Minggu, 10 Mei 2020

Subbab .6.2. PENYEBAR ISLAM KE NUSANTARA ADALAH PEDAGANG-PEDAGANG ULUNG

(Draf Buku “BERTANI DAN BERDAGANG SECARA ISLAMI” . Seri Buku Sosial Ekonomi Pertanian Islam.  Draft I – April 2020. Oleh: SYAHYUTI)


Sejalan dengan kisah di atas, berkerja sembari mendakwahkan dan mengembangkan agama  merupakan pola hidup yang banyak dilakoni para pendakwah yang memasukkan agama Islam ke nusantara. Mereka adalah pedagang sekaligus pendakwah dan guru agama. Hal seperti ini juga dijalankan para Wali Songo. Mereka berekonomi tidak semata untuk keuntungan, tapi lebih kepada orientasi dakwah. Berekonomi secara benar dan menguntungkan juga merupakan salah satu materi yang diajarkan kepada umatnya saat itu.

Pedagang lah yang menyebarkan Islam ke Nusantara. Tentunya pedagang yang berilmu. Mereka berdagang juga sekaligus menjadi ustadz. Para pedagang muslim datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan daerah pesisir. Malaka beserta bandar-bandar di sekitarnya, seperti Perlak dan Samudra Pasai, merupakan pusat transit para pedagang saat itu. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah terjadi pembauran antar pedagang dari berbagai bangsa serta dengan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya, bahkan agama. Bukan hanya lewat perdagangan, tetapi juga asimilasi melalui perkawinan.

Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Kemudian berkembanglah perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir. Bandar menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia. Karena itulah, letak geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umumnya terletak di pesisir-pesisir dan muara sungai, yaitu Kerajaan Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore.

Sejarah mencatat bahwa sejak awal Masehi, pedagang-pedagang dari India dan Cina sudah memiliki hubungan dagang dengan penduduk Indonesia. Banyak ahli sejarah, didasarkan berita Cina zaman Dinasti Tang, percaya bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Ada beragam pendapat tentang kapan masuknya Islam ke Indonesia.5 Sebagian bilang abad ke-7, sebagian 11, atau juga 13. Masing-masing menggunakan bukti-bukti yang berbeda.

Ada yang mengatakan Islam di Indonesia berasal dari India, ada yang mengatakan dari Cina, dan ada yang mengatakan Arab. Namun, hampir seluruh ahli sejarah sepakat pembawa Islam ke Nusantara adalah pedagang. Hal ini bertolak dari fakta bahwa sebelum Islam masuk ke Indonesia sudah terdapat hubungan dagang baik dari Arab, Persia, India, dan Cina di Aceh, Sumatra, dan sekitarnya. Bukti-bukti keberadaan pedagang Gujarat (India) adalah ukiran batu nisan gaya Gujarat dan nuansa kultur Islam India. Keberadaan pedagang Persia dibuktikan dengan gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.

Satu teori yang disebut “teori Mekkah” percaya bahwa Islam tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab-muslim sekitar abad ke-7 M. Ini dibuktikan dari para pe­dagang Arab yang banyak menetap di pantai-pantai kepulauan Indonesia. Pada tahun 916 Al-Mas’udi telah menjumpai komunitas Arab dari Oman, Hadramaut, Basrah, dan Bahrain di Sumatra, Jawa, dan Malaka. Munculnya nama “Kampong Arab” dan tradisi Arab di masyarakat kita juga dianggap sebagai bukti yang kuat.

Sementara peran pedagang Cina dibuktikan dari riwayat para pedagang dan angkatan laut Cina seperti Ma Huan, Laksamana Cheng Ho yang memperkenalkan Islam di pantai dan pedalaman Jawa dan Sumatra.

Dalam format yang berbeda, peran para pedagang lokal dalam mengembangkan Islam kita temukan pada organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI). Akibat kuatnya dominasi pedagang Tionghoa perantauan terhadap penjualan bahan-bahan batik, para pedagang batik pribumi merasa terdesak atau dirugikan. Untuk menghadapi itu, tahun 1911, di bawah pimpinan H. Samanhudi para pedagang batik Solo mendirikan SDI. Tujuan berdirinya adalah untuk memajukan perdagangan, melawan monopoli pedagang Tionghoa, dan memajukan agama Islam.

Organisasi ini berkembang pesat karena bersifat nasionalis dan religius, serta menyokong perbaikan jaringan ekonomi. Cikal-bakal organisasi ini telah dirintis semenjak 1909, para pedagang Islam dihimpun agar dapat bersaing dengan para pedagang asing seperti pedagang Tionghoa, India, dan Arab. Organisasi ini kemudian melemah ketika mulai disusupi oleh kelompok yang mempunyai kepentingan lain dan terlibat dalam politik.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar