(Draf Buku “BERTANI
DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri
Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam. Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)
Agraria merupakan basis struktur pertanian dan masyarakatnya. Ia yang
akan menentukan siapa yang akan kaya siapa miskin, siapa untung siapa rugi,
bahkan sampai kepada seberapa jauh produksi dan produktivitas bisa dicapai.
Jagad diskursus agraria di tanah air selama ini ramai antara pola penguasaan
eigendom Barat dan hukum formal negara, yang dihadapkan pada hukum masyarakat tradisional.
Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan
sistem agraria yang berlaku, karena akan menentukan tingkat dan distribusi
kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Demikian pula untuk sektor pertanian,
karena faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan usahatani termasuk
distribusi hasilnya di antara pelakunya. Ketimpangan penguasaan lahan akan
menghasilkan ketimpangan kesjahteraan.
Hukum Adat “sejalan”
dengan Hukum Islam
Dari hasil penelitian saya bersama kawan-kawan di Sumatera Barat,
Kalimantan Barat, dan DI Yogyakarta awal tahun 2000-an, ditemukan satu pola
yang sangat mencengangkan. Ada kesamaan konsep penguasaan tanah menurut hukum
adat dengan ketentuan Islam. Meskipun adat Dayak dan Minang Kabau berbeda, juga
menggunakan istilah berbeda, namun prinsip dan pengaturan penguasaan tanah
antara keduanya banyak kesamaan. Dari sumber-sumber lain, Saya juga menemukan
bahwa penguasaan terhadap tanah menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di
Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan bentuk penguasaan tanah menurut hukum
Islam.
Namun, penguasaan menurut hukum adat dan Islam ini, sangat-sangat
berbeda dengan konsep penguasaan menurut hukum Barat. Ini lah yang Saya sebut
dengan “kearifan Timur” tentang agraria yang sungguh arif.
Beberapa ciri penguasaan tanah menurut hukum adat dan Islam yang utama
adalah bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi yang unik, dimana tidak
mengenal bentuk penguasaan yang mutlak, adanya sifat inklusifitas, larangan
untuk memperjualbelikan tanah dalam arti sebagai komoditas pasar, serta lebih
diharganinya manusia dan kerja dibandingkan tanah. Keempat sifat ini saling
mengkait, yang dilandasi oleh paradigma pokok bahwa sesungguhnya tanah adalah
sumberdaya yang khas tidak sebagaimana sumberdaya ekonomi lain. Karena jumlahya yang
terbatas, maka tanah harus digunakan secara adil, dan harus mampu memberi
kesejahteraan bagi seluruh makhluk di muka bumi. Untuk itu, jangan pernah
menjadikan tanah sebagai komoditas pasar yang bebas (komodifikasi).
Saudara-saudara, memiliki sepetak tanah tidak seperti memiliki mobil.
Mobil mau dicat ulang, mau diganti bentuknya, atau bahkan mau ditabrakin, atau
dibiarkan saja tergeletak tak dipakai; terserah yang punya. Untuk tanah ga bisa
begitu. Mobil yang kita beli bebas mau kita apakan. Tanah tidak bisa
diperlakukan seperti itu. Tanah sejatinya adalah milik Allah. Walau kita telah
memegang sertifikat hak milik, tanah tidak pernah milik kita sepenuh-penuhnya. Maka
itu brother, kita juga tidak boleh
sesuka-suka memagari tanah dengan kawat atau tembok tinggi, sehingga orang di
belakang nya tidak bisa lewat. Ini zalim.
Penguasaan menurut hukum Barat yang dimaksud disini adalah corak
penguasaan kapitalis. Ssebelum dikenal corak kapitalis ini, penguasaan tanah secara
tradisional menggunakan hukum adat. Penguasaan tanah menurut hukum adat dan
Islam tampaknya memiliki kearifan yang lebih tinggi, yang sesungguhnya akan
lebih mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan;
dibandingkan konsep “penguasaan mutlak” menurut hukum kapitalis Barat.
Dalam konsep ekonomi Islam, manusia tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya sendiri. Ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa. Tidak seorang pun boleh lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk. Dalam konteks ini, manusia tidak hanya makhluk sosial namun sekaligus juga makhluk religius.
Perbedaan hukum adat, Islam dan Barat terhadap
penguasaan tanah
Hukum
adat |
Hukum
Islam |
Hukum
Barat (kapitalis) |
Bentuk
penguasaan tidak mutlak, ada hak sosial di dalamnya. Tanah harus mampu
memberi manfaat kepada orang yang bukan pemilik sekalipun. |
Tidak
mutlak, ada hak umat di dalamnya. Jika tanah 3 tahun tidak digarap harus
dikembalikan ke negara. |
Mutlak.
Tanah bebas mau diapakan oleh individu yang menguasainya. Mau didiamkan juga
boleh. |
Sifat
penguasaan tanah inklusif, ada hak sosial komunitas di dalam sebidang
tanah. |
Inklusif,
ada hak umat yang lain. |
Ekslusif,
adalah milik si pemilik sepenuhnya. |
Penjualan
tanah dilarang |
Dibolehkan,
namun terbatas |
Dibolehkan,
bahkan tanah menjadi komoditas pasar yang sangat potensial. |
Nilai
kerja manusia lebih tinggi dibanding tanah |
Manusia
dan kerjanya lebih tinggi dan bernilai dibanding tanah |
Tanah
dan tenaga kerja semata sebagai faktor produksi, nilainya sejajar saja. |
Dalam sistem hukum Minangkabau sebagai contoh, dipisahkan antara ”tanah”
dan ”ulayat” dengan azas terpisah
horizontal. Artinya, tanah secara fisik adalah tetap milik komunal dan tidak
boleh berpindah tangan kepemilikannya; sedangkan pengaturan ulayat (atau
pemanfaatannya) berada di bawah kewenangan penghulu (Nurullah, 1999).
Dalam banyak suku di Indoensia, diatur sampai dimana hak perseorangan
dibatasi. Setiap anggota suku (persekutuan) diberi hak untuk mengerjakan tanah
adat (atau tanah ulayat) di wilayahnya dengan diberi izin yang disebut dengan
hak ”wenang pilih”. Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah
dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus menerus, maka hubungannya
dengan tanah itu semakin kuat. Namun apabila suatu waktu tanah itu
ditinggalkannya, maka hubungannya semakin renggang dengan tanah tersebut, dan
lalu bisa putus.
Nah, disini tampak ada kesamaan dengan regulasi di Islam ya. Jika tanah
dianggurkan, bisa diambil alih pemerintah.
Dalam dasar-dasar Ekonomi Islam, sumberdaya alam sebagai sumber
kesejahteraan dan perannya merupakan aspek penting yang sangat ditekankan.
Semua yang ada di alam, baik matahari, bulan, udara dan lain-lain; diciptakan
untuk menuju kesejahteraan manusia. Semua diciptakan oleh Allah, dan tak ada
seseorang yang dapat memonopolinya. Salah satu bagian alam tersebut adalah
permukaan bumi (surface of the earth), dimana tanah merupakan
komponen yang paling bernilai (Afzalurrahman, 2000). Pada prinsipnya, konsep
penguasaan tanah dalam Islam berakar dari konsep bumi (earth), dimana
bumi dipandang sebagai satu sumber daya yang paling bernilai untuk menuju
kesejahteraan hidup.
Secara teoritis, kita mengenal setidaknya tiga bentuk kepemilikan,
yaitu: (1) kepemilikan mutlak (absolute ownership), (2) kepemilikan
secara bersama (public ownership), dan (3) kepemilikan
individual (private ownership). Dalam kepemilikan mutlak, si
pemilik dapat melakukan apapun yang dia mau tanpa batasan (restriction) atau
pengekangan (restraint). Dalam konsep Islam, kepemilikan mutlak
hanyalah milik Allah. Hanya Allah yang dapat melakukan apapun terhadap apapun
yang ada di bumi. Hanya dia, bukan manusia, yang dapat mengadakan atau
meniadakan, mengambil atau membuang, dan seterusnya. Dalam Alquran
disebutkan: "Apapun yang berada di surga dan di bumi adalah milik
Allah " (Surah al-Najm: 31).
Selama ini, karena menjadikan tanah sebagai komoditas sesuai hukum
kapitalis, maka dunia telah mengalami beberapa kali krisis. Sesungguhnya
penguasaan menurut hukum adat dan Islam akan lebih tepat, lebih
mensejahterakan, dan adil. Sudah masanya kita beralih ke “kearifan Timur”.
Wakaf
Tanah sebagai Solusi Permanen Reforma Agraria Nasional
Menjadikan wakaf sebagai salah satu
bentuk untuk reforma agraria mulai ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Nahdlatul Ulama (NU) telah membuat rekomendasi
reforma agraria dalam Musyawarah Nasional NU di Nusa Tenggara Barat tahun 2017.
Sikap ini menjadi titik masuk
mengkoneksikan wakaf dengan kebijakan reforma agraria nasional.
Dalam buku "Wakaf Agraria:
Signifikansi wakaf bagi agena reforma agraria (Shohibuddin, 2019) misalnya,
disampaikan bahwa wakaf di bidang pertanian dan lingkungan hidup mengandung
aspek-aspek kunci dalam pelaksanaan reforma agraria, seperti pengaturan penguasaan
tanah, penggunaannya dan pemanfaatannya. Menurut beliau, wakaf merupakan skema
yang sangat menjanjikan dalam merespons berbagai persoalan struktural di bidang
agraria, seperti keterbatasan akses petani atas lahan pertanian, ketimpangan
penguasaan lahan, dan ancaman alih komoditas pangan dan konversi lahan
pertanian. Di satu sisi, skema wakaf bisa menyediakan akses lahan pertanian dan
sekaligus mencegahnya dari ancaman fragmentasi, pelepasan, pencaplokan dan alih
fungsi lahan. Di sisi yang lain, berbagai komponen reforma agraria ternyata
sangat memungkinkan untuk dipadukan dengan aspek-aspek pelaksanaan wakaf itu
sendiri.
Inovasi “wakaf agraria” dikembangkan
dalam buku ini dengan merujuk konsep normatif dan kesejarahan wakaf sendiri.
Rupanya ide ini sudah dijalankan di beberapa wilayah, misalnya wakaf lahan
pangan di Tuban dan Jombang (Jawa Timur), wakaf kebun di Pandeglang (Banten),
dan hutan wakaf di Aceh Besar (Aceh). Penulis di buku itu membeberkan ada tujuh
model operasional wakaf agraria, yaitu: model kontra-fragmentasi, model
konsolidasi, model donator utama, model crowd
funding, model integrasi dengan land reform inisiatif masyarakat, model
tanah wakaf desa, dan model integrasi dengan program land reform pemerintah.
Skema wakaf agraria bersifat inklusif.
Bisa untuk filantropi sosial dan lebih dari ibadah ritual. Pula, wakaf agraria
dapat berlaku untuk masyarakat luas dan tidak terbatas pada umat Islam semata,
baik pemberi maupun penerimanya.
Potensi tanah wakaf di
Indonesia sangat besar. Per Juni 2017, luas tanah wakaf di Indonesia 4,36 juta ha. Ini setengah
dari total sawah irigasi di Indonesia yang hanya 7,7 juta ha. Sesuai Badan
Wakaf Indonesia (BWI), lahan tersebut berada pada 435.768 lokasi. Dari seluruhnya
yang sudah bersertifikat adalah 287.608 lokasi dan belum bersertifikat 148.160
lokasi (Laporan Direktur Pemberdayaan Wakaf, 4 Januari tahun 2017).
Dengan skema wakaf diharapkan
kegagalan reforma agraria selama ini bisa diatasi. Kegagalan tersebut adalah diferensiasi agraria, fragmentasi tanah, penggusuran
petani, dan alih fungsi lahan pertanian. Wakaf dapat menjadi terobosan
keagamaan untuk menjalankan reforma agraria yang komprehensif dan
berkelanjutan.
Mewakafkan
harta untuk kepentingan umum merupakan satu tindakan yang amat mulia. Cukup
banyak jenis harta yang dapat seseorang wakafkan, salah satunya ialah harta tak
bergerak berupa tanah. Pengertian hingga aturan mengenai wakaf telah diatur
oleh negara, di antaranya UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan
Pemerintah No 42 Tahun 2006 untuk pelaksanaanya. Disini didefinisikan wakaf adalah “…perbuatan hukum wakif
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah”.
Mengenai barang yang
ingin diwakafkan, ada aturan yang menyatakan bahwa benda tersebut haruslah
barang yang tidak bisa habis, misalnya barang properti (tanah, rumah, dan
sebagainya). Untuk tanah, selama
ini umumnya tanah dipakai untuk membangun tempat ibadah atau untuk kepentingan
umum lain.
Wakaf pada hakikatnya adalah melepas kepemilikan sehingga tidak bisa
dialhifungsikan dan dipindahtangankan kepada siapapun. Kata kuncinya adalah
pada “tidak dapat dipindahtangankan” tersebut.
Sehingga, tanah yang semula berada pada
jalur komersial sebagai komoditas berubah menjadi non-komoditas dan lepas
dari sistem pasar komersial. Artinya, status tanah yang semula privat menjadi common.
Maka, otomatias tanah yang diwakafkan tercegah dari proses fragmentasi dari
mekanisme pewarisan
Wakaf bisa menjadi penunjang agenda reforma agraria, misalnya dalam
proses konsolidasi tanah. Wakaf dapat dilakukan untuk Tanah Desa, di mana desa
mengalokasikan tanahnya melalui mekanisme tertentu dengan wakaf. Lebih jauh,
tanah negara yang maha luas (lebih dari 2/3 total luas tanah di Indonesia), sebenarnya bisa menggunakan mekanisme wakaf
ini. Negara yang secara hukum bukan pemilik tanah super-landlord dapat mendistribusikan tanah ke masyarakat
dengan mekanisme wakaf misalnya melalui Badan Wakaf Indonesia.
Intinya, spirit dan mekanisme wakaf mencoba
“melawan” faham komersialisasi tanah. Dengan wakaf, tanah tidak akan berubah
penguasaan, berpindah tangan, atau diperjualbelikan, serta terfragmentasi
sebagaimana terjadi di pasar tanah. Wakaf tanah demi mewujdukan kepentingan umum
pada tanah. Selain itu, wakaf tanah juga akan memupuk rasa solidaritas sosial
yang merupakan basis ekonomi Islam untuk sejahtera bersama. Bahkan, akan wakaf
menjadi solusi untuk seluruh warga termasuk non muslim. Wallahu a’lam bish shawab.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar