(Draf Buku “BERTANI
DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri
Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam. Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)
Masa keemasan
Islam dikenal orang selama lebih kurang empat abad, yakni dari abad ke 8 sampai
12 M. Abad
8 sampai 12 merupakan abad keemasan Islam, dan di saat yang sama di Eropa justeru
sedang berlangsung “Abad Kegelepan”.
Baru kemudian, mulai abad 12, terjadi
sebaliknya:
Islam mundur Eropa bangkit. Ada yang mengatakan, Zaman Kegelapan di
Eropa yang ditandai kemunduran
intelektual dan ilmu pengetahuan, berlangsung selama 600 tahun, dari kejatuhan Kerajaan Romawi dan berakhir dengan kebangkitan
intelektual pada abad ke-15 Masehi.
Demikian pula
dengan perkembangan ilmu pertanian. Pada awal abad ke-9, sistem pertanian
modern telah berkembang di negeri-negeri Muslim. Kota-kota
besar Islam, baik di Timur Tengah, Afrika Utara, maupun Spanyol, telah didukung
oleh sistem pertanian yang canggih. Para petani saat itu telah mengembangkan
teknik-teknik pengolahan tanah, sistem irigasi, pemuliaan tanaman dan ternak,
serta cara-cara mengatasi hama dan penyakit tanaman. Apa yang dilakukan petani-petani Muslim saat itu merupakan lompatan besar,
dibanding masa sebelumnya.
Dunia
pertanian dan perkembangannya saat ini tak lepas dari fondasi yang dibangun
para ahli pertanian di era keemasan Islam, yakni abad ke-8. Mereka menyebutkan,
pada awal abad ke-9, sistem pertanian modern telah menjadi urat nadi kehidupan
ekonomi dan segala aktivitas di negeri-negeri Muslim. Kota-kota besar Islam,
baik di Timur Tengah, Afrika Utara, maupun Spanyol, telah didukung oleh sistem
pertanian yang canggih. Para petani saat itu telah mengembangkan teknik-teknik
pengolahan tanah, sistem irigasi, pemuliaan tanaman dan ternak, serta cara-cara
mengatasi hama dan penyakit tanaman.
Dalam
artikel bertajuk “Muslim Contribution to Agriculture” yang dipubliksikan
oleh Foundation for Science Technology and Civilisation disebutkan, pada
masa itu orang-orang Islam telah mengembangkan peternakan domba, kuda, menanam
anggrek, serta memelihara kebun-kebun buah dan sayuran. Ada jeruk, tebu, sutra,
kapas, bakung, persik, plum, tulip, mawar, melati, dan tanaman lainnya.
Baron
Carra de Vaux (1867-1953), seorang orientalis dari Prancis,
menyebutkan sejumlah tanaman dan hewan dari Timur dibawa ke Spanyol oleh umat
Islam untuk beragam keperluan. Tanaman dan hewan itu tidak hanya untuk
keperluan pertanian dan peternakan, tapi juga untuk pengembangan perkebunan,
perdagangan, dan status sosial.
Kita
kutip kekaguman dari seorang sejarawan berikut: “As early as the ninth century, a modern agricultural system became
central to economic life and organization in the Muslim land. The great Islamic
cities of the Near East, North Africa and Spain, Artz explain, were supported
by an elaborated agricultural system that include extensive irrigation and an
expert knowledge of the most advanced agriculural methods in the world. The
Muslim reared the finest horses and sheep and cultivated the best orchards and
vegetable gardens. The knew how to fight insect pest, how to use fertilizers,
and they were experts at grafting trees and crossing plants to produce new
varietes” (Frederick, 1980).
Beberapa
tanaman penting yang diperkenalkan oleh umat Islam di Spanyol, antara lain
kapas dan tebu. Kapas mulai dibudidayakan di Spanyol (Andalusia) pada akhir
abad ke-11. Perkebunan kapas di Andalusia ini berkembang pesat sehingga wilayah
ini menjadi penghasil kapas ternama dan mampu mengekspor kapas ke berbagai
daerah.
Para
petani Muslim saat itu telah faham cara membasmi insektisida, hama, dan
penyakit tanaman lainnya. Mereka juga sudah menerapkan teknologi pengolahan
tanah, teknik pemupukan, dan cara-cara untuk menyuburkan tanah. Bahkan mereka
bisa “menyulap” padang pasir menjadi perkebunan. Negeri-negeri Arab yang
sebagian besar wilayahnya terdiri dari lahan kering dan padang pasir telah
mampu dihijaukan
berkat teknologi irigasi yang baik.
Tak cuma
itu, para ahli pertanian muslim juga pakar di bidang persilangan dan pemuliaan
tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas tanaman baru, dengan mencangkok
dan teknik-teknik pengembangbiakan lainnya. Karenanya tidak mengherankan jika
saat itu kota-kota Islam mampu memenuhi kebutuhan penduduknya dengan beragam
buah-buahan dan sayuran yang sebelumnya tidak dikenal di negara-negara Barat
(Eropa). Itulah revolusi pertanian yang diperkenalkan oleh orang-orang Islam.
Arab Agricultural
Revolution
Revolusi pertanian Arab (Arab Agricultural Revolution) merupakan revolusi yang cukup
dikenal. Sebagian menyebutnya dengan “Medieval
Green Revolution”, “Muslim Agricultural Revolution”, Islamic
Agricultural Revolution”, atau “Islamic
Green Revolution”. Ini berlangsung pada zaman Kegemilangan Islam dari abad ke-8 ke abad ke-13 Masehi.
Pada era ini berlangsung penyebaran banyak
teknik tanaman dan pertanian di kalangan berlainan bagian dunia Islam, dan juga
adaptasi tanaman dan teknik dari dan ke daerah di sebalik dunia Islam. Tanaman
dari Afrika seperti sorghum, dari China seperti jeruk, dan beberapa
tanaman dari India seperti mangga, padi, kapas dan tebu; telah diintroduksikan pada penduduk
muslim. Berlangsung globalisasi tanaman. Banyak tanaman dari Afrika dan Cina ditanam di
wilayah Arab untuk pertama kali.
Teknologi yang dikembangkan di antaranya adalah cash
cropping dan crop rotation system. Di Yaman
dapat dilakukan panen dua kali gandum, dan menanam padi di Irak. Pengembangan pertanian dengan metode riset dengan hasil berupa
penerapan rotasi tanaman, pengembangan irigasi, dan penggunaan varietas yang
disesuikan dengan sifat musim, tipe lahan dan air yang dibutuhkan. Juga
dilakukan pemuliaan bibit ternak (selective breeding of animals).
Pada awal abad ke 9, pertanian modern telah mendominasi ekonomi Arab menggantikan model
Romawi. Ada empat pilar revolusi ini yaitu sistem irigasi, teknologi
budidaya, sistem relasi agraria, dan introduksi berbagai jenis tanaman baru.
Berlangsung pula pembaharuan ekonomi dan masyarakat. Yang utama adalah
berlangsung transformasi dalam penguasaan lahan, dimana semua orang, laki-laki
perempuan, dari suku dan agama manapun dapat membeli dan menguasai lahan. Juga
mulai dikenal kontrak kerjasama dalam berbagai lapangan usaha. Harapan hidup
masyarakat meningkat melalui pengembangan berbagai tanaman pangan, sayuran dan
buah, perkebunan, serta peternakan.
Semasa ini, pertanian gula
diperbaiki dan diubah menjadi industri berskala besar oleh orang-orang Arab.
Orang-orang Arab dan Beeber menyebar gula diseluruh wilayah Arab
sejak abad ke-8. Banyak inovasi pertanian lain diperkenalkan seperti bentuk baru
penyewaan tanah (land tenure), berbagai
teknik pengairan gravitasi, pabrik gula, pengenalan alat-alat besi, dan mesin pengolahan.
Banyak ahli pertanian yang lahir. Misalnya ahli
botani Abu al-Abbas al-Nabati yang mengembangkan teknik mengetes, mendeskripsikan
dan mengidentifikasi tanaman. Buku ahli biologi Ibnu Wahshiyya berjudul
“Al-Asma’i” diterjemahkan menjadi “Book of Distinction, Book of the Wild Animals, Book
of the Horse” dan”Book of the Sheep”. Para ahli pertanian muslim mengembangkan ilmu agronomi, meteorologi, iklim, hidrologi, soil occupation, manajemen perusahaan pertanian (management of agricultural enterprises), juga “pedology, agricultural ecology, irrigation, preparation of
soil, planting, spreading of manure, killing herbs, sowing, cutting trees,
grafting, pruning vine, prophylaxis, phytotherapy, the care and improvement of microbiological
cultures and
plants, and the harvest and storage of crops”. Lalu ada Ibn Wahshiyya's seorang ahli agronomi yang dengan teknologinya mampu menaikkan air sungai dengan
berbagai teknik.
Apa yang dikenal dengan The Nabatean Agriculture telah mengembangkan berbagai ilmu pertanian, termasuk manajemen usaha pertanian, peramalan iklim (weather forecasting),
penggunaan data tingkat curah hujan dengan fase posisi matahari, pergerakan
angin, dan dasar-dasar plant tissue cultures. Sifat-sifat tanah dan
kandungannya serta pupuk kandang ada pada buku Ibn al-‘Awwam yang
menjelaskan 585 microbiological cultures, yang 55 di antaranya berkenaan dengan tanaman buah. Buku ini dierjemahkan ke
bahasa Spanyol oleh Banqueri tahun 1801 dand ke bahasa Perancis oleh Clement-Mullet di Paris tahun 1864.
Penerapan astronomi ke dunia pertanian dan botani
juga berlangsung dengan efektif. Yakni memperkirakan iklim dan mengukur waktu
dan menciptakan kalender yang berisi kapan menanam tanaman semusim, kapan
memangkas tanaman pohon, kapan dan bagaimana memupuk, dan kapan memanen. Bahkan
apa yang sebaiknya dimakan dan harus dihindar pada musim-musim yang berbeda.
Buku Al-Dinawari “Book of Plants” memuat penerapan astronomi dan meteorologi untuk pertanian. Abad
ke 9 ahli botani Al-Dinawari merupakan pendiri botani Arab. Ia menulis ensiklopedi
botani berjudul “Kitab
al-Nabat (Book of Plants) yang menerangkan 637 jenis tanaman. Ia juga menjelaskan fase-fase
perkembangan tanaman, dari lahir ke mati, serta produksi bunga dan buah. Awal
abad ke 13, Ibn al-Baitar published menulis “Kitab
al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada” yang
memuat kompilasi botani terlengkap dan ensiklopedia tanaman obat-obatan,
memuat 1400 tanaman berbeda, makanan, obat-obatan, dimana 300 di antaranya merupakan temuannya sendiri. Kitab ini menjadi dasar dalam
pengembangan pertanian Eropa.
Teknologi-Teknologi Ciptaan
Ilmuwan Muslim
Para insinyur Muslim adalah peletak dasar-dasar
teknologi pertanian dunia. Dampak ‘’Revolusi Hijau Islam’‘ memang sungguh luar
biasa. Dalam empat abad pertama kekuasaan Islam, pembangunan sektor pertanian
di dunia Islam berkembang sangat cepat. Kemajuan pertanian saat itu telah
menjadi penopang meluasnya kekuasaan kekhalifahan Islam. Peradaban Islam pun
menjadi adikuasa dunia saat itu. Berkembangnya sektor pertanian di
era keemasan Islam didorong oleh munculnya teknologi aneka peralatan untuk
bercocok tanam.
Sistem Irigasi
Teknologi
irigasi era awal Islam mampu baik untuk mendatangkan air maupun mengeringkan
rawa-rawa. Sistem irigasi yang dikembangkan di
dunia Islam mengandung aspek-aspek teknologi dan
sosiologi yang menarik (Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya ”Islamic Technology, an Ilustrated History”).
Mereka mengembangkan peralatan pengangkat air, cara penyimpanan air, serta
distribusi air. Bahkan, mereka pun berhasil menciptakan teknik pencarian
sumber-sumber air baik yang tersembunyi maupun sistem bawah tanah (qanat).
Hasilnya,
Kekhalifahan Islam berhasil membangun pertanian di sepanjang Sungai Tigris
(Irak) yang terdapat 200 desa yang pertaniannya maju. Air dari Sungai Efrat
dialirkan ke Mesopotamia, sedangkan air dari Tigris dialirkan ke Persia. Dengan
demikian para petani bisa memperoleh air irigasi untuk pertaniannya.
Tak hanya
itu, Kekhalifahan Abbasiyah memelopori pengeringan rawa-rawa untuk lahan
pertanian, serta menyuburkan ladang yang
mengering. Tak heran jika kemudian Irak dikenal sebagai daerah pertanian dan
perkebunan terkemuka saat itu. Tidak heran jika Irak dijuluki surga dunia.
Padang pasir jadi
ladang, bahkan
mereka bisa ‘menyulap’ padang pasir menjadi perkebunan. Negeri-negeri Arab yang
sebagian besar wilayahnya terdiri dari lahan kering dan padang pasir mampu
dijadikan lahan-lahan pertanian berkat teknologi dan sistem irigasi yang baik.
Begitu
pun di Andalusia. Para petani menerapkan teknik irigasi dan membangun
saluran-saluran irigasi untuk pengembangan pertaniannya. Di bawah kekuasaan
Islam, Andalusia menjelma menjadi daerah perkebunan yang subur. Di sepanjang
Guadalquivir (Spanyol), terdapat 12 ribu desa yang memiliki lahan pertanian
subur yang dikerjakan para petani Muslim. Begitu juga tanah-tanah pertanian di
Mesir dan Irak. Di Provinsi Fayyum, Mesir, terdapat 360 desa yang masing-masing
dapat menyediakan kebutuhan pangan bagi penduduk seluruh Mesir.
Kemajuan
pertanian tersebut dilengkapi dengan ilmu farming system yang tepat. Revolusi pertanian dengan
memperkenalkan tanaman-tanaman baru serta ektensifikasi dan intensifikasi
melalui irigasi, telah menciptakan sistem pertanian yang kompleks dan variatif.
Lahan-lahan yang semula hanya menghasilkan satu jenis tanaman setiap tahun,
oleh para petani Muslim ‘disulap’ menjadi 2-3 kali dengan jenis tanaman berbeda
secara rotasi. Hasilnya, produksi pertanian cukup untuk memenuhi kebutuhan
penduduk perkotaan yang terus meningkat.
Bajak Pengolah Tanah
Bajak
pengolah tanah yang ditarik ternak, awalnya diciptakan insinyur pertanian
muslim. Dari sensus yang dilakukan pada abad ke-8 di Mesir menyebutkan, dari 10
ribu desa di Mesir, tak ada satu desa pun yang memiliki bajak kurang dari 500
unit.
Penggunaan
bajak sebagai alat pertanian di dunia Islam diungkapkan Sejarawan Al-Maqrizi.
Menurut dia, bajak digunakan sebagai alat untuk menggemburkan tanah sebelum
melakukan penanaman dan penaburan benih. Sejarawan Al-Marqasi, seperti ditulis
Al-Hassan dan Hill, bajak digunakan para petani sebelum menanam tebu. Petani
Mesir membajak tanah sebanyak enam kali, sebelum menanam tebu.
Bajak
dibuat dari besi dengan berbentuk gigi-gigi, seperti sikat. Para petani Islam
menggunakan hewan misalnya lembu untuk menarik bajak. Insinyur pertanian Muslim
telah mampu membedakan teknik membajak tanah di berbagai jenis lahan. Pada masa
itu, insinyur pertanian telah menulis kitab-kitab pedoman pengolahan lahan,
seperti Kitab Al-Filaha Al-Nabatiya karya Ibnu Wahsyiyya. Seiring waktu dan
meningkatnya ilmu pengetahuan, para insiyur Muslim pun terus berupaya membuat
rancangan bentuk bajak. Peradaban Islam sudah mampu menciptakan bajak cakram
yang sesuai dengan jenis tanah, sehingga tidak akan terlalu dalam memotong
alur.
Garu dan Garpu Tanah
Alat
pertanian lainnya yang dikembangkan adalah garu dan garpu tanah. Garpu
merupakan salah satu alat yang juga digerakkan oleh binatang yang berfungsi
untuk memecahkan bongkahan tanah yang menutupi benih. Alat ini digunakan
setelah proses pembajakan tanah. Tercatat ada beberapa rancangan saat itu,
seperti Al-Mijarr dan Al-Mislafah. Keduanya berupa berupa balok yang dengan
gigi-gigi untuk menggaru lahan. Al-Mijarr mempunyai dua lubang di
ujung-ujungnya serta dua pasang tali pengikat. Sedangkan Al-Maliq terbuat dari
papan kayu yang dibuat melebar dan ditarik oleh seekor lembu. Al-Maliq
digunakan untuk meratakan alur yang dibuat oleh mata bajak untuk menanam benih.
Kedua jenis garpu itu masih digunakan di beberapa negara Islam di belahan dunia
sampai sekarang.
Sedangkan
garu juga alat pengolah tanah yang terbuat dari kayu. Alat ini digunakan untuk
menyisir tanah dan menutupi benih. Salah satu jenis garu pada masa itu bernama
Al-musyt. Alat ini berupa batang menyilang dengan gigi-gigi dan sebuah pegangan
di bagian tengahnya.
Sekop dan Cangkul
Para
petani Islam pun berhasil menciptakan alat untuk menggali tanah seperti sekop
atau al-isyat. Alat ini digunakan
untuk menggali lahan yang tidak memerlukan bajak, seperti lahan perkebunan
sayur dan buah-buahan. Saat itu juga sudah dikenal sekop jenis lain bernama al-mijnah atau al-mijrafah yang digunakan untuk mengangkat tanah hasil penggalian.
Petani zaman itu juga telah menggunakan cangkul untuk menggali tanah, salah
satu jenisnya bernama al-miza’ah.
Sabit untuk Memotong Tanaman
Para
petani Islam juga berhasil mengembangkan alat untuk memanen, berupa sabit atau
bilah. Alat ini memiliki berbagai jenis, ada yang bergigi dan ada yang tidak.
Bahkan ada yang bengkok pada ujung pegangannya dan ada yang melengkung ke depan
sepanjang arah sikatan.
Alat Panen
Setelah
memanen, dilanjutkan dengan proses perontokan biji dari tangkai, dalam bahasa
petani dulu disebut “pengirikan”. Ada beberapa metode pengirikan waktu dulu,
salah satunya memanfaatkan hewan peliharaan seperti lembu untuk menggilas
tumpukan gandum. Proses terakhir adalah penampian yang berfungsi untuk
memisahkan dedak dengan butiran gandum. Kebanyakan teknologi pertanian tersebut
hingga kini masih tetap digunakan.
Ilmu Pemuliaan
Pada
abad “Ilmu Pengetahuan Muslim” ini pula,
para insinyur pemulia muslim telah
menghasilkan varietas-varietas tanaman baru dengan berbagai metode. Teknik
mencangkok dan persilangan bahkan masih dipraktekkan sampai sekarang.
Ilmuwan
muslim memperkenalkan tanaman-tanaman baru serta mendiseminasikannya ke
berbagai wilayah, sehingga lahan-lahan yang semula hanya satu kali tanam
setahun berhasil diintesnifkan menjadi 2-3 kali dengan jenis tanaman secara
rotasi. Akibatnya produksi pertanian meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan
populasi perkotaan yang terus meningkat.
Di
bawah kekuasaan Islam, Andalusia menjelma menjadi daerah perkebunan yang subur.
Di sepanjang Guadalquivir, Spanyol, terdapat 12 ribu desa yang memiliki lahan
pertanian subur yang dikerjakan para petani Muslim. Begitu juga tanah-tanah
pertanian di Mesir dan Irak. Di Provinsi Fayyum, Mesir, terdapat 360 desa
sentra produksi pangan. Sementara di sepanjang Sungai Tigris, Irak, terdapat
200 desa yang pertaniannya maju.
Penulisan buku Teknologi
Pertanian
Islam sangat pro pada ilmu
pengetahuan. Menciptakan ilmu dan menuliskannya sudah menjadi tradisi sejak
dahulu. Dan, Islam menghargai profesionalisme. Maka kita mengenal ungkapan
populer ini: “berikan sesuatu kepada
ahlinya”. “Jika
urusan diserahkan bukan kepada
ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Bukhari).
Sebagai contoh, kisah tentang pemuliaan. Dalam kasus
mengawawinkan pohon kurma,
sebuah hadits Riwayat Imam Muslim menceritakan: ”… tadinya Rasul mencegah namun hasilnya tidak bagus. Ketika dikembalikan lagi ke beliau, Rasul mengatakan, kalian lebih tahu dengan urusan dunia kalian”.
Ya, Islam menyerahkan pengembangan ilmu dan teknologi
pertanian kepada ummat manusia. Karena ilmu dan teknologi pertanian adalah
urusan dunia. Masalah-masalah ilmu dan teknologi pertanian diserahkan kepada
ahlinya berupa ilmuwan, peneliti dan orang yang berkompeten di bidang tersebut.
Para ahli dan peneliti ini tentunya bekerja demi dan dalam tuntunan Allah SWT.
Allah berfirman: “Fas’alu ahladz-dzikri in
kuntum la ta’lamuna”, yang artinya:“Tanyakanlah
kepada ahli Ilmu jika kalian tidak mengetahui”. Jadi
Al-Qur’an telah mengisaratkan kepada kita untuk menanyakan suatu ilmu kepada
ahlinya, ketika kita mau membuat pupuk organik, dan teknologi kultur jaringan
maka Al-Qur’an menyuruh kita bertanya kepada ahlinya.
Menurut satu sumber, Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak menjelaskan cara
budidaya atau teknologi pertanian secara tersurat. Yang ada adalah secara
tersirat, yakni “silahkan bertanya kepada
ahlinya”. Demikian lah, maka urusan mengawinkan pohon kurna saat itu diserahkan kepada Kaum
Anshor yang lebih ahli.
Para
peneliti dan pengembang muslim sudah terbiasa menuliskan temuannya pada
buku-buku tentang pertanian.
Jangan-jangan sudah ada jurnal ilmiah saat itu ya? Kehadiran
negeri-negeri Islam menjadi wilayah pertanian yang maju, tak lepas dari
kontribusi para ahli/pakar pertanian Muslim. Mereka menulis buku-buku tentang
pertanian yang menjadi referensi para petani dalam bercocok tanam.
Riyad
al-Din al-Ghazzi al-Amiri, ahli pertanian dari Damaskus (Syriah), menulis buku
tentang pertanian yang sangat rinci. Mulai dari jenis lahan pertanian, cara
memilih tanah yang baik, jenis-jenis pupuk, pembibitan, pencangkokan tanaman,
penanaman, hingga saluran irigasi. Selain tentang tanah, Ia juga menulis
tentang budidaya serealia, kacang-kacangan, umbi-umbian, sayuran, bunga, dan
tanaman lainnya.
Lalu,
Abu’l Khair, ahli pertanian dari Andalusia, menulis Kitab Al-Filaha, sebuah
kitab yang menjelaskan hal ihwal pertanian. Dalam kitabnya, ia menerangkan
empat cara menampung air hujan untuk keperluan pertanian dan cara membuat
irigasi untuk pertanian. Secara khusus ia menerangkan cara penggunaan air hujan
untuk membantu proses reproduksi pohon zaitun. Abu’l Khair juga menjelaskan
tentang proses pembuatan gula.
Sementara
Al-Tignari, ahli agronomi dari Andalusia, membuat referensi tentang
tanaman-tanaman yang mampu memberi keuntungan besar bagi usaha pertanian.
Tanaman itu antara lain tebu dan kapas.
Ilmuwan pun mengembangkan berbagai dasar-dasar ilmu
pertanian (‘ilm alfilaha). Salah satu
buku pertanian yang penting dan muncul di era keemasan Islam adalah Kitab
Al-Filaha Al-Nabatiyyakarya Ibn Wahsyiyya. Kitab itu ditulis sang insinyur
pertanian Muslim pada tahun 904 M di Irak. Ibnu Wahsiyya menulis buku modul
petunjuk bertani itu didorong oleh kecintaaannya terhadap pertanian. Ia sangat
konsen untuk melestarikan tradisi pertanian
orang-orang Nabatiya di Mesopotamia. D Fairchild Ruggles dalam bukunya “Islamic Gardes and Landscapes”
menjelaskan, Kitab Al-Filaha Al-Nabatiyyaberisi tentang petunjuk pertanian. Di
dalamnya dijelaskan secara rinci dan jelas mengenai tata cara bertani, irigasi
teknik, tumbuhan, fertilisasi, kultivasi, dan lainnya tentang pertanian.
Tak hanya
itu, buku ini juga merupakan acuan bagi masyarakat Muslim untuk bertani yang
baik. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abu Bakar Ahmad.
Buku ini juga dialihbahasakan serta diterbitkan Fuat Sezgin, salah seorang
ilmuwan dari Universitas di Jerman. Buku terkemuka lainnya tentang ilmu
pertanian telah diterbitkan ilmuwan Muslim di Spanyol pada abad ke-11 M dan
ke-12 M. Buku-buku tersebut di antaranya karya Ibnu al-Hassal dan Ibnu
al-Awwam. Beberapa buku-buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol
dan bahasa Latin. Buah pemikiran sarjana Muslim itu telah menjadi inspirasi
bagi para sarjana pertanian di Barat.
Mereka
mengembangkan pertanian di Barat dengan panduan yang ditulis para sarjana
Muslim. Selama abad ke-11 M para ahli agronomi Muslim di Spanyol melakukan
sebagian riset dan eksperimen di Taman Botani di Seville dan Toledo. Kebun yang
digunakan untuk eksperimen ini meruipakan kebun pertama dari kebun-kebun
sejenis. Kemudian ditiru oleh Barat pada abad ke-16 di kota Italia Utara.
‘’Salah satu aspek penting dari
revolusi ini adalah pengenalan dan penyebaran berbagai jenis tanaman baru ke
dunia Islam,’‘ (Buku Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill “Islamic
Technology: An Illustrated History”). Sejak itu, dunia Islam mengenal
tanaman seperti, padi, sorghum, gandum keras, tebu, kapas, semangka, terong serta
aneka jenis tanaman serta beragam jenis bunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar