Sabtu, 09 Mei 2020

Subbab 3.7. KEARIFAN TIMUR REFORMA AGRARIA

(Draf Buku “BERTANI DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam.  Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)


Agraria merupakan basis struktur pertanian dan masyarakatnya. Ia yang akan menentukan siapa yang akan kaya siapa miskin, siapa untung siapa rugi, bahkan sampai kepada seberapa jauh produksi dan produktivitas bisa dicapai. Jagad diskursus agraria di tanah air selama ini ramai antara pola penguasaan eigendom Barat dan hukum formal negara, yang dihadapkan pada hukum masyarakat tradisional. Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan sistem agraria yang berlaku, karena akan menentukan tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Demikian pula untuk sektor pertanian, karena faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan usahatani termasuk distribusi hasilnya di antara pelakunya. Ketimpangan penguasaan lahan akan menghasilkan ketimpangan kesjahteraan.

Hukum Adat “sejalan” dengan Hukum Islam

Dari hasil penelitian saya bersama kawan-kawan di Sumatera Barat, Kalimantan Barat, dan DI Yogyakarta awal tahun 2000-an, ditemukan satu pola yang sangat mencengangkan. Ada kesamaan konsep penguasaan tanah menurut hukum adat dengan ketentuan Islam. Meskipun adat Dayak dan Minang Kabau berbeda, juga menggunakan istilah berbeda, namun prinsip dan pengaturan penguasaan tanah antara keduanya banyak kesamaan. Dari sumber-sumber lain, Saya juga menemukan bahwa penguasaan terhadap tanah menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan bentuk penguasaan tanah menurut hukum Islam.

Namun, penguasaan menurut hukum adat dan Islam ini, sangat-sangat berbeda dengan konsep penguasaan menurut hukum Barat. Ini lah yang Saya sebut dengan “kearifan Timur” tentang agraria yang sungguh arif.

Beberapa ciri penguasaan tanah menurut hukum adat dan Islam yang utama adalah bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi yang unik, dimana tidak mengenal bentuk penguasaan yang mutlak, adanya sifat inklusifitas, larangan untuk memperjualbelikan tanah dalam arti sebagai komoditas pasar, serta lebih diharganinya manusia dan kerja dibandingkan tanah. Keempat sifat ini saling mengkait, yang dilandasi oleh paradigma pokok bahwa sesungguhnya tanah adalah sumberdaya yang khas tidak sebagaimana sumberdaya ekonomi lain. Karena jumlahya yang terbatas, maka tanah harus digunakan secara adil, dan harus mampu memberi kesejahteraan bagi seluruh makhluk di muka bumi. Untuk itu, jangan pernah menjadikan tanah sebagai komoditas pasar yang bebas (komodifikasi).

Saudara-saudara, memiliki sepetak tanah tidak seperti memiliki mobil. Mobil mau dicat ulang, mau diganti bentuknya, atau bahkan mau ditabrakin, atau dibiarkan saja tergeletak tak dipakai; terserah yang punya. Untuk tanah ga bisa begitu. Mobil yang kita beli bebas mau kita apakan. Tanah tidak bisa diperlakukan seperti itu. Tanah sejatinya adalah milik Allah. Walau kita telah memegang sertifikat hak milik, tanah tidak pernah milik kita sepenuh-penuhnya. Maka itu brother, kita juga tidak boleh sesuka-suka memagari tanah dengan kawat atau tembok tinggi, sehingga orang di belakang nya tidak bisa lewat. Ini zalim.

Penguasaan menurut hukum Barat yang dimaksud disini adalah corak penguasaan kapitalis. Ssebelum dikenal corak kapitalis ini, penguasaan tanah secara tradisional menggunakan hukum adat. Penguasaan tanah menurut hukum adat dan Islam tampaknya memiliki kearifan yang lebih tinggi, yang sesungguhnya akan lebih mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan; dibandingkan konsep “penguasaan mutlak” menurut hukum kapitalis Barat.

Dalam konsep ekonomi Islam, manusia tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya sendiri. Ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa. Tidak seorang pun boleh lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk. Dalam konteks ini, manusia tidak hanya makhluk sosial namun sekaligus juga makhluk religius. 

Perbedaan hukum adat, Islam dan Barat terhadap penguasaan tanah

Hukum adat

Hukum Islam

Hukum Barat (kapitalis)

Bentuk penguasaan tidak mutlak, ada hak sosial di dalamnya. Tanah harus mampu memberi manfaat kepada orang yang bukan pemilik sekalipun.

Tidak mutlak, ada hak umat di dalamnya. Jika tanah 3 tahun tidak digarap harus dikembalikan ke negara.

Mutlak. Tanah bebas mau diapakan oleh individu yang menguasainya. Mau didiamkan juga boleh.

Sifat penguasaan tanah inklusif, ada hak sosial komunitas di dalam sebidang tanah.

Inklusif, ada hak umat yang lain.

Ekslusif, adalah milik si pemilik sepenuhnya.

Penjualan tanah dilarang

Dibolehkan, namun terbatas

Dibolehkan, bahkan tanah menjadi komoditas pasar yang sangat potensial.

Nilai kerja manusia lebih tinggi dibanding tanah

Manusia dan kerjanya lebih tinggi dan bernilai dibanding tanah

Tanah dan tenaga kerja semata sebagai faktor produksi, nilainya sejajar saja.

 

Dalam sistem hukum Minangkabau sebagai contoh, dipisahkan antara ”tanah” dan ”ulayat” dengan  azas terpisah horizontal. Artinya, tanah secara fisik adalah tetap milik komunal dan tidak boleh berpindah tangan kepemilikannya; sedangkan pengaturan ulayat (atau pemanfaatannya) berada di bawah kewenangan penghulu (Nurullah, 1999).

Dalam banyak suku di Indoensia, diatur sampai dimana hak perseorangan dibatasi. Setiap anggota suku (persekutuan) diberi hak untuk mengerjakan tanah adat (atau tanah ulayat) di wilayahnya dengan diberi izin yang disebut dengan hak ”wenang pilih”. Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus menerus, maka hubungannya dengan tanah itu semakin kuat. Namun apabila suatu waktu tanah itu ditinggalkannya, maka hubungannya semakin renggang dengan tanah tersebut, dan lalu bisa putus.

Nah, disini tampak ada kesamaan dengan regulasi di Islam ya. Jika tanah dianggurkan, bisa diambil alih pemerintah.

Dalam dasar-dasar Ekonomi Islam, sumberdaya alam sebagai sumber kesejahteraan dan perannya merupakan aspek penting yang sangat ditekankan. Semua yang ada di alam, baik matahari, bulan, udara dan lain-lain; diciptakan untuk menuju kesejahteraan manusia. Semua diciptakan oleh Allah, dan tak ada seseorang yang dapat memonopolinya. Salah satu bagian alam tersebut adalah permukaan bumi (surface of the earth), dimana tanah merupakan komponen yang paling bernilai (Afzalurrahman, 2000). Pada prinsipnya, konsep penguasaan tanah dalam Islam berakar dari konsep bumi (earth), dimana bumi dipandang sebagai satu sumber daya yang paling bernilai untuk menuju kesejahteraan hidup.

Secara teoritis, kita mengenal setidaknya tiga bentuk kepemilikan, yaitu: (1) kepemilikan mutlak (absolute ownership), (2) kepemilikan secara bersama (public ownership), dan (3) kepemilikan individual (private ownership). Dalam kepemilikan mutlak, si pemilik dapat melakukan apapun yang dia mau tanpa batasan (restriction) atau pengekangan (restraint). Dalam konsep Islam, kepemilikan mutlak hanyalah milik Allah. Hanya Allah yang dapat melakukan apapun terhadap apapun yang ada di bumi. Hanya dia, bukan manusia, yang dapat mengadakan atau meniadakan, mengambil atau membuang, dan seterusnya. Dalam Alquran disebutkan: "Apapun yang berada di surga dan di bumi adalah milik Allah " (Surah al-Najm: 31).

Selama ini, karena menjadikan tanah sebagai komoditas sesuai hukum kapitalis,  maka dunia telah mengalami beberapa kali krisis. Sesungguhnya penguasaan menurut hukum adat dan Islam akan lebih tepat, lebih mensejahterakan, dan adil. Sudah masanya kita beralih ke “kearifan Timur”.

Wakaf Tanah sebagai Solusi Permanen Reforma Agraria Nasional

Menjadikan wakaf sebagai salah satu bentuk untuk reforma agraria mulai ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Nahdlatul Ulama (NU) telah membuat rekomendasi reforma agraria dalam Musyawarah Nasional NU di Nusa Tenggara Barat tahun 2017.  Sikap ini menjadi titik masuk mengkoneksikan wakaf dengan kebijakan reforma agraria nasional.

Dalam buku "Wakaf Agraria: Signifikansi wakaf bagi agena reforma agraria (Shohibuddin, 2019) misalnya, disampaikan bahwa wakaf di bidang pertanian dan lingkungan hidup mengandung aspek-aspek kunci dalam pelaksanaan reforma agraria, seperti pengaturan penguasaan tanah, penggunaannya dan pemanfaatannya. Menurut beliau, wakaf merupakan skema yang sangat menjanjikan dalam merespons berbagai persoalan struktural di bidang agraria, seperti keterbatasan akses petani atas lahan pertanian, ketimpangan penguasaan lahan, dan ancaman alih komoditas pangan dan konversi lahan pertanian. Di satu sisi, skema wakaf bisa menyediakan akses lahan pertanian dan sekaligus mencegahnya dari ancaman fragmentasi, pelepasan, pencaplokan dan alih fungsi lahan. Di sisi yang lain, berbagai komponen reforma agraria ternyata sangat memungkinkan untuk dipadukan dengan aspek-aspek pelaksanaan wakaf itu sendiri.

Inovasi “wakaf agraria” dikembangkan dalam buku ini dengan merujuk konsep normatif dan kesejarahan wakaf sendiri. Rupanya ide ini sudah dijalankan di beberapa wilayah, misalnya wakaf lahan pangan di Tuban dan Jombang (Jawa Timur), wakaf kebun di Pandeglang (Banten), dan hutan wakaf di Aceh Besar (Aceh). Penulis di buku itu membeberkan ada tujuh model operasional wakaf agraria, yaitu: model kontra-fragmentasi, model konsolidasi, model donator utama, model crowd funding, model integrasi dengan land reform inisiatif masyarakat, model tanah wakaf desa, dan model integrasi dengan program land reform pemerintah.

Skema wakaf agraria bersifat inklusif. Bisa untuk filantropi sosial dan lebih dari ibadah ritual. Pula, wakaf agraria dapat berlaku untuk masyarakat luas dan tidak terbatas pada umat Islam semata, baik pemberi maupun penerimanya.

Potensi tanah wakaf di Indonesia sangat besar. Per Juni 2017, luas tanah  wakaf di Indonesia 4,36 juta ha. Ini setengah dari total sawah irigasi di Indonesia yang hanya 7,7 juta ha. Sesuai Badan Wakaf Indonesia (BWI), lahan tersebut berada pada 435.768 lokasi. Dari seluruhnya yang sudah bersertifikat adalah 287.608 lokasi dan belum bersertifikat 148.160 lokasi (Laporan Direktur Pemberdayaan Wakaf, 4 Januari tahun 2017).

Dengan skema wakaf diharapkan kegagalan reforma agraria selama ini bisa diatasi. Kegagalan tersebut adalah diferensiasi agraria, fragmentasi tanah, penggusuran petani, dan alih fungsi lahan pertanian. Wakaf dapat menjadi terobosan keagamaan untuk menjalankan reforma agraria yang komprehensif dan berkelanjutan.

Mewakafkan harta untuk kepentingan umum merupakan satu tindakan yang amat mulia. Cukup banyak jenis harta yang dapat seseorang wakafkan, salah satunya ialah harta tak bergerak berupa tanah. Pengertian hingga aturan mengenai wakaf telah diatur oleh negara, di antaranya UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006 untuk pelaksanaanya. Disini didefinisikan wakaf adalah “…perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.

Mengenai barang yang ingin diwakafkan, ada aturan yang menyatakan bahwa benda tersebut haruslah barang yang tidak bisa habis, misalnya barang properti (tanah, rumah, dan sebagainya).Description: https://wtf2.forkcdn.com/www/delivery/lg.php?bannerid=0&campaignid=0&zoneid=4560&loc=https%3A%2F%2Ffinance.detik.com%2Fproperti%2Fd-3229778%2Fmengenal-tanah-wakaf&referer=https%3A%2F%2Fwww.google.co.id%2F&cb=6a040a769e Untuk tanah, selama ini umumnya tanah dipakai untuk membangun tempat ibadah atau untuk kepentingan umum lain.

Wakaf pada hakikatnya adalah melepas kepemilikan sehingga tidak bisa dialhifungsikan dan dipindahtangankan kepada siapapun. Kata kuncinya adalah pada “tidak dapat dipindahtangankan” tersebut.  Sehingga, tanah yang semula berada pada  jalur komersial sebagai komoditas berubah menjadi non-komoditas dan lepas dari sistem pasar komersial. Artinya, status tanah yang semula privat menjadi common. Maka, otomatias tanah yang diwakafkan tercegah dari proses fragmentasi dari mekanisme pewarisan

Wakaf bisa menjadi penunjang agenda reforma agraria, misalnya dalam proses konsolidasi tanah. Wakaf dapat dilakukan untuk Tanah Desa, di mana desa mengalokasikan tanahnya melalui mekanisme tertentu dengan wakaf. Lebih jauh, tanah negara yang maha luas (lebih dari 2/3 total luas tanah di Indonesia),  sebenarnya bisa menggunakan mekanisme wakaf ini. Negara yang secara hukum bukan pemilik tanah super-landlord dapat mendistribusikan tanah ke masyarakat dengan mekanisme wakaf misalnya melalui Badan Wakaf Indonesia.

Intinya, spirit dan mekanisme wakaf mencoba “melawan” faham komersialisasi tanah. Dengan wakaf, tanah tidak akan berubah penguasaan, berpindah tangan, atau diperjualbelikan, serta terfragmentasi sebagaimana terjadi di pasar tanah. Wakaf tanah demi mewujdukan kepentingan umum pada tanah. Selain itu, wakaf tanah juga akan memupuk rasa solidaritas sosial yang merupakan basis ekonomi Islam untuk sejahtera bersama. Bahkan, akan wakaf menjadi solusi untuk seluruh warga termasuk non muslim. Wallahu a’lam bish shawab.

*****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar