(Draf Buku “BERTANI
DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri
Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam. Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)
Pada hakekatnya
agribisnis adalah bagaimana strategi memperoleh keuntungan dengan mengelola
segala aspek usaha pertanian. Mulai dari budidaya, pascapanen, pengolahan,
hingga pemasaran. Ini jelas pekerjaan mulia. Objek agribisnis dapat berupa
tumbuhan, hewan, ataupun organisme hidup lainnya.
Artinya,
agribisnis adalah menjadikan bertani sebagai sebuah bisnis. Maka, menanam,
memanen, haruslah menjual. Nah, disinilah sesungguhnya datang masalah. Ketika
petani harus berhubungan dengan pasar, maka kegiatan bertani yang indah
romantis sebagai way of life berubah
menjadi kalkulasi bisnis penuh perhitungan finansial.
Ada sebuah buku menarik tentang ini berjudul “Agribisnis Syariah:
Manajemen Agribisnis dalam Perspektif Syariah Islam ditulis Said dan Pratiwi
(2005), walau saya belum sempat baca. Sistem dan Manajemen Agribisnis syariah
adalah suatu konsep yang dapat dijadikan ikhtiar membangun sebuah nilai-nilai
kebenaran dalam berbisnis berdasarkan kesadaran akan makna penciptaan alam raya
sebagai anugerah yang harus di kelola dengan baik. Usaha ini menyatukan hasrat
berekonomi dan spiritual dalam satu nafas. Mencari uang, membuka lapangan
kerja, mendapatkan nafkah, sekaligus mencatatkan amal soleh.
Agribisnis
tersusun atas sub sistem budidaya, penyaluran dan pengadaan sarana produksi, pengolahan pascapanen, lanjut
ke tananiaga dan pemasaran, dan lembaga-lembaga penunjang. Apakah syariah ada di sini? Ya. Syariah muncul sepanjang sebuah aktivitas
melibatkan interaksi, baik interaksi manusia dengan alam, apalagi interaksi
dengan manusia lain. Dalam kelima subsistem ini jelas melibatkan manusia dengan
manusia
(muamalah). Maka relasi mereka harus lah berpendoman pada panduan Islami. Jadi,
jika bertani harus syariah, maka agribisnis tentu juga harus syariah.
Lalu, apakah agribisnis
syariah? Menurut Saya, agribisnis
syariah adalah membangun sistem bertani secara luas dengan
menerapkan ajaran Islam. Tujuannya, tentu untuk memberikan kemajuan dan
keadilan. Intinya semua aturan dalam Islam adalah pada keadilan. Jadi, agribisnis syariah adalah menjalankan usaha
pertanian secara luas (agribisnis) menuju sebuah penghayatan yang penuh
dengan keikhlasan dan ketakwaan terhadap kemahabesaran dan keagungan Allah SWT. Bekerja karena Allah, mencari keuntungan
karena Allah, dan hasilnya dibagikan sesuai petunjuk Allah.
Agribisnis
sesungguhnya luas. Selain bertani, menanam, menyiang, memupuk, dan memanen
serta menjualkannya; kita lupa agribisnis juga mencakup usaha jasa-jasa yang
bersifat tidak langsung. Maka, agribisnis juga mencakup perbankan pertanian,
asuransi pertanian, penyuluhan, transportasi, dan jasa pergudangan.
Kita selama ini telah
mengenal agribisnis secara berkelanjutan (sustainable
agribussiness). Idenya adalah bagaimna tetap memperhatikan kelestarian
lingkungan serta tidak membuat kerusakan di muka bumi. Ini jelas-jelas sejalan dengan Islam. Surat Al
A’raf ayat 56 berbunyi:“Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Jadi beragribisnis
adalah juga berdakwah. Adalah jalan ibadah ghoiru
mahdah.
Bertani jelaslah
pekerjaan paling mulia. Menanam dan memelihara sebiji benih yang begitu kecil,
lalu tumbuh, berdaun, berbunga sampai berbuah. Tentu saja Allah yang
menumbuhkannya, namun ini pekerjaan yang sungguh-sungguh baik dan mulia. Maka,
jangan sampai pekerjaan ini tidak berada dalam koridor ibadah. Agribisnisnya
pun harus dalam semangat dan ruh ibadah.
Menjalankan
agribisnis dapat menjadi alat dakwah untuk meningkatkan keimanan umat manusia,
dan ladang amal para pelakunya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam
agribisnis, kita berarti telah mencegah penyalahgunakan sektor ini dari
keserakahan dan kerusakan. Maka, mari para suhada ekonomi dan kehidupan,
jalankan agribisnis sekarang. Agribisnis yang Islam. Jangan sampai makanan dan
minuman dari tumbuhan dan hewan, karena dijalankan oleh orang-orang yang tidak
Islami, menjadi haram dikonsumsi.
Untuk itu, kita
membutuhkan manajemen agribisnis yang syariah pula. Manajemen adalah suatu
rangakaian proses yang meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pengendalian dalam rangka memberdayakan
seluruh sumberdaya organisasi, baik sumberdaya manusia, modal, material, maupun
teknologi secara optimal untuk mencapai tujuan organisasi. Sebagai sebuah
organisasi, sistem agribisnis memerlukan suatu pekerjaan yang dikelola dengan
benar, rapi, jelas, terarah, tertib, dan teratur sebagaimana yang ditekankan
oleh syariah Islam. Hal ini dijelaskan dalam Hadits riwayat Thabrani serta
Tirmidzi dan Nasa’i: “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika
melakukan pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas, dan
tuntas)”.
Rangkaian kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan
pengendalian dikenal sebagai fungsi-fungsi manajemen yang juga diterapkan dalam
manajemen agribisnis. Fungsi-fungsi manajemen berlaku pada setiap tahapan
kegiatan agribisnis, baik manajemen produksi, agroindustri, pemasaran, maupun
dalam manajemen risiko agribisnis.
Dalam hal memproduksi atau budidaya, manajemen
produksi pertanian ditujukan untuk meningkatkan produksi secara kuantitas dan
kualitas. Alquran menganjurkan untuk melipatgandakan hasil panen dan
memperbaiki kualitas melalui penerapan teknologi budidaya yang tepat dan
penggunaan input produksi yang baik. Untuk
pemasaran atau berdagang, Islam lebih pada
mengantarkan, melayani produsen dan konsumen, bukan membangun otoritas sendiri
yang lalu menguasai keseluruhan sistem agribisnis.
Bagaimana menghadapi resiko secara Islami? Bertani dan menjalankan
agribisnis penuh resiko. Maka itu bank-bank komersial enggan turun tangan. Ada
banyak resiko yakni ketidakmenentuan iklim, serangan hama penyakit, dan resiko
penurunan nilai. Penurunan nilai bisa terjadi akibat penurunan mutu, perubahan
harga, maupun perubahan selera konsumen. Semua risiko sangat menghantui pelaku
agribisnis.
Islam memberi pedoman
bahwa segala bentuk ujian dan resiko ini mestilah selalu dipandang sebagai
cobaan atau musibah yang datangnya dari Allah SWT. Berkenaan dengan ini, surat
Ali ‘Imran ayat 117 menyatakan: “Perumpamaan harta yang mereka nahkahkan
dalam kehidupan dunia ini seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang
sangat dingin yang menimpa ladang kaum yang menganiaya dirinya, lalu angin itu
membinasakannya. Dan Allah tidak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri”.
Hasil panen harus
dijual. Maka, dalam agribisnis ada perdagangan. Berdagang atau dulu disebut
berniaga, apalagi jauh, antar pulau bahkan antar benua; merupakan sebuah jalan
dakwah. Pada zaman Nabi Muhammad SAW telah dilakukan perdagangan, baik
perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar negeri. Misi yang diemban
selain untuk berdagang dan mencari keuntungan, juga untuk berdakwah menyiarkan
agama Islam. Dari berdagang lah syiar Islam berkembang dan tersebar ke seluruh
belahan dunia. Para sahabat nabi dan orang-orang Arab sering melakukan
perjalanan dalam rangka berdagang ke berbagai negeri termasuk ke China,
Malaysia, Filipina, dan juga Indonesia.
Pedagang, yang membeli sesuatu lalu menjualnya, atau
dalam sastra Melayu sering dibilang
menjadi “saudagar”; janganlah diremehkan.
Abu Said meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah berkata, “Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan
para Nabi,
shiddiqien, dan syuhada.” Namun, di kesempatan
lain Nabi memperingatkan
bahwa pasar adalah tempat di mana kita harus berhati-hati. Menjadi pedagang memang
tidaklah mudah, apalagi menjadi pedagang jujur. Rasulullah tahu benar hal ini
karena ia pernah jadi pedagang. Abdullah bin
Umar adalah pedagang yang sukses, demikian pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman
yang kekayaannya diperoleh dari berdagang.
Bertani dan berdagang adalah pekerjaan
para Rasul. Bertani adalah dasar yang menopang semua kehidupan di atasnya. Ia
sektor primer. Semua sektor lain mandeg,
jika sektor primer tidak jalan. Pabrik
baju wol tidak bisa bekerja sebelum
peternak biri-biri menghasilkan bulu yang bagus. Pabrik konveksi tidak
jalan jika petani kapas belum panen. Dan seterusnya.
Para
Nabi dan Rasul bekerja untuk
menopang keberlangsungan dakwah. Bekerja mencari nafkah dengan berniaga,
bertani, dan beternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak menurunkan
kualitas tawakal mereka. Para ulama pun
tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, namun mereka
juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Ketika
menjadi khalifah, Abu Bakar pergi ke pasar setiap pagi memanggul beberapa helai
pakaian untuk dijual. Ketika bertemu dengan Umar dan Ubaidah bin Jarrah, ia
ditanya: “Bagaimana engkau berdagang
sementara engkau menjadi pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar berkata: “Dari mana aku menghidupi keluargaku?”
Padahal sebagaimana Umar, Abu Bakar juga memperoleh bagian dari baitul
mal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar