Sabtu, 09 Mei 2020

Subbab 2.2. Para Rasul pun Bertani

(Draf Buku “BERTANI DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam.  Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)


Kisah liku-liku para Rasul mengembangkan agama sudah begitu sering kita dengar. Namun, bagaimana para nabi dan Rasul menjalankan kehidupan ekonominya jarang diungkap. Nabi dan rasul sebagaimana manusia biasa juga perlu makan, pakaian dan tempat tinggal. Ia tidak memperolehnya begitu saja. 

Para Nabi dan Rasul harus bekerja untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya. Ia harus bekerja sebagaimana manusia pula. Selain untuk dirinya sendiri, para Nabi dan Rasul pun harus menghidupi keluarganya. 

Al-Hadits: ”Tuhan tidak pernah mengangkat Nabi yang tidak pernah menggembala domba atau kambing”.  Ya, para Nabi beternak. Memelihara ternak termasuk bertani. Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat yang mengandalkan pertanian, selain perdagangan.

Para Rasul juga bertani seperti kita. Apa yang mereka tanam tidak langsung berbuah. Ada upaya, ada keseriusan, dan ada resiko gagal pula. Jadi, meskipun para Rasul sudah dibebani menyampaikan wahyu, menegakkan agama Allah dan mengurus umat; tidak serta merta harus meninggalkan kehidupan ekonominya.

Bersamaan dengan itu pula, berkerja sembari mendakwahkan dan mengembangkan agama  merupakan pola hidup yang banyak dilakoni para pendakwah yang memasukkan agama Islam ke nusantara. Mereka adalah pedagang sekaligus pendakwah dan guru agama. Hal seperti ini juga dijalankan para Wali Songo. Mereka berekonomi tidak semata untuk keuntungan, tapi lebih kepada orientasi dakwah. Berekonomi secara benar dan menguntungkan juga merupakan salah satu materi yang diajarkan kepada umatnya saat itu.

Rasul Bertani untuk Hidupnya

Dalam sejarahnya, para Nabi berkerja sebagaimana manusia biasa untuk menghidupi dirinya. Pada surah Al Furqan ayat 20 terbaca: "Tidaklah Kami mengutus para utusan sebelum engkau (Muhammad) melainkan sesungguhnya mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar". Pasar adalah tempat berkumpulnya manusia dengan berbagai macam karakter. Dari yang paling baik sampai yang buruk dapat dijumpai di dalamnya. Jadi, para rasul utusan Allah itu dalam melakukan kegiatan ekonominya bergaul dan berinteraksi dengan semua jenis manusia tanpa pilih-pilih. 

Mereka bukan tokoh spiritual penyendiri yang tinggal di dalam menara gading. Para Nabi bekerja dan berdagang secara riel. Nabi Musa AS bekerja pada Nabi Syuaib, nabi Daud sebagai pengrajin membuat baju perang, Nabi Yusuf sebagai pengawas gudang, sedangkan Nabi Zakaria AS misalnya menjadi tukang kayu, dan Nabi Idris menjahit pakaian. 

Lain lagi Nabi Ibrahim yang memiliki kemampuan membuat patung seperti ayahnya, namun memfokuskan pada produksi gerabah kebutuhan rumah tangga. Sementara, Nabi Musa adalah seorang ahli bangunan yang merancang dan memimpin beberapa proyek pembangunan gedung-gedung monumental di Mesir. Karena kehidupan yang berpindah-pindah, Nabi Musa sering beralih-alih profesi untuk menghidupi dirinya. Demikian pula dengan Nabi Isa yang diangkat menjadi nabi di umur 30 tahun dan meninggal di usia  muda 3 tahun kemudian. Dalam lukisan-lukisan kaum Nasrani ia sering digambarkan sedang menggembala kambing. Ada pula yang menyebut bahwa Nabi Isa menjadi tukang kayu.

Para Nabi berkerja karena tidak mau aji mumpung dan menyandarkan hidup kepada umatnya. Beragam pekerjaan yang dilakoni Rasul, dengan mengandalkan keterampilan tangan dan lain-lain. Hadits: “Tidak ada makanan yang lebih baik dikonsumsi oleh seseorang, kecuali -- yang diperoleh -- dari pekerjaan tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud AS makan dari pekerjaan tangannya “. Nabi Daud AS mencari nafkah dari hasil pekerjaan tangannya sendiri sebagai tukang besi. Ia membuat baju besi dan lain-lain, kemudian menjualnya ke pasar untuk menghidupi diri dan keluarganya dari hasil penjualannya. 

Suatu hari Nabi Sulaiman AS minta ditunjukkan oleh Allah SWT hamba yang lebih bersyukur dibandingkan dirinya. Allah lalu mengutus Jibril untuk mengajari Sulaiman cara menyepuh perhiasan dengan emas, dan ia membuatnya pada kapak, lalu menjualnya. Begitulah, manusia pertama yang membuat hiasan dengan sepuhan emas adalah Nabi Sulaiman AS.

Ketika muda, Rasulullah SAW adalah seorang pekerja yang sangat giat. Beliau menjual jasa menjadi penggembala kambing milik orang lain. Nabi memelihara kambing dengan sangat produktif. Beliau juga menjualkan dagangan milik Khadijah ke Syam, dan mendapatkan bagi hasil. Bangsa Quraisy terkenal ulung berniaga. Pada musim dingin mereka ke Yaman, dan pada musim panas ke Syam (Suriah). Mereka bukanlah bangsa pemalas. Abdullah misalnya, ayah nabi, jatuh sakit dan wafat dalam perjalanan pulang berniaga dari Syam. Muhammad SAW dalam usia 12 tahun sudah mulai mengikuti jejak kaumnya, yang diajak pamannya Abu Thalib, ikut dalam rombongan niaga ke Syam.

Saat Rasul Muhammad SAW berusia 25 tahun, Abu Thalib berhasil mendapatkan perkerjaan dari Khadijah seorang pengusaha terkaya di Mekah saat itu. Khadijah menawarkan gaji empat ekor unta. Untuk pertama kalinya Nabi kita ini memimpin kafilah dagang menyusuri jalur perdagangan utama Yaman – Syam. Bisnis tersebut sukses besar dan meraup keuntungan yang belum pernah mampu diraih misi-misi dagang sebelumnya. Jadi, pada hakekatnya Nabi kita adalah seorang pekerja yang tangguh.

Setelah diangkat jadi rasul, Muhammad SAW memerah sendiri susu kambingnya, menisik robekan bajunya dan menjahit sendiri sandalnya. Kemampuan kewirausahaan nabi sudah dipupuk sejak dini dengan menjadi penggembala. Beliau menggembalakan biri-biri orang Quraisy ketika masih sangat  muda guna meringankan beban yang ditanggung pamannya. Beliau ingin berpenghasilan dan bisa mandiri, tidak hendak berpangku tangan hanya sekedar bermain saja. Nabi Muhammad sebagai pedagang  mempunyai empat kiat sukses berbisnis yakni siddiq (benar), amanah (dapat dipercaya), fatonah (cerdas, cerdik, memahami manajemen dan strategi bisnis), dan tabligh (kemampuan komunikasi dan meyakinkan relasi atau pembeli).

Rasulullah SAW dan para sahabat adalah orang-orang yang menyukai kerja. Selain bekerja untuk umatnya, beliau memperbaiki dan menjahit sendiri sandalnya, menambal sendiri bajunya, memeras sendiri susu kambingnya, dan melayani keluarga. Nabi terkadang ikut membersihkan rumah membantu istrinya. Mereka telah memberikan contoh dan teladan mulia dalam menyeimbangkan antara kepentingan mencari dan menyebarkan ilmu dan mencari nafkah. Para Nabi dan rasul bekerja untuk menopang kelangsungan dakwah. Bekerja mencari nafkah dengan berniaga, bertani dan berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak menurunkan kualitas tawakal mereka.

Para ulama pun tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, namun mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Abu Bakar ketika menjadi khalifah setiap pagi pergi ke pasar memanggul beberapa helai pakaian untuk dijual. Ketika bertemu dengan Umar dan Ubaidah bin Jarrah, ia ditanya: “Bagaimana engkau berdagang sementara engkau menjadi pemimpin kaum muslimin?”. Abu Bakar berkata: “Dari mana aku menghidupi keluargaku?”. Sebagaimana Umar, Abu Bakar padahal juga memperoleh bagian dari baitul mal.

Keluarga Nabi pun bekerja. Fatimah Azzahra, putri Nabi, pernah kehabisan gandum sementara anak-anaknya sakit dan butuh makan. Dia pergi ke seorang pemilik toko dan didapatnya pekerjaan menumbuk gandum untuk dibuat roti serta dimakan bersama anaknya.  Zainab bekerja sebagai penyamak kulit. Fatimah Azzahra, putri Nabi, juga bekerja di rumahnya, membuat roti, mulai dari menumbuk gandum hingga membakarnya. Asma binti Abu Bakr membantu suaminya memberi makanan kepada kuda, membawa air ke kebun dengan berjalan kaki sekitar lima kilometer.

Islam menganggap tinggi beberapa pekerjaan yang kadang-kadang oleh manusia dinilai sangat rendah, misalnya menggembala kambing yang biasa diabaikan oleh manusia. Rasulullah SAW berkata: "Allah tidak mengutus seorang Nabi pun melainkan dia itu menggembala kambing. Waktu para sahabat mendengar perkataan itu, mereka kemudian bertanya: Dan engkau, ya Rasulullah? Jawab Nabi: Ya! Saya juga menggembala kambing dengan upah beberapa karat, milik penduduk Makkah." (Riwayat Bukhari)

Muhammad sebagai utusan Allah dan penutup sekalian Nabi, juga menggembala kambing. Beliau menggembala dengan upah milik sebagian penduduk Mekkah. Hikmahnya adalah, bahwa kebesaran justru dimiliki oleh orang-orang yang suka bekerja, bukan oleh orang yang suka berfoya-foya dan penganggur.

Nabi Musa AS bekerja sebagai buruh bagi seorang yang sangat tua. Dia bekerja sebagai buruh selama 8 tahun sebagai persyaratan untuk dikawinkan dengan salah seorang puterinya. Nabi Musa dinilai orang tua tersebut sebagai pekerja yang baik dan buruh yang terpuji. Maka benarlah dugaan puteri orang tua itu, di mana salah satunya ada yang berkata: "Hai, ayah! Ambillah buruh dia itu, karena sebaik-baik orang yang engkau ambil buruh haruslah orang yang kuat dan terpercaya." (al-Qashash: 26).

Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Daud bekerja sebagai tukang besi untuk membuat baju besi. Nabi Adam bekerja sebagai petani, Nuh sebagai tukang kayu, Idris sebagai klermaker (?) sedang Musa sebagai penggembala kambing. Untuk itulah setiap muslim harus menyiapkan diri untuk mencari pencaharian, sebab tidak seorang Nabi pun kecuali bekerja dalam salah satu lapangan pencaharian. Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadisnya mengatakan: "Tidak makan seseorang satu makanan sedikitpun yang lebih baik, melainkan dia makan atas usahanya sendiri,dan Nabi Daud makan dari hasil pekerjaanya sendiri." (HR Bukhari)

Para Wali pun Menjadi “Penyuluh Pertanian

Wali Songo dikenal dengan metode dakwah kultural, bukan penaklukan. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan ikatan darah atau hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim adalah wali yang tertua, di mana Sunan Ampel adalah anaknya sementara Sunan Giri adalah keponakannya. Para wali berdakwah di pantai utara Jawa dari awal abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat dengan memperkenalkan berbagai dimensi peradaban baru mulai dari kesehatan, bercocok tanam, berniaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan, hingga pemerintahan.

Dari sisi perekonomian, ketika Maulana Malik Ibrahim pertama kali menginjakkan kaki di wilayah sekitar Gresik, aktivitas pertama yang dilakukannya adalah berdagang dengan membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu, ia juga mengobati masyarakat secara gratis dan mengajarkan bercocok tanam. Ia berupaya merangkul masyarakat bawah yang merupakan kasta-kasta yang disisihkan di era Hindu saat itu.

Sunan Giri menjadikan pesantrennya tak hanya sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Sementara, Sunan Bonang dikenal sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat tandus. Selain itu, ia juga menggubah gamelan Jawa dengan memberi nuansa baru karena menambahkan instrumen bonang. Lagu “Tombo Ati” yang sangat terkenal tersebut adalah salah satu karya Sunan Bonang.

Mirip dengan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang yang bersahaja dan suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin. Salah satu petuahnya adalah: “berilah tongkat pada si buta, beri makan pada yang lapar, beri pakaian pada yang telanjang.”

Sunan Muria suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Ia berbaur dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut. Ia dikenal piawai dalam memecahkan masalah, sehingga pernah menjadi penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Terakhir, Sunan Gunung Jati secara langsung memimpin pemerintahan, dalam posisinya sebagai putra raja. Dalam berdakwah, ia mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

Para Wali, meskipun masing-masing tidak hidup sezaman, tetapi dalam pemilihan wilayah dakwahnya mempertimbangkan faktor geostrategis sesuai kondisi zamannya. Mereka mengambil tempat kota bandar perdagangan atau pelabuhan. Dalam posisi ini mereka dapat pula disebut sebagai “penyebar Islam yang berdagang”. Mereka tidaklah menjauhi kehidupan dan bertapa di tempat sepi. Mereka sangat aktif dalam perekonomian, pekerjaan sosial yang riil, dan juga di bidang pemerintahan dan kesenian

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar