(Draf Buku “BERTANI
DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri
Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam. Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)
Kisah liku-liku para Rasul mengembangkan agama sudah begitu sering kita dengar. Namun, bagaimana
para nabi dan Rasul menjalankan kehidupan ekonominya jarang
diungkap. Nabi dan rasul sebagaimana manusia biasa juga perlu makan, pakaian
dan tempat tinggal. Ia tidak memperolehnya begitu saja.
Para Nabi dan Rasul harus bekerja untuk mendapatkan kebutuhan
hidupnya. Ia harus bekerja sebagaimana manusia pula. Selain untuk dirinya
sendiri, para Nabi dan Rasul pun harus menghidupi
keluarganya.
Al-Hadits: ”Tuhan tidak pernah mengangkat Nabi yang tidak pernah menggembala domba
atau kambing”. Ya, para Nabi beternak. Memelihara ternak termasuk
bertani. Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat yang mengandalkan pertanian,
selain perdagangan.
Para Rasul juga bertani seperti
kita. Apa yang mereka tanam tidak langsung berbuah. Ada upaya, ada keseriusan, dan ada resiko gagal pula. Jadi, meskipun para
Rasul sudah dibebani menyampaikan wahyu, menegakkan agama Allah dan mengurus
umat; tidak serta merta harus meninggalkan kehidupan ekonominya.
Bersamaan dengan itu pula,
berkerja sembari mendakwahkan dan mengembangkan agama merupakan pola hidup yang banyak dilakoni
para pendakwah yang memasukkan agama Islam ke nusantara. Mereka adalah pedagang
sekaligus pendakwah dan guru agama. Hal seperti ini juga dijalankan para Wali
Songo. Mereka berekonomi tidak semata untuk keuntungan, tapi lebih kepada
orientasi dakwah. Berekonomi secara benar dan menguntungkan juga merupakan
salah satu materi yang diajarkan kepada umatnya saat itu.
Rasul Bertani untuk Hidupnya
Dalam sejarahnya, para Nabi berkerja sebagaimana manusia biasa untuk
menghidupi dirinya. Pada surah Al Furqan ayat 20 terbaca: "Tidaklah Kami mengutus para utusan sebelum engkau (Muhammad)
melainkan sesungguhnya mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar".
Pasar adalah tempat berkumpulnya manusia dengan berbagai macam karakter. Dari
yang paling baik sampai yang buruk dapat dijumpai di dalamnya. Jadi, para rasul
utusan Allah itu dalam melakukan kegiatan ekonominya bergaul dan berinteraksi
dengan semua jenis manusia tanpa pilih-pilih.
Mereka bukan tokoh spiritual
penyendiri yang tinggal di dalam menara gading. Para Nabi bekerja dan berdagang secara riel. Nabi Musa AS bekerja pada Nabi Syuaib, nabi Daud
sebagai pengrajin membuat baju perang, Nabi Yusuf sebagai pengawas gudang,
sedangkan Nabi Zakaria AS misalnya menjadi tukang kayu, dan Nabi Idris menjahit
pakaian.
Lain lagi Nabi Ibrahim yang
memiliki kemampuan membuat patung seperti ayahnya, namun memfokuskan pada
produksi gerabah kebutuhan rumah tangga. Sementara, Nabi Musa adalah seorang
ahli bangunan yang merancang dan memimpin beberapa proyek pembangunan
gedung-gedung monumental di Mesir. Karena kehidupan yang berpindah-pindah, Nabi
Musa sering beralih-alih profesi untuk menghidupi dirinya. Demikian pula dengan
Nabi Isa yang diangkat menjadi nabi di umur 30 tahun dan meninggal di usia muda 3 tahun kemudian. Dalam lukisan-lukisan
kaum Nasrani ia sering digambarkan sedang menggembala kambing. Ada pula yang
menyebut bahwa Nabi Isa menjadi tukang kayu.
Para Nabi berkerja karena tidak
mau aji mumpung dan menyandarkan hidup kepada umatnya. Beragam pekerjaan yang
dilakoni Rasul, dengan mengandalkan keterampilan tangan dan lain-lain. Hadits: “Tidak ada makanan yang lebih baik dikonsumsi
oleh seseorang, kecuali -- yang diperoleh -- dari pekerjaan tangannya. Dan
sesungguhnya Nabi Allah Daud AS makan dari pekerjaan tangannya “. Nabi Daud AS mencari nafkah dari
hasil pekerjaan tangannya sendiri sebagai tukang besi. Ia membuat baju besi dan
lain-lain, kemudian menjualnya ke pasar untuk menghidupi diri dan keluarganya
dari hasil penjualannya.
Suatu hari Nabi Sulaiman AS minta
ditunjukkan oleh Allah SWT hamba yang lebih bersyukur dibandingkan dirinya.
Allah lalu mengutus Jibril untuk mengajari Sulaiman cara menyepuh perhiasan
dengan emas, dan ia membuatnya pada kapak, lalu menjualnya. Begitulah, manusia
pertama yang membuat hiasan dengan sepuhan emas adalah Nabi Sulaiman AS.
Ketika muda, Rasulullah SAW
adalah seorang pekerja yang sangat giat. Beliau menjual
jasa menjadi penggembala kambing milik orang lain. Nabi memelihara kambing dengan sangat produktif. Beliau juga menjualkan dagangan milik Khadijah ke Syam, dan mendapatkan
bagi hasil. Bangsa Quraisy terkenal ulung berniaga. Pada musim dingin mereka ke
Yaman, dan pada musim panas ke Syam (Suriah). Mereka bukanlah bangsa pemalas.
Abdullah misalnya, ayah nabi, jatuh sakit dan wafat dalam perjalanan pulang
berniaga dari Syam. Muhammad SAW dalam usia 12 tahun sudah mulai mengikuti
jejak kaumnya, yang diajak pamannya Abu Thalib, ikut dalam rombongan niaga ke
Syam.
Saat Rasul Muhammad SAW berusia 25 tahun, Abu Thalib
berhasil mendapatkan perkerjaan dari Khadijah seorang pengusaha terkaya di
Mekah saat itu. Khadijah menawarkan gaji empat ekor unta. Untuk pertama kalinya
Nabi kita ini
memimpin kafilah dagang menyusuri jalur perdagangan utama Yaman – Syam. Bisnis
tersebut sukses besar dan meraup keuntungan yang belum pernah mampu diraih
misi-misi dagang sebelumnya. Jadi, pada hakekatnya Nabi kita adalah seorang
pekerja yang tangguh.
Setelah diangkat jadi rasul,
Muhammad SAW memerah sendiri susu kambingnya, menisik robekan bajunya dan
menjahit sendiri sandalnya. Kemampuan kewirausahaan nabi sudah dipupuk sejak
dini dengan menjadi penggembala. Beliau menggembalakan biri-biri orang Quraisy
ketika masih sangat muda guna
meringankan beban yang ditanggung pamannya. Beliau ingin berpenghasilan dan
bisa mandiri, tidak hendak berpangku tangan hanya sekedar bermain saja. Nabi Muhammad
sebagai pedagang mempunyai empat kiat
sukses berbisnis yakni siddiq (benar),
amanah (dapat dipercaya), fatonah
(cerdas, cerdik, memahami manajemen dan strategi bisnis), dan tabligh (kemampuan komunikasi dan
meyakinkan relasi atau pembeli).
Rasulullah SAW dan para sahabat
adalah orang-orang yang menyukai kerja. Selain bekerja untuk umatnya, beliau memperbaiki dan menjahit sendiri sandalnya,
menambal sendiri bajunya, memeras sendiri susu kambingnya, dan melayani
keluarga. Nabi terkadang ikut membersihkan rumah membantu istrinya. Mereka
telah memberikan contoh dan teladan mulia dalam menyeimbangkan antara
kepentingan mencari dan menyebarkan ilmu dan mencari nafkah. Para Nabi dan
rasul bekerja untuk menopang kelangsungan dakwah. Bekerja mencari nafkah dengan
berniaga, bertani dan berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak menurunkan
kualitas tawakal mereka.
Para ulama pun tergolong
orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, namun mereka juga gigih
dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Abu Bakar ketika menjadi
khalifah setiap pagi pergi ke pasar memanggul beberapa helai pakaian untuk
dijual. Ketika bertemu dengan Umar dan Ubaidah bin Jarrah, ia ditanya: “Bagaimana engkau berdagang sementara engkau
menjadi pemimpin kaum muslimin?”. Abu Bakar berkata: “Dari mana aku menghidupi keluargaku?”. Sebagaimana Umar, Abu Bakar
padahal juga memperoleh bagian dari baitul mal.
Keluarga
Nabi pun bekerja. Fatimah Azzahra, putri Nabi, pernah kehabisan gandum
sementara anak-anaknya sakit dan butuh makan. Dia pergi ke seorang pemilik toko
dan didapatnya pekerjaan menumbuk gandum untuk dibuat roti serta dimakan
bersama anaknya. Zainab bekerja sebagai
penyamak kulit. Fatimah Azzahra, putri Nabi, juga bekerja di rumahnya, membuat
roti, mulai dari menumbuk gandum hingga membakarnya. Asma binti Abu Bakr
membantu suaminya memberi makanan kepada kuda, membawa air ke kebun dengan
berjalan kaki sekitar lima kilometer.
Islam
menganggap tinggi beberapa pekerjaan yang kadang-kadang oleh manusia dinilai
sangat rendah, misalnya menggembala kambing yang biasa diabaikan oleh manusia.
Rasulullah SAW berkata: "Allah tidak mengutus seorang Nabi pun melainkan dia
itu menggembala kambing”. Waktu para sahabat mendengar
perkataan itu, mereka kemudian bertanya: “Dan
engkau, ya Rasulullah? Jawab Nabi: Ya! Saya juga menggembala kambing dengan
upah beberapa karat, milik penduduk Makkah." (Riwayat Bukhari)
Muhammad
sebagai utusan Allah dan penutup sekalian Nabi, juga menggembala kambing. Beliau
menggembala dengan upah milik sebagian penduduk Mekkah. Hikmahnya adalah, bahwa kebesaran justru dimiliki
oleh orang-orang yang suka bekerja, bukan oleh orang yang suka berfoya-foya dan
penganggur.
Nabi
Musa AS bekerja sebagai buruh bagi seorang yang sangat tua. Dia bekerja sebagai
buruh selama 8 tahun sebagai persyaratan untuk dikawinkan dengan salah seorang
puterinya. Nabi Musa dinilai orang tua tersebut sebagai pekerja yang baik dan
buruh yang terpuji. Maka benarlah dugaan puteri orang tua itu, di mana salah
satunya ada yang berkata: "Hai,
ayah! Ambillah buruh dia itu, karena sebaik-baik orang yang engkau ambil buruh
haruslah orang yang kuat dan terpercaya." (al-Qashash: 26).
Ibnu
Abbas meriwayatkan, bahwa Daud bekerja sebagai tukang besi untuk membuat baju
besi. Nabi Adam
bekerja sebagai petani, Nuh sebagai tukang kayu, Idris sebagai klermaker (?) sedang
Musa sebagai penggembala kambing. Untuk itulah setiap muslim harus menyiapkan diri untuk
mencari pencaharian, sebab tidak seorang Nabi pun kecuali bekerja dalam salah satu lapangan
pencaharian. Nabi
Muhammad SAW dalam
salah satu hadisnya mengatakan: "Tidak makan seseorang satu makanan sedikitpun yang
lebih baik, melainkan dia makan atas usahanya sendiri,dan Nabi Daud makan dari
hasil pekerjaanya sendiri."
(HR Bukhari)
Para Wali pun Menjadi “Penyuluh Pertanian”
Wali Songo dikenal dengan metode
dakwah kultural, bukan penaklukan. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun
satu sama lain mempunyai keterkaitan ikatan darah atau hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim adalah wali yang tertua, di mana Sunan Ampel
adalah
anaknya sementara Sunan Giri
adalah keponakannya. Para wali berdakwah di pantai utara Jawa dari awal abad ke-15 hingga
pertengahan abad ke-16. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu
masyarakat dengan memperkenalkan berbagai dimensi peradaban baru mulai dari
kesehatan, bercocok tanam, berniaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan,
hingga pemerintahan.
Dari
sisi perekonomian, ketika Maulana Malik Ibrahim pertama kali menginjakkan kaki
di wilayah sekitar Gresik, aktivitas pertama yang dilakukannya adalah berdagang
dengan membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga
murah. Selain itu, ia juga mengobati masyarakat secara gratis dan mengajarkan
bercocok tanam. Ia berupaya merangkul masyarakat bawah yang merupakan
kasta-kasta yang disisihkan di era Hindu saat itu.
Sunan
Giri menjadikan pesantrennya tak hanya sebagai tempat pendidikan dalam arti
sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Sementara, Sunan
Bonang dikenal sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat
tandus. Selain itu, ia juga menggubah gamelan Jawa dengan memberi nuansa baru
karena menambahkan instrumen bonang. Lagu “Tombo Ati” yang sangat
terkenal tersebut adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Mirip
dengan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang yang
bersahaja dan suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara
anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin. Salah satu petuahnya adalah: “berilah tongkat pada si buta, beri makan
pada yang lapar, beri pakaian pada yang telanjang.”
Sunan Muria suka tinggal di daerah
sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Ia
berbaur dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan
bercocok tanam, berdagang dan melaut. Ia dikenal piawai dalam memecahkan
masalah, sehingga pernah menjadi penengah dalam konflik internal di Kesultanan
Demak (1518-1530). Terakhir, Sunan Gunung Jati secara langsung memimpin
pemerintahan, dalam posisinya sebagai putra raja. Dalam berdakwah, ia mendekati
rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan
antar wilayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar