Sabtu, 09 Mei 2020

Subbab .4.2. MENJALANKAN AGRIBISNIS SECARA SYARIAH

(Draf Buku “BERTANI DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam.  Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)


Pada hakekatnya agribisnis adalah bagaimana strategi memperoleh keuntungan dengan mengelola segala aspek usaha pertanian. Mulai dari budidaya, pascapanen, pengolahan, hingga pemasaran. Ini jelas pekerjaan mulia. Objek agribisnis dapat berupa tumbuhan, hewan, ataupun organisme hidup lainnya.

Artinya, agribisnis adalah menjadikan bertani sebagai sebuah bisnis. Maka, menanam, memanen, haruslah menjual. Nah, disinilah sesungguhnya datang masalah. Ketika petani harus berhubungan dengan pasar, maka kegiatan bertani yang indah romantis sebagai way of life berubah menjadi kalkulasi bisnis penuh perhitungan finansial.

Ada sebuah buku menarik tentang ini berjudul “Agribisnis Syariah: Manajemen Agribisnis dalam Perspektif Syariah Islam ditulis Said dan Pratiwi (2005), walau saya belum sempat baca. Sistem dan Manajemen Agribisnis syariah adalah suatu konsep yang dapat dijadikan ikhtiar membangun sebuah nilai-nilai kebenaran dalam berbisnis berdasarkan kesadaran akan makna penciptaan alam raya sebagai anugerah yang harus di kelola dengan baik. Usaha ini menyatukan hasrat berekonomi dan spiritual dalam satu nafas. Mencari uang, membuka lapangan kerja, mendapatkan nafkah, sekaligus mencatatkan amal soleh.

Agribisnis tersusun atas sub sistem budidaya, penyaluran dan pengadaan sarana produksi, pengolahan pascapanen, lanjut ke tananiaga dan pemasaran, dan lembaga-lembaga penunjang. Apakah syariah ada di sini? Ya. Syariah muncul sepanjang sebuah aktivitas melibatkan interaksi, baik interaksi manusia dengan alam, apalagi interaksi dengan manusia lain. Dalam kelima subsistem ini jelas melibatkan manusia dengan manusia (muamalah). Maka relasi mereka harus lah berpendoman pada panduan Islami. Jadi, jika bertani harus syariah, maka agribisnis tentu juga harus syariah.

Lalu, apakah agribisnis syariah? Menurut Saya, agribisnis syariah adalah membangun sistem bertani secara luas dengan menerapkan ajaran Islam. Tujuannya, tentu untuk memberikan kemajuan dan keadilan. Intinya semua aturan dalam Islam adalah pada keadilan. Jadi, agribisnis syariah adalah menjalankan usaha pertanian secara luas (agribisnis) menuju sebuah  penghayatan yang penuh dengan keikhlasan dan ketakwaan terhadap kemahabesaran dan keagungan Allah  SWT. Bekerja karena Allah, mencari keuntungan karena Allah, dan hasilnya dibagikan sesuai petunjuk Allah.

Agribisnis sesungguhnya luas. Selain bertani, menanam, menyiang, memupuk, dan memanen serta menjualkannya; kita lupa agribisnis juga mencakup usaha jasa-jasa yang bersifat tidak langsung. Maka, agribisnis juga mencakup perbankan pertanian, asuransi pertanian, penyuluhan, transportasi, dan jasa pergudangan.

Kita selama ini telah mengenal agribisnis secara berkelanjutan (sustainable agribussiness). Idenya adalah bagaimna tetap memperhatikan kelestarian lingkungan serta tidak membuat kerusakan di muka bumi.  Ini jelas-jelas sejalan dengan Islam. Surat Al A’raf ayat 56 berbunyi:“Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Jadi beragribisnis adalah juga berdakwah. Adalah jalan ibadah ghoiru mahdah.

Bertani jelaslah pekerjaan paling mulia. Menanam dan memelihara sebiji benih yang begitu kecil, lalu tumbuh, berdaun, berbunga sampai berbuah. Tentu saja Allah yang menumbuhkannya, namun ini pekerjaan yang sungguh-sungguh baik dan mulia. Maka, jangan sampai pekerjaan ini tidak berada dalam koridor ibadah. Agribisnisnya pun harus dalam semangat dan ruh ibadah.

Menjalankan agribisnis dapat menjadi alat dakwah untuk meningkatkan keimanan umat manusia, dan ladang amal para pelakunya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam agribisnis, kita berarti telah mencegah penyalahgunakan sektor ini dari keserakahan dan kerusakan. Maka, mari para suhada ekonomi dan kehidupan, jalankan agribisnis sekarang. Agribisnis yang Islam. Jangan sampai makanan dan minuman dari tumbuhan dan hewan, karena dijalankan oleh orang-orang yang tidak Islami, menjadi haram dikonsumsi.

Untuk itu, kita membutuhkan manajemen agribisnis yang syariah pula. Manajemen adalah suatu rangakaian proses yang meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pengendalian dalam rangka memberdayakan seluruh sumberdaya organisasi, baik sumberdaya manusia, modal, material, maupun teknologi secara optimal untuk mencapai tujuan organisasi. Sebagai sebuah organisasi, sistem agribisnis memerlukan suatu pekerjaan yang dikelola dengan benar, rapi, jelas, terarah, tertib, dan teratur sebagaimana yang ditekankan oleh syariah Islam. Hal ini dijelaskan dalam Hadits riwayat Thabrani serta Tirmidzi dan Nasa’i: “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas, dan tuntas)”.

Rangkaian kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pengendalian dikenal sebagai fungsi-fungsi manajemen yang juga diterapkan dalam manajemen agribisnis. Fungsi-fungsi manajemen berlaku pada setiap tahapan kegiatan agribisnis, baik manajemen produksi, agroindustri, pemasaran, maupun dalam manajemen risiko agribisnis.

Dalam hal memproduksi atau budidaya, manajemen produksi pertanian ditujukan untuk meningkatkan produksi secara kuantitas dan kualitas. Alquran menganjurkan untuk melipatgandakan hasil panen dan memperbaiki kualitas melalui penerapan teknologi budidaya yang tepat dan penggunaan input produksi yang baik. Untuk pemasaran atau berdagang, Islam lebih pada mengantarkan, melayani produsen dan konsumen, bukan membangun otoritas sendiri yang lalu menguasai keseluruhan sistem agribisnis.

Bagaimana menghadapi resiko secara Islami? Bertani dan menjalankan agribisnis penuh resiko. Maka itu bank-bank komersial enggan turun tangan. Ada banyak resiko yakni ketidakmenentuan iklim, serangan hama penyakit, dan resiko penurunan nilai. Penurunan nilai bisa terjadi akibat penurunan mutu, perubahan harga, maupun perubahan selera konsumen. Semua risiko sangat menghantui pelaku agribisnis.

Islam memberi pedoman bahwa segala bentuk ujian dan resiko ini mestilah selalu dipandang sebagai cobaan atau musibah yang datangnya dari Allah SWT. Berkenaan dengan ini, surat Ali ‘Imran ayat 117 menyatakan: “Perumpamaan harta yang mereka nahkahkan dalam kehidupan dunia ini seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin yang menimpa ladang kaum yang menganiaya dirinya, lalu angin itu membinasakannya. Dan Allah tidak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”.

Hasil panen harus dijual. Maka, dalam agribisnis ada perdagangan. Berdagang atau dulu disebut berniaga, apalagi jauh, antar pulau bahkan antar benua; merupakan sebuah jalan dakwah. Pada zaman Nabi Muhammad SAW telah dilakukan perdagangan, baik perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar negeri. Misi yang diemban selain untuk berdagang dan mencari keuntungan, juga untuk berdakwah menyiarkan agama Islam. Dari berdagang lah syiar Islam berkembang dan tersebar ke seluruh belahan dunia. Para sahabat nabi dan orang-orang Arab sering melakukan perjalanan dalam rangka berdagang ke berbagai negeri termasuk ke China, Malaysia, Filipina, dan juga Indonesia.

Pedagang, yang membeli sesuatu lalu menjualnya, atau dalam sastra Melayu sering dibilang menjadi “saudagar”; janganlah diremehkan. Abu Said meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah berkata, “Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para Nabi, shiddiqien, dan syuhada.” Namun, di kesempatan lain Nabi memperingatkan bahwa pasar adalah tempat di mana kita harus berhati-hati. Menjadi pedagang memang tidaklah mudah, apalagi menjadi pedagang jujur. Rasulullah tahu benar hal ini karena ia pernah jadi pedagang. Abdullah bin Umar adalah pedagang yang sukses, demikian pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman yang kekayaannya diperoleh dari berdagang.

Bertani dan berdagang adalah pekerjaan para Rasul. Bertani adalah dasar yang menopang semua kehidupan di atasnya. Ia sektor primer. Semua sektor lain mandeg, jika sektor primer tidak jalan. Pabrik baju wol tidak bisa bekerja sebelum  peternak biri-biri menghasilkan bulu yang bagus. Pabrik konveksi tidak jalan jika petani kapas belum panen. Dan seterusnya.

Para Nabi dan Rasul bekerja untuk menopang keberlangsungan dakwah. Bekerja mencari nafkah dengan berniaga, bertani, dan beternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak menurunkan kualitas tawakal mereka. Para ulama pun tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, namun mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Ketika menjadi khalifah, Abu Bakar pergi ke pasar setiap pagi memanggul beberapa helai pakaian untuk dijual. Ketika bertemu dengan Umar dan Ubaidah bin Jarrah, ia ditanya: “Bagaimana engkau berdagang sementara engkau menjadi pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar berkata: “Dari mana aku menghidupi keluargaku?” Padahal sebagaimana Umar, Abu Bakar juga memperoleh bagian dari baitul mal.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar