang” (Ar-rahman: 10-11).
Ketahanan
Pangan dalam Sistem Islam
Ketahanan pangan dalam sistem Islam tidak terlepas
dari sistem politik Islam. Politik ekonomi Islam memiliki visi menjamin pemenuhan
semua kebutuhan primer (kebutuhan pokok bagi individu dan kebutuhan dasar bagi
masyarakat) setiap individu per individu secara menyeluruh. Ketahanan pangan
tidak bisa ditawar. Jika untuk pangan pokok bergantung pada impor, sama halnya menggadaikan
negara pada negara lain. Ketergantungan pada impor bisa membuka jalan
pengaruh asing terhadap politik satu negara.
Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan
pokok pangan.“Anak Adam tidak memiliki
hak pada selain jenis ini: rumah yang ia tinggali, pakaian yang menutupi
auratnya dan roti tawar dan air (HR at-Tirmidzi). Jadi, pemerintah harus
memenuhi kebutuhan pangan, papan dan sandang, yakni zhillu baytin (atau bayt
yaskunuhu (rumah), tsawbun yuwârî
‘awratahu (pakaian yang menutupi auratnya), dan jilfu al-hubzi wa al-mâ’ (roti tawar dan air).
Dalam memberikan jaminan ini negara akan menggunakan
mekanisme ekonomi dan non ekonomi. Bentuk mekanisme non ekonomi di antaranya
adalah tanggung jawab kerabat. Urutan tanggung jawabnya jelas yaitu:
1.
Pertama, tanggung jawab
individual. Islam memerintahkan agar setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi
kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang berada di bawah tanggungannnya
(Al-Baqarah: 233).
2.
Kedua, tanggung jawab kerabat.
Jika belum terpenuhi, baik karena ia tidak bisa bekerja atau pendapatannya
tidak cukup, maka kerabatnya mulai dari yang terdekat diwajibkan untuk turut
menanggungnya (Al-Baqarah: 233).
3.
Ketiga, tanggung jawab pemerintah.
Jika belum terpenuhi juga, maka tanggungjawab itu beralih menjadi kewajiban
baitul mal (negara). Rasul SAW bersabda: “Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka,
siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang
meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku, dan
menjadi kewajibanku.” (HR an-Nasai dan Ibnu Hibban). Mekanisme dari negara misalnya berupa
hak kaum dhuafa atas zakat.
Untuk mekanisme ekonomi, maka negara harus menjamin
terlaksananya hukum-hukum syara terkait dengan ekonomi, seperti hukum-hukum
kepemilikan, pengelolaan dan pengembangan kepemilikan, serta distribusi
harta di tengah masyarakat. Untuk menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang
sesuai syari’at, negara akan menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi
yang menghambat, seperti penimbunan, kanzul
mal, serta riba, monopoli, dan penipuan.
Agar pangan terjamin, maka negara kudu menguasai sumber daya utama produksi pangan, yakni lahan.
Islam agak “keras” soal tanah ini. Untuk tanah yang ditelantarkan tiga tahun
berturut-turut baik itu dari warisan, membeli, dan hibah; maka diambil oleh
negara dan didistribusikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya. Abu Yusuf
meriwayatkan di dalam kitab al-Kharâj dari Umar bin al-Khathab: “… Tidak ada hak bagi orang yang memagari
tanah mati setelah tiga tahun”. Pada hadits lain disebutkan: “Siapa saja yang memiliki tanah lalu ia
telantarkan tiga tahun tidak ia gunakan, lalu orang lain menggunakannya maka
orang lain itu lebih berhak atas tanah itu”.
Pada masa pemerintahan Umar dan dilanjutkan pada masa
Umayyah, daerah delta sungai Eufrat dan Tigris dan daerah rawa-rawa di Irak
dikeringkan dengan jalan dibangun saluran-saluran air untuk menjadi lahan
pertanian, dan selanjutnya dibagikan kepada akyat yang mampu menanaminya.
Negara juga dapat melakukan intervensi di pasar, namun
tidak dengan mematok harga. Kebijakan pengendalian harga adalah dengan
mengendalikan supply dan demand. Anas RA menceritakan bahwa
suatu ketika harga pernah sangat tinggi, lalu para sahabat meminta Rasulullah
untuk menetapkan harga, namun Rasul menolak melakukannya. Rasul bersabda:“sesungguhnya Allahlah yang Maha Menentukan
Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezki dan aku
sungguh ingin menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku
karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu
Dawud, ad-Darimi, Ahmad).
Di samping semua itu, Islam melarang perserikatan atau
asosiasi produsen, konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan, kolusi atau
persekongkolan untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan,
misalnya membuat kesepakatan harga jual minimal, sesuai sabda Rasul SAW. Juga
untuk para penimbun (muhtakir) yang disebut
Rasul sebagai dosa besar dan dikutuk oleh Allah.
Urgensi Penerapan “Ekonomi
Memberi”
untuk Menata Pangan Pokok
Sejak awal, ilmu ekonomi dikonstruk atas basis
transaksi “saling mengambil”. Deskripsi Ekonomi Pangan Islam utamanya untuk
pangan pokok memperlihatkan bahwa ada opsi lain yang sudah dijalankan lama,
yaitu transaksi “saling memberi”. Orang-orang secara naluriah senang berbagi
makanan. Suku manapun dan agama apapun. Bahkan sekarang, di dunia modern pun,
kita masih suka melakukannya. Jika ketemu kawan lama, kebiasaan kita adalah
mengajak makan. Ya, berbagi makanan.
Apakah mungkin mengkontruk dan menjalankan “ekonomi
berbagi” atau “ekonomi memberi ini” ? Tentu ini sebuah perubahan yang
spektakuler.
Namun, why not lah. Karena bidang ekonomi dan
elemen sosio religi kultural yang melekat padanya sangat variatif. Dan kita
mesti terbuka untuk berbagai ide-ide segar yang lebih solutif. Kita harus
menyusun kontruksi baru untuk ekonomi pangan dunia, yang sampai saat ini ternyata
tidak beres-beres.
Dalam bentuk yang agak mirip, akhir-akhir ini
berkembang sharing economy (ekonomi berbagi). Sharing
economy adalah “ ..... a way of distributing goods and
services that differs from the traditional model of corporations hiring employees
and selling products to consumers”. Bentuknya adalah berbagi
tempat kerja (co-working platforms), saling bantu permodalan (peer to peer
lending platforms), saling meminjam pakaian (platform mode), saling berbagi
pekerja freelance (feelancing platforms), juga berkembang saling memberi
tumpangan, berbagi taksi, dan lain-lain. Platformnya adalah
berbagi sumberdaya, peran dan bagi hasil yang dimungkinkan karena ketersediaan
teknologi informasi berbasis digital.
Dalam pertanian, Rhenald Khasali (pakar manajemen), menconotohkan ada
seorang pemilik tanah melihat banyak petani lain yang butuh melewati tanahnya.
Dalam ekonomi berbagi, pemilik tanah tidak akan melarang atau menutup jalan,
melainkan menawari petani untuk kerja sama dan berbagi untung. Si pemilik tanah
misalnya akan menawarkan si petani untuk merawat tanamannya agar nantinya bisa
dibagi hasil.
Sesungguhnya, sikap berbagi aset
sudah dilakukan sejak ribuan tahun.
Munculnya internet dan penggunaan big
data, telah membuatnya lebih mudah bagi pemilik aset dan pengguna aset
untuk berkomunikasi satu sama lain.
Masyarakat era kekalifahan biasa menerapkan mekanisme
non pasar. Pada waktu paceklik melanda Hijaz (Medinah), Umar bin
Khaththab menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash dan
memerintahkannya untuk mengiripkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut. “Saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh
muatan bahan makanan, yang ‘kepalanya’ ada di hadapan Anda (Madinah) dan dan
ekornya masih dihadapan saya (Mesir)”.
Berkenaan dengan pangan, sebagaimana dijelaskan di
awal, produksi pangan dunia sangat cukup, namun pola konsumsi kita lah yang
membuat seolah-olah pangan kurang. Maka, kendalikan lah lidah dan perut Anda.
Sebagaimana di jelaskan di atas, Islam memberi solusi suatu masalah secara
komprehensif. Artinya, agar pangan cukup, perlu ditata sisi supply dan sisi demand nya sekaligus. Kita semua harus mengendalikan nafsu.
Saya
sangat ingin tahu, apakah di zaman Rasul ada warung makan? Saya telah coba
menyampaikan pertanyaan ini kepada banyak ahli agama namun belum ada jawaban.
Jika
bertolak dari konsep melayani tamu, bukankah setiap tamu yang datang ke satu
rumah menjadi tanggung jawab penuh si tuan rumah melayaninya full selama 3 hari. Makan dan tidur
gratis. Nah, jika kita lebarkan, maka jika ada seorang atau serombongan tamu
datang ke satu kampung, bukankah mestinya menjadi kewajiban kampung tersebut
memenuhi kebutuhannya. Ini misalnya biasa terjadi di zaman perjuangan dulu.
Jika ini
dijalankan, maka berarti berdagang makanan (makanan pokok) tidak dibutuhkan.
Atau, jika pun berusaha makanan pokok semestinya bukan untuk mencari kekayaan,
bukan sebagai bisnis. Wallahu a’lam.
Ekonomi Islam tidak
bermaksud memenuhi segala bentuk jenis dan variasi kebutuhan dan keinginan
manusia yang tidak bertepi. Pahala adalah tujuan hidup, tujuan berekonomi itu
sendiri. Jika memberi membuat orang berpahala, mengapa orang harus menjual,
baik menjual murah apalagi menjual mahal. Maka, sangat tercela lah orang yang
menjadikan pangan sebagai senjata mencari kekayaan, mendominasi, dan menguasai
orang lain.
Apakah
transaksi jual beli adalah mekanisme yang paling efektif dan adil? Efektif
mungkin iya, tapi adil belum tentu. Dalam setiap jual beli, sebenarnya kita tidak
pernah bisa membayar sepenuh-penuhnya seharga yang kita bayar tersebut.
Termasuk pelayanan jasa.
Mengapa pangan
perlu dipandang berbeda? Saya mau mengatakan bahwa setiap benda memiliki ciri
dan posisi yang khas di tengah masyarakat, sehingga setiap benda ini tidak
memadai jika difahami dengan ilmu umum yang berlaku untuk benda-benda lain.
Simplifikasi pada teori tidak akan bisa menghargai dan memberi ruang pada pangan
sebagai benda yang khas.
Jika selama
ini pangan sering dikelompokkan sebagai barang kebutuhan primer atau pokok,
tampaknya tidak memadai. Mestinya ia lebih utama lagi, sebutlah sebagai “benda
kebutuhan dasar”. Lebih lagi tinggi dari “barang pokok”.
Mengapa pangan perlu menajemen berbeda? Ya, karena
pangan itu khas.
Ia diproduksi dari tanah, langsung atau tak langsung. Tak ada pangan murni bikinan
pabrik.
Dan, masalahnya, luas tanah di dunia ini tetap. Tidak berubah. Bagaimana
benda yang seperti ini disamakan dengan benda-benda lain.
Selain itu, memproduksi pangan tidak akan sama
dengan benda manufaktur. Industri manufaktur adalah industri yang merubah dari
bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan bahan jadi.
Yang
manakah “Pangan Pokok” atau “Pangan Utama”? Ya, perlu dibatasi pangan yang mana.
Tiap masyarakat harus membatasi mana yang disebut sebagai pangan pokoknya. Menurut Saya, baiknya dibatasi pada pangan
yang diolah secara sederhana, dan dijual dengan harga murah.
Pangan
dalam Islam, setidaknya dalam sirah nabawiyah yang kita ketahui, tidak mengenal
pengolahan yang sulit-sulit. Pangan hanya direbus, dibakar, dan mungkin
digoreng. Dan pangan hanya yang dikonsumsi sehari-hari. Tidak ada makanan yang
begitu mahalnya, misalnya karena diolah dengan cara yang rumit lalu harganya
jadi selangit.
Itulah
makanan sejalan dengan konteks pangan sebagai kebutuhan pokok. Yakni pangan untuk
memenuhi kebutuhan biologis, bukan pangan-pangan prestise yang dihidangkan pada
pesta-pesta kaum elit.
Apa pangan yang paling pokok? Pangan pokok biasa
disebut dengan “staple food”. Pangan
juga masih ada tingkatannya, ada yang sangat pokok yang sangat dibutuhkan untuk
hidup. Kalau di Indonesia secara umum adalah beras, di beberapa wilayah adalah
ubi jalar misalnya.
Pangan pokok (staple food) adalah
makanan yang menjadi gizi dasar. Makanan pokok biasanya tidak menyediakan
keseluruhan nutrisi yang dibutuhkan tubuh, oleh karenanya biasanya makanan
pokok dilengkapi dengan lauk pauk untuk mencukupkan kebutuhan nutrisi seseorang
dan mencegah kekurangan gizi. Makanan pokok berbeda-beda sesuai dengan keadaan
tempat dan budaya, tetapi biasanya berasal dari tanaman, baik dari serealia
seperti beras, gandum, jagung maupun umbi-umbian seperti kentang, ubi jalar,
talas, dan singkong.
Produk ternak, daging
dan susu, juga tergolong pangan; namun bukan pangan utama. Orang masih bisa
hidup jika sebulan tidak memperoleh daging dan susu. Di Indonesia banyak orang
yang hanya ketemu daging dua kali setahun, yaitu saat lebaran haji dan lebasan Idul
Fitri. Namun, suku
bangsa yang secara tradisional merupakan pemburu seperti orang Eskimo
menjadikan daging dan ikan sebagai makanan utama.
Mengapa
pangan harus diberlakukan berbeda? Sebagian besar pendapatan kalangan miskin
habis untuk beli pangan. Dan merupakan kewajiban kalangan mampu membantu warga
miskin. Pangan adalah pilihan yang paling prioritas. Jika pangan sudah selesai,
maka energi akan dipakai untuk hal-hal yang lebih bermakna.
Beras merupakan bahan
pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga beras merupakan
komoditas kuasi publik yang memiliki nilai strategis, baik dari aspek ekonomi,
lingkungan hidup, sosial, dan politik. Beras mungkin bisa dipertimbangkan untuk
dikeluarkan dari mekanisme pasar. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
efektifitas di dalam mengimplementasikan kebijakan stabilisasi harga beras
diperlukan kebijakan harga yang komprehensif. Untuk itu perlu dirumuskan suatu
kebijakan yang mampu melakukan harmonisasi hubungan antara petani produsen,
industri pengolahan, pelaku pemasaran, hingga ke tingkat konsumen dalam suatu
rantai pasok yang efisien dan memberikan keuntungan yang wajar bagi
masing-masing pihak.
Apakah mungkin menjadikan pangan keluar dari mekanisme
pasar?
Sulit.
Pasti sulit. Karena sudah terlanjur membatu pada fikiran dan perilaku kita
sehari-hari, bahwa pangan
adalah jualan yang menarik, mudah, dan selalu laku di pasar. Para ahli ekonomi
sudah menggunakan analisisnya bicara kian kemari menggunakan dasar pangan
sebagai benda ekonomi. Pangan diproduksi untuk dijual, jadi lah ia agribisnis.
Jika harga lagi murah, pangan ditahan dulu, menunggu harga tinggi. Pemerintah
menggunakan politik pangan. Dan seterusnya.
Namun
pangan dikeluarkan dari mekanisme pasar bukannya tidak mungkin. Ini dapat
terjadi jika ada niat suci. Tentu juga tidak berarti sama sekali tidak diperdagangkan.
Jika pun diperjual belikan, konteksnya demi kemanusiaan, tidak cari untung
besar.
Kebutuhan
pangan tidak besar, dan dunia surplus pangan. Namun ada yang menyimpan dan menahannya.
Mekanisme pasar tidak bisa mendistribusikan gandum dari wilayah produksi yang
surplus ke daerah minus dengan lancar. Alasan utamanya adalah itu diproduksi
dengan biaya tinggi, maka harus dibayar jika mau. Tapi, jika wilayah minus
diposisikan sebagai korban bencana, maka gandum akan dikapalkan
secepat-cepatnya tanpa meributkan biayanya dari mana. Ya, perlu bencana dulu.
Pangan bukan benda
ekonomi. Ia kebutuhan pokok, jangan disamakan dengan benda dan kebutuhan lain. Karena
ia pokok maka orang yang berbagi mendapat pahala yang lebih besar. Orang punya
pilihan menjual atau memberi. Jika memberi, maka jauh lebih baik.
Jika
tidak masuk mekanisme pasar, bisakah pangan dikelola total oleh pemerintah? Bisa. Era baitul mal telah menjalankan pola ini.
Pangan bisa digratiskan, karena biaya produksinya sebenanrnya bisa sangat murah
dengan cara mengolah lahan pemerintah, input dari pemerintah, dan konsumsi pun tidak
berlebihan namun sesuai kebutuhan biologis pokok manusia. Thailand
sering diberitakan sebagai contoh keterlibatan
total pemerintahnya dalam pangan. Pemerintah membeli seluruh gabah hasil panen
petani, dan hebatnya lagi, 50 persen di atas harga
pasar.
Selain tu, pangan
di luar mekanisme sebenarnya pasar sudah berlangsung di level masyarakat.
Saling berbagi bahan makanan dan makanan jadi sudah biasa. Saat ini pun masih.
Apakah Islam memberlakukan pangan sebagai sesuatu
yang berbeda? Jik
ya, mengapa?
Ya, pangan memiliki posisi penting dalam Islam. Ia
harus diperlakukan khusus. Orang yang memproduksinya (petani) memiliki
kedudukan khusus, yang mengkonsumsinya juga, dan yang memperdagangankannya
harus patuh pada pedoman khusus.
Negara pun memandang pangan berbeda. Ini menyangkut
hidup mati orang. Orang tidak mati karena ga
punya TV, tapi nasi tidak bisa ditunda-tunda. Maka, sangat tidak elok ada pihak
atau satu negara menjadikan pangan sebagai alat untuk menguasai pihak tertentu.
Ini sungguh tidak beradab.
Jika anda punya kelebihan pangan, bagikan segera.
Kenapa? Karena berlebih itu ga berguna, dan pangan umumnya gampang busuk. Beda
dengan sepatu, punya sepatu 100 pasang ga
soal karena ga akan rusak.
Saat ini, ketika pangan dilepas ke mekanisme pasar,
betapa besar keuntungan dan kekayaan orang-orang yang bermain di pangan. Margin
nya besar dan proporsi penguasaannya juga dominan. Pangan dijadikan sumber
kekuasaan, yang dimulai dengan penguasaan lahan secara luas dengan menerapkan
berbagai cara, dengan kesadaran bahwa lahan adalah sumber utama produksi
pangan.
Ekonomi
Islam tidak hanya untuk muslim
Ekonomi Islam jangan
dipandang ekslusif hanya untuk kalangan Islam. Ini adalah sistem ekonomi yang
fitrah, dari agama manapun mereka. Ekonomi Islam berfikir pada kebahagian
manusia, tidak sekedar kebutuhan hidup.
Ekonomi
konvensional membicarakan bagaimana cara mengalokasikan sumber daya yang
terbatas secara optimum. Ekonomi konvensional berfungsi untuk
“mengeksplorasi dan menjelaskan”, bukan untuk memberikan “advocate” atau melarang “condemn”. Sedangkan tujuan dari ekonomi
Islam itu sendiri merupakan “goal oriented
disciplin” yang berarti ekonomi Islam tidak hanya
mempelajari bagaimana cara (means)
pengalokasian sumber daya terbatas secara efisien tetapi juga mempelajari
tujuan (ends) dari penggunaan sumber
daya tersebut.
Ekonomi
konvensional berlandaskan pada teori yang dikemukakan Adam Smith bahwa
manusia bersifat rasional yang artinya mementingkan kepentingan pribadinya
masing-masing atau self interest.
Adam Smith jelas mengeliminasi beberapa faktor seperti agama, keyakinan,
dan lingkungan dalam mengemukakan konsep ini.
Konsep
self interest dan more is better than
less ini dibantah melalui Alquran surat Al-Baqarah ayat 261. Allah SWT
berfirman: “Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada
tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi
siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” Orang dianjurkan - dan tentunya kemudian - senang berbagi.
Memberi begitu saja, tidak melalui mekanisme pasar.
Azas ekonomi
kapitalis didasarkan pada laissez faire
(bebas, liberal). Ia tidak mempehatikan adanya nilai-nilai gotong royong,
tolong-menolong dan kebersamaan dalam bingkai religius; yang hidup di
masyarakat bahkan yang belum beragama sekalipun. Tujuan ekonomi Islam yaitu
“untuk membangun sebuah tatanan ekonomi negara yang berakhlak mulia berazaskan
persamaan dan keadilan untuk melahirkan masyarakat yang madani di bawah
lindungan Allah. Ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai ekonomi Rabbani dan
Insani. Disebut Rabbani karena sarat dengan arahan dan nilai-nilai Ilahiah.
Dan disebut Insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan untuk
kemakmuran manusia. Bersifat general
dan dapat diterapkan secara universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar